Happy Reading!
Jangan lupa vote dan commentnya. 🤗
___Kini untuk kedua kalinya setelah kepulangannya dari Jakarta, Hala duduk berhadapan dengan Alvan ditemani Zoya. Hanya saja untuk kali ini, Zoya hanya menemaninya di awal. Itu pun sebentar, karena dia harus kuliah. Sebenarnya Alvan pun ada jam kuliah, mengingat Zoya dan Alvan berada di satu kampus. Hanya saja laki-laki itu lagi dan lagi entah apalagi alasannya memilih untuk tidak masuk kuliah di jam pertama.
“Sebenarnya ada yang mau aku tanyain,” ucap Alvan setelahnya menyesap es tehnya.
Hala mengernyit bingung. Karena tidak biasanya Alvan seperti ini. “Tanya apa?” jawabnya setelah berhasil menguasai dirinya.
“Em... kamu sudah siap menjalin hubungan?”
Pertanyaan dari Alvan membuat Hala menegang, sembari bertanya-tanya alasan mengapa laki-laki di depannya bertanya demikian. Bukankah laki-laki itu sudah mengetahui target kapan dia ingin menikah. Lantas mengapa sekarang kembali bertanya? Rasanya aneh. Bahkan laki-laki itu sedari dua hari yang lalu kembali hilang kabar. Dan semalam tiba-tiba mengajaknya bertemu. Hala mengiyakan saja, dia pikir hanya sebatas ngopi bersama. Tapi ini? Semua benar-benar di luar ekspektasi Hala.
“Gimana ya, Al. Kayaknya nunggu lulus dulu kali, ya. Soalnya nggak mau pacaran,” jelas Hala sembari membenarkan letak kaca matanya. Ya, hari ini Hala sengaja memakai kaca mata. Karena matanya sedikit merah, akibat begadang baca novel.
“Kalau ada yang mau mastiin masa nggak boleh?” tanya Alvan sembari tersenyum tipis.
Hala menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sama sekali. “Boleh aja, sih. Aku nggak bisa ngatur perasaan seseorang, ‘kan?”
Alvan mengangguk seraya tersenyum tipis. Gadis di depannya memang sangatlah dewasa. Setiap tutur katanya, selalu berhasil membuat lawan bicaranya terkesima. Termasuk seorang Alvan.
Dalam diam, Alvan menilai setiap pergerakan dari Hala. Mulai saat gadis itu bicara, menuturkan pendapatnya, cara dia menyikapi beberapa masalah. Menghargai orang lain. Sungguh, gadis di depannya menurut Alvan nyaris sempurna. Wajar, jika Fauzan pun kagum dengan kepribadian Hala. Padahal cuma berdasarkan cerita. Laki-laki yang akan menjadi pendamping gadis itu, bisa dipastikan adalah laki-laki yang beruntung. Karena bisa mendapatkan gadis sebaik dan sesabar Hala.
“Sebenarnya ada apa, Al?”
“Nggak ada apa-apa, kok. Sebenarnya kemarin nggak sengaja liat kamu sama cowok di depan mini market,” jujur Alvan yang sontak membuat Hala kaget.
“Kok bi-sa?” tanya Hala dengan terbata-bata.
“Aku kehabisan bensin di pertigaan dekat lampu merah, sambil nungguin Dodi aku ngadem dulu di depan mini market.”
Hala mengembuskan napas kasar. Kalau sudah begini, Hala tidak bisa menyembunyikan itu pada Alvan.
“Kenapa kamu nggak terima dia?”
Hala menggeleng. “Aku nggak terlalu kenal sama dia, Al. Lagian aku sama dia udah lama nggak ketemu. Aneh nggak, sih, kalau aku malah tiba-tiba mengiyakan niat dia buat ketemu Ayah? Aku tahu, di usiaku sekarang. Memang bagi kebanyakan sudah pantas menikah. Mengingat tinggal setahun lagi aku lulus kuliah. Tapi yang aku tahu, menikah itu bukan hanya karena usia yang sudah memenuhi. Harus siap mental, lahir dan batinnya. Kalau bisa secara finansial juga. Bagaimana nanti aku akan mengajarkan anakku, jika aku bahkan belum mempersiapkan semua itu dengan baik? Aku tidak mau salah pilih pemimpin, Al.”
Alvan mengangguk paham. Bagaimana pun dia tahu, seorang Hala saat mengambil keputusan pasti sudah melalui pertimbangan yang matang. Terlebih lagi Hala termasuk orang yang visioner. Dia jadi mengingat perkataan gadis itu setahun yang lalu. Yang mengatakan ingin memiliki suami yang visi misinya itu jelas. Dan saat itu, dia hanya menanggapi semuanya selayaknya candaan belaka. Tapi hari ini, dia lagi dan lagi kagum dengan pemikiran Hala. Benar-benar tepat sekali.“Apa ada laki-laki yang sudah mengisi ruang kosong di hatimu, La?”
Hala tersenyum kemudian mengangguk. “Ada. Tapi dia nggak tahu.”
“Kenapa bisa gitu?”
“Dianya nggak peka, mungkin?” jawab Hala seraya terkekeh.
“Ya buat dia peka aja,” sahut Alvan enteng.
Lagi dan lagi Hala hanya tertawa. Bagaimana bisa membuatnya peka, jika laki-laki yang dicintainya selalu berpacu dengan kata ‘teman' padanya. Dia cukup sadar diri, untuk tidak mengusik lebih jauh. Membiarkan perasaannya begitu saja, dengan harapan perasaan itu akan terhapus seiring berjalannya waktu. Meski seutuhnya, dia tidak yakin akan hal itu. Mengingat dia sudah hampir empat tahun mencoba membunuh perasaan itu, hanya berakhir sia-sia.
“Malah ketawa. Kalau suka bilang aja sama orangnya, La. Siapa tahu, ‘kan, bisa bersatu,” ucap Alvan.
“Nggak usahlah. Aku udah nyaman kayak gini aja. Aku nggak mau dia ngejauh. Nggak mungkin juga bakal bersatu.”
“Ciri-ciri orang pesimis gini, nih. Harusnya kamu positive thinking, siapa tahu dia juga punya perasaan yang sama kamu. Cuma nggak berani bilang aja. Banyak, ‘kan, sekarang yang gitu?”
Hala tersenyum kecut. “Udahlah. Biarin itu jadi urusan aku aja. Aku nggak mau dia ngerasa terbebani juga kalau tahu aku ada perasaan. Takut ngerusak hubungan yang sebelumnya. Biarkan dia abadi dalam setiap tulisanku saja. Kalau pun nanti ditakdirkan bersama, pasti selalu ada jalan dari Tuhan untuk bersatu. Jodoh nggak akan ke mana, ‘kan?”
“Katanya gitu.”
“Kita bakal dipertemukan dengan seseorang yang salah dulu sebelum kita dipertemukan dengan orang yang benar-benar tepat,” ucap Hala sembari tersenyum tipis.
“Lalu?”
“Agar kita belajar dari orang itu, bagaimana definisi mencintai yang benar. Bagaimana kita harus bangkit setelah dipatahkan. Karena tanpa kita sadari, patah hati selalu memiliki sisi terbaik untuk kehidupan kita.”
“Aku kagum sama kamu, La.”Hala mengalihkan pandangannya ke arah kaca. Menikmati lalu lalang kendaraan. Karena Zoya, dia harus terjebak berdua dengan Alvan. Dan Alvan adalah seseorang yang mengajarkan Hala bagaimana mencintai tanpa harus menuntut sebuah balasan yang serupa. Mengajarkan untuk tidak berekspektasi pada manusia, karena hanya kecewa yang nantinya akan didapat. Tersenyum, meski hatinya tidak baik-baik saja. Bangkit berkali-kali, meski nantinya dia juga harus bersiap untuk dijatuhkan oleh perasaannya sendiri.
Alvan larut dalam dunianya sendiri. Menikmati setiap waktu yang berlalu dengan Hala. Entah mengapa hatinya merasa lega. Mendengar setiap kata yang lolos dari mulut Hala. Meski sejujurnya, ada rasa sedikit penasaran siapa laki-laki yang terlihat amat dicintai oleh seorang Hala.
“Em... udah jam dua. Aku pamit pulang dulu, Al. Kapan-kapan kalau ada waktu kita sambung,” ucap Hala sembari memasukkan ponselnya ke dalam sling bag nya.
“Kenapa buru-buru?”
“Kamu harus kuliah, Al. Jangan terlalu sering bolos, ya,” ucap Hala lembut.
Hati Alvan menghangat. Gadis di depannya selalu saja berhasil membuat dia merasa diperhatikan.
“Bentaran lah, La.”
“Kamu harus kuliah ya, Al. Ingat, biaya kuliah mahal.” Hala memberikan pengertian dengan lembut. Membuat Alvan yang sempat ingin menahan Hala untuk tinggal sebentar lagi pun diurungkan.
“Iya, aku kuliah.”
Hala tersenyum. Ingin sekali dia mengusap rambut hitam milik Alvan. Namun, dia sadar. Jika keinginannya tidak boleh dilakukan. Karena dia dan Hala bukan makhrom. Ada batasan yang harus dijaga. Melihat tingkah Alvan yang begitu manis dan sedikit seperti anak kecil yang tengah manja, membuat Hala ingin terus memandangnya. Hala ingin wajah Alvan yang setiap pagi dilihatnya setelah bangun tidur dan ketika akan tidur. Ah, semua hanya dalam imajinasi liar Hala.
#paradecakrabatch1
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Hanya Soal Rasa
قصص عامةKisah ini menceritakan tentang seorang mahasiswa semester akhir yang bernama Hala, yang berjuang mati-matian untuk menyelesaikan pendidikan S1 nya di kota metropolitan. Hala yang ambisius, membuat dirinya cukup dikenal karena berbagai prestasi yang...