Chapter 2: Money

143 6 1
                                    


                     Sambil menahan tawa, kuteguk gelas terakhir berisi air lemon murah dengan sembarangan lalu menghempaskannya ke meja. Keringat mengucur dari dahi sampai ke leher. Otot-otot di kepalaku menegang, seolah otak ini tengah digunakan untuk pekerjaan yang memeras pikiran. Harusnya aku tidak membuang-buang waktu musim panas tahun ini dengan melakukan hal-hal yang tidak ada gunanya seperti ini. Harusnya dari awal aku memilih untuk tetap mencari uang dengan membuka kedai ramenku di pinggir jalan itu daripada menuruti ajakan tetanggaku ini untuk makan di rumah makan murah atap terbuka seperti ini, mendengarkan omong kosongnya dan pacarnya tentang mimpi-mimpi nya yang ingin pergi ke kota besar untuk mencari pekerjaan dan menggapai cita-cita. Lebih dari 45 menit kami berbicara, dan rasanya perdebatan ini tidak akan menemukan ujungnya. Dari awal aku memang menerima ajakannya hanya agar bisa makan tanpa mengeluarkan sepeserpun uang. Aku tidak pernah  perduli dengan berhasil atau tidak nya kencan pertama teman di depanku ini. Apakah nasib nya akan bagus dan berjalan mulus atau berakhir dengan buruk, aku sama sekali tidak perduli. Semua perdebatan bodoh ini berawal dari pembicaraan tetanggaku yang mencoba memecah kesunyian diantara kami, membicarakan mimpi kekasihnya, namun malah berakhir dengan sangat buruk.

                     "Hei, Akiyama. Apa kau tau gadisku ini punya cita-cita yang besar?" kata Jirou, tertawa sambil tersipu-sipu malu disamping kekasih barunya. Dia adalah tetangga yang tinggal berdekatan dengan rumahku. Menurutku, memalukan sekali dengan umurnya sudah hampir mendekati 30 tahun tetapi ia masih tinggal menumpang dirumah ibunya. Kesehariannya pun hanya bermalas-malas dirumah dan tidak bekerja.

                     "Oh ya?" balasku sekenanya, tak berminat untuk melanjutkan pembicaraan. Kulihat reaksi gadis itu persis seperti tetanggaku tadi, tersenyum tersipu-sipu malu. Hebat sekali, gumamku dalam hati. Mereka sangat cocok. Benar-benar bodoh.

                     "DIa ingin pindah ke kota besar lalu memulai karirnya sebagai penulis novel profesional" lanjutnya lalu menyerupun jus apel dingin yang sedaritadi diacuhkan, sehingga es didalamnya telah mencair dan permukaan gelas plastik itu mengembun dan basah.

                     Sang kekasih menambahkan, "Aku ingin menyewa apartemen sederhana dan hidup dengan biasa-biasa saja sambil menulis novel-novelku. Aku rasa itu bukan ide yang  buruk." Dia berbicara sambil mengunyah dengan mulut penuh lalu setelah mengakhiri ucapannya, ia lanjut menyantap seporsi daging cincang dengan lahap. Gadis ini tubuhnya kurus tapi banyak makan. Mungkin dia belum makan dari pagi? Tipikal anak orang miskin yang mengencani seseorang hanya agar dapat makan sepuasnya dan mencari kesenangan material semata.

                     "Tu-tunggu dulu. Kau jauh-jauh pergi dan bertahan hidup di kota besar hanya untuk menjadi novelis yang gajinya sangat pas-pasan itu? Memangnya di kota tidak ada pekerjaan lain yang menghasilkan banyak uang? Setidaknya carilah pekerjaan yang dapat mengubah kehidupan miskinmu di desa ini menjadi  jauh lebih baik." Kataku memberikan saran yang jujur.

                     "Aku bekerja bukan karena uang, tetapi karena memang passion ku adalah menulis dan aku senang melakukannya. Aku bahkan rela jika ada penerbit yang mau menerimaku sebagai pekerja mereka,  tanpa harus dibayarpun aku akan melakukannya dengan senang hati."

                     Omong kosong. Bicara apa perempuan ini? Dia berbicara seolah dia sudah tau semuanya, "Apa tadi katamu? Dipekerjakan tanpa dibayar? Melakukan sesuatu tanpa dapat sepeserpun uang? Passion? Jangan ngawur." Aku mulai tidak mengerti arah pembicaraannya.

                     "Aku serius. Uang memang penting, tetapi uang bukanlah segalanya."

                     DEG.Uang memang penting, tetapi uang bukanlah segalanya.Kata-kata itu menusuk tepat di jantungku. Kenangan-kenangan dan kilasan balik dengan cepat terbayang di memori ingatan hanya dengan kata-kata sederhana seperti itu. Mukaku memerah, dada terasa sesak, seperti ada hal besar