Chapter 1: Dream

232 4 2
                                    

SORE yang kelam kembali meyelimuti desa menyedihkan ini, seolah mimpi buruk ini tidak ada habisnya. Air Conditioner yang terus dinyalakan sejak pagi tadi membuat suhu di ruangan ini benar-benar dingin. Ditambah lagi hujan yang baru saja turun beberapa jam yang lalu sukses membuatku terserang flu. Suasana kelas yang sunyi terasa sangat langka, mungkin ini efek dari hujan tadi yang baru saja turun. Kulihat guru matematika sedang konsentrasi menulis di papan tulis sementara sebagian murid tengah sibuk dengan diri mereka masing-masing.


Ku lemparkan pandanganku keluar jendela. Bekas air hujan yang ada di kaca jendela menimbulkan efek blur yang sempurna. Aku lalu membersihkannya dengan saputanganku. Sekarang pemandangan diluar terlihat jelas. Dilihat dari kelasku yang berada di lantai tiga gedung sekolah, halaman tampak begitu sepi. Tak terlihat seseorang pun disana. Lampu-lampu jalan yang berdiri kokoh terlihat sudah menyala menerangi sepanjang jalanan menuju ke sekolah. Pohon-pohon di hutan sekitar bergoyang-goyang ditiup angin. Sisa-sisa air yang menggenang di jalan berpasir menimbulkan becekan disana-sini.


Mengamati halaman sekolah adalah kegiatan favoritku saat sedang berada dikelas. Bagiku, mengamati keluar jendela memberiku ketenangan dan kenyamanan yang luar biasa. Terkadang aku juga belajar beberapa pelajaran hidup. Hanya dengan mengamati keluar jendela, pikiranku sering berimajinasi, melambung tinggi membayangkan banyak hal, seolah aku dapat keluar dari suasana ruang kelas yang bising ke dalam duniaku sendiri yang hening tanpa suara. Hal inilah yang membuatku begitu nyaman, meskipun segaduh apapun suasana didalam kelas.


"Hei! ! Lihat apa kamu disana?" Teriakan itu memecah lamunanku.


Ternyata dari tadi aku dipelototi oleh Pak Ryota, guru matematika killer yang tengah mengajar didepan kelas.


"Tidak lihat apa-apa Pak. Tadi diluar seperti ada seseorang yang memanggil nama saya, jadi saya menoleh. Tapi ternyata cuma perasaan saya saja." jawabku tenang.


"Alahh.. ngeles saja kamu! Keluar kamu! Jangan pernah masuk di pelajaran bapak lagi!" Teriak Pak Ryota. Merasa tidak diperhatikan selama mengajar tadi, amarahnya mulai memuncak. Yep. Aku tau dia akan mengatakan hal ini. Tidak. Justru aku memang mengharapkannya.


Semua mata tertuju padaku. Tepat setelah kalimat terakhir Pak Ryota keluar dari mulutnya, seisi kelas tiba-tiba sunyi senyap. Mereka melempar berbagai macam tatapan padaku. Ada yang panik, sebagian takut, sebagian biasa saja seolah tidak sedang terjadi apa-apa, dan sebagian lagi tertawa bahagia. Namun, ada satu hal yang pasti, yaitu tidak ada satupun yang menatapku dengan tatapan prihatin.


Sedikit gertakan kecil lagi, maka rencanaku akan berhasil.


"Ta-tapi Pak..." belum sempat selesai bicara, perkataanku dipotong pak Ryota dengan amarah yang mendidih "Tidak ada tapi-tapian! Cepat keluar!!!" Aku berangkat dari kursiku perlahan sambil menundukkan kepala kebawah. Dalam hati aku tersenyum. Seyum penuh kemenangan.


"Mengagumkan!" ujarku sangat pelan sambil masih tertunduk senyum. Mengagumkan bagaimana si tua bangka ini bisa dengan mudah aku perdaya!


Sambil berjalan menuju pintu keluar, Pak Ryota mengutukku "Dasar pemalas! Mau jadi apa kau besar nanti, hah? Preman? Pencopet? Penodong? Cih."


