Menurut alkisah, pada jaman dahulu kala di Pulau Bentan dekat Temasik terdapat lima teruna gagah perkasan. Mereka adalah Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Pada zaman itu tidak ada yang dipikirkan, kecuali mereka ingin pergi merantau ke tempat lain untuk mengubah nasib supaya hidupnya senang.
Agar di rantau tidak percuma begitu saja, seperti mengadu air dengan garam, mereka bersepakat mencari tahu tentang ilmu beladiri. Kemudian Hang Tuah memberi petunjuk kepada teman-temannya dan terlebih dahulu melihat kebolehannya untuk bermain tangan. Setelah mereka cukup berbekal ilmu beladiri, pergilah berlayar menuju ke Negeri Melaka.
Sampai di suatu pantai Semenanjung Melaka, salah satu kawannya ada yang merasa penat lalu ingin berehat dahulu. Di antara mereka sedikit berbeda pendapat. Ada yang ingin terus melanjutkan perjalanan dan ada yang ingin istirahat. Kemudian Hang Tuah berkata : “Tak baik kita berbantah, bukankah kita ini bersaudara dan sama-sama merantau ke lurah sama menurun bukit sama mendaki, baiklah kita berehat sebentar di sini.”
Begitu Hang Tuah dan sahahat-sahabatnya istirahat, terdapat gerombolan perompak lanun datang mendekatinya. Perompak lanun itu menggertak Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya yang sedang istirahat. Gerombolan lanun merasa bahwa daerah itu adalah wilayah kekuasaannya dan tidak boleh seorang pun berada di situ. “Kalau engkau semuanya hendak hidup dan selamat serahkan semua barang-barang bawaanmu kepadaku”, kata pimpinan lanun. Hang Tuah mencoba menyadarkan lanun tersebut, bahwa dirinya dan kawan-kawan hendak merantau ke Melaka, oleh karena itu ia minta kepada lanun agar jangan mengganggu perjalanan ini. Akhirnya terjadi perkelaian seru yang menewaskan semua gerombolan lanun tersebut.
Perkelahian yang menewaskan gerombolan lanun itu dilihat dari jauh oleh para pengawal istana yang sedang berjaga-jaga di kawasan pantai. Setelah perkelahian selesai, seorang pengawal datang mendekat dan bertanya kepada Hang Tuah dan kawan-kawannya mengenai apa yang sedang terjadi. Terlebih dahulu Hang Tuah memperkenalkan diri dan mengatakan bahwa ia dan teman-temannya ini berasal dari Bentan, setelah itu ia menjelaskan maksud dan tujuannya kemari yaitu ingin merantau ke Negeri Melaka namun dicegat orang tidak dikenal sehingga terjadi perkelahian.
Kemudian pengawal itu bercerita bahwa Negeri Melaka ini telah lama dikacau oleh perompak lanun. Lanun-lanun tersebut tidak mudah dimusnahkan, bahkan panglima Negeri Melaka tidak sanggup menentang mereka. Kejadian yang telah dilihat pengawal itu dianggap aneh, karena lanun-lanun itu dalam prakteknya dapat ditewaskan oleh rombongan Hang Tuah. Selanjutnya pengawal itu minta kepada rombongan Hang Tuah agar mau ikut ke istana untuk dipersembahkan ke hadapan Sultan Negeri Melaka.
Pada saat itu Sultan mengadakan pembincaraan penting dengan para pembesar kerajaan bertempat di Balairung. Datuk Bendahara dan para Menteri telah melaporkan keadaan terakhir di Negeri Melaka yang menunjukkan tidak aman karena diganggu oleh perompak lanun yang merajalela di sepanjang pantai. Tiba-tiba pengawal datang untuk mempersembahkan Hang Tuah dan kawan-kawannya yang baru saja selesai menewaskan gerombolan perompak lanun. Setelah mendengar persembahan tersebut, Sultan sangat gembira dan minta Hang Tuah dan kawan-kawannya sudilah menghadap.
Berhubung Sultan sangat puas atas keluguan dan keperkasaan Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu, atas bukti nyata yang disaksikan para pengawal istana, maka pada saat itu Hang Tuah hendak diangkat sebagai Laksamana dan keempat temannya diangkat sebagai pegawai utama istana Negeri Melaka. Setelah Hang Tuah dilantik sebagai Laksamana, Patih Kermawijaya merasa tidak puas. la merasa dirinya sudah lama mengabdi kepada Sultan Negeri Melaka, untuk itu ia patut dilantik sebagai Laksamana. Sultan dianggapnya “tidak mengenang budi dan jasa”, katanya.
Menghadapi keadaan Negeri Melaka seperti itu, Patih Kermawijaya berusaha mengatur siasat untuk menggulingkan Hang Tuah. Pada suatu hari Permaisuri Tun Tijah sedang memanggil laksamana Hang Tuah ke tempat kediamannya. Laksamana Hang Tuah datang menghadap dan mohon ampun samba bertanya apakah gerangan tengku permaisuri memanggilnya. Tun Tijah mengaku sudah lama ingin berjumpa dengan Datuk Laksamana, akan tetapi ia merasa ragu. Kemudian Tun Tijah berpantun:
Cendana bukan sembarang cendana
Cendana dibawa ke Inderagiri
Laksamana bukan sembarang Laksamana
Laksamana perkasa berbudi tinggiMendengar pantun tersebut, Hang Tuah ketakutan dan mohon ampun kepada tengku permaisuri, lalu ia mohon diri sebelum Sultan murka nantinya. Tun Tijah makin menjadi-jadi dan melanjutkan pantunnya:
Wahai Datuk Laksamana
Bukan hati memuji Laksamana
Bukti nyata di seluruh Melaka
Jejaka perkasa di pandang mata
Menegak bangsa dan negaraWalaupun Hang Tuah telah memohon ampun berulangkali, Tun Tijah pun tetap tidak peduli. Dengan disaksikan oleh dayang-dayang istana, Hang Tuah memaksakan diri untuk pulang, sambil berpantun:
Ampun tuanku permaisuri
Biarlah patik bermohon diri
Janganlah patik dipanggil lagi
Akhirnye buruk name negeriKeadaan di kediaman Tun Tijah itu diketahui oleh Patih Kermawijaya, sehingga ia manfaatkan peristiwa ini untuk mengatur siasat. Kemudian ia menghadap Sultan dengan mengatakan bahwa “Laksamana Hang Tuah berperilaku sungguh memalukan dan berani berbuat melanggar pantang, ceroboh, berani bersendau-gurau dengan tengku permaisuri Tun Tijah”. Selama ini Sultan tidak pernah mendengar berita buruk, tetapi Patih Kermawijaya sangat meyakinkan Sultan, sehingga Sultan segera memanggil Datuk Bendahara dan memutuskan hukuman mati terhadap Hang Tuah.
Datuk Bendahara ragu terhadap keputusan Sultan tersebut, apakah benar Hang Tuah melakukan pelanggaran seperti yang dikemukakan Patih Kermawijaya? Untuk itu Datuk Bendahara mohon kepada Sultan hendaknya menyelidiki terlebih dahulu benar salahnya berita ini. Akan tetapi Sultan sudah terlanjur percaya kepada Patih Kermawijaya karena Patih tersebut sudah lama mengabdi kepada kerajaan Negeri Melaka. Datuk Bendahara pun tidak berdaya kemudian memanggil Hang Tuah untuk diajak menghadap Sultan dengan mengatakan suatu hal yang sesungguhnya. Sejak peristiwa ini Hang Tuah dipecat sebagai Laksamana dan diputuskan hukuman mati di tengah hutan yang akan dilaksanakan oleh Datuk Bendahara.
Sebagai penggantinya diangkatlah Hang Jebat menjadi Laksamana Negeri Melaka. Pada masa transisi seperti ini Sultan sering pergi ke negeri jajahannya dan lama tidak pulang ke istana. Kemudian dimanfaatkan oleh Hang Tuah untuk membalas bela kematian sahabatnya Hang Tuah. Oleh karena itu, Hang Jebat mengamuk di istana dan siapa pun yang mendekatinya ia tikam hingga tewas. Dayang-dayang dan Permaisuri Tun Tijah yang cantik rupawan diminta menghibur Hang Jebat. Tidak seorang pun berani menangkap Hang Jebat yang sedang durhaka. Ketika Sultan mengetahui peristiwa ini, ia pun tidak berani pulang ke istana, melainkan mengungsi di kediaman Datuk Bendahara.
Dengan segala penyesalan, Sultan berkeluh di hadapan pembesar kerajaan dengan mengatakan bahwa “bila Tuah masih hidup mungkin tak kan sampai Jebat berani mendurhaka”. Kemudian Datuk Bendahara bersembah di hadapan Sultan dengan reaksi, “apabila Hang Tuah masih hidup, sudikah Paduka Sultan memaafkannya?” Sultan terkejut sambil berseloroh, “bicara apa pula yang datuk sampaikan kehadapan beta, tak kan lah mungkin orang yang sudah mati akan hidup kembali, mustahil… tapi …tapi … apa maksud datuk sebenarnya?”
Sewaktu Sultan memerintahkan untuk menghukum mati Hang Tuah, Datuk Bendahara tidak sampai hati melakukannya. Pada saat itu Hang Tuah disembunyikan di hulu sungai Melaka untuk berguru di sana. Lalu Datuk Bendahara segeri menjemputnya untuk dipersembahkan ke hadapan Sultan. Sultan pun mengampuni kesalahan Hang Tuah dan langsung menugaskan Hang Tuah untuk segera menangkap Hang Jebat.
Hang Tuah berangkat menuju ke istana untuk membujuk Hang Jebat supaya menyerah dan berhenti berbuat durahaka. Hang Jebat tidak mau menyerah begitu saja, malah ia bicara dengan nada menantang : “Biar Jebat dikatakan mendurhaka, tak jadi apa, karena beta ingin membela kebenaran atas kematian kak Tuah!” Selanjutnya terjadi pertarungan hebat antara Hang Tuah dengan Hang Jebat. Pertama-tama mereka saling merebut keris Taming Sari, seterusnya saling tikam-menikam. Akhirnya Hang Jebat memberikan keris kepada Hang Tuah sambil mengatakan: “Kak Tuah silahkan bunuhlah beta!” Hang Tuah menghujamkan keris Taming Sari ke dada Hang Jebat hingga tewas mengenaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Rakyat
Short StoryKumpulan cerita rakyat yang berasal dari seluruh Indonesia