"Hidupku sudah cukup keras, Pak. Tidak perlu susah-susah menceramahiku tentang kehidupan."


"APA KATAMU?!" Pak Ryota tersontak kaget mendengar ucapan lantangku. Urat-urat di kepalanya keluar, dahinya mengkerut mantap, rahang-rahangnya terbuka lebar, persis seperti macan yang siap menerkam mangsanya.


Aku melanjutkan perkataanku,"Tidak ada gunanya punya impian, karena

impian itu ibarat menang lotre! Pada akhirnya, semuanya bergantung kepada keberuntungan. Kalian semua! Siapa disini yang punya mimpi?" sambil menatap wajah temanku satu per satu.


"Kau yang disana! Ya, kau! Apa mimpi mu? Presiden? Menteri? di dunia ini, ada berapa juta orang yang ingin jadi presiden. Anggaplah satu juta orang. Dan kau?! Kau pikir kau pantas mendapatkannya? Satu diantara jutaan orang itu? Kau pikir dirimu spesial? Satu diantara jutaan orang? Jangan bodoh!"


Mata ku kembali beralih menatap Pak Ryota "Menurut anda, apa yang akan terjadi jika semua mimpi dari anak-anak yang berdo'a agar jadi presiden terkabul? Negara dipimpin oleh 1000 presiden? Bagaimana dengan pilot? Ada begitu banyak anak manusia yang bermimpi jadi pilot? Sedangkan berapa banyak pilot yang dibutuhkan untuk menerbangkan pesawat yang tersedia? Atau dokter? Anda tau berapa juta orang yang mendaftar di Universitas jurusan kedokteran padahal kuota yang disediakan oleh pihak universitas sangat sangat terbatas? Kau tahu, bahkan terkadang hanya belajar dan berusaha keras pun tidak akan cukup. Terkadang, harus ada permainan uang dibelakangnya. Maka sebenarnya aku tidak perlu repot-repot berlajar, karena aku hanya anak orang miskin."


"TUTUP MULUTMU ANAK BANGS-...."


"Apalagi? Selebriti? Direktur? Tentara?" sebelum Pak Ryota berhasil memotong, aku lebih dulu melanjutkan ucapanku, "Berapa banyak orang yang jadi gila karena impian mereka tidak terwujud? dan saya? Terima kasih, tapi maaf saja, Pak. Saya tidak mau mendapat kemungkinan untuk gila. Menyia-nyiakan tenaga dan pikiran untuk sesuatu yang tidak pasti!" Tutupku sedikit kesal. Sesaat setelah itu, aku sedikit menyesal telah kelepasan.


"Sial, aku terpancing", gumamku dalam hati.


Mulut Pak Ryota yang terbuka lebar tak mengeluarkan suara sedikitpun. Ia sudah tak bisa berkata-kata lagi. Matanya yang besar terbelalak seakan-akan mau melompat keluar. Ekspresi wajahnya persis seperti monster yang pernah aku lihat di buku-buku cerita lama. Tangannya yang terangkat tinggi kelangit-langit, menjadi suatu isyarat yang sangat jelas. Dia ingin menyelesaikannya dengan cara barbar.


Sejenak, ruangan itu seolah-olah mati, mengingat tak ada satu benda atau orang pun yang mengeluarkan suara, bahkan mungkin bernafas. Jika di film-film, ini adalah saat dimana adegan dimainkan secara slow-motion.


Sambil tertunduk, aku berdiri tepat di hadapan Pak Ryota, mengambil nafas panjang lalu bersiap-siap menerima pukulan.


"Plakkk...!!", satu tamparan mendarat dipipi kanan.


"Plakkk...!!!!", dua. Kali ini kiri.


"Plakkk...!!!!!!!!!!!", tiga.


Aku sudah bersiap-siap untuk yang keempat tetapi ternyata dia tiba-tiba berhenti.


"Sudah selesai Pak? Baiklah, saya mohon permisi dulu."


Sambil tertunduk, kututup pintu kelas dan berjalan di koridor yang sepi dan dingin, perlahan-lahan menjauh meninggalkan kelas.


HopelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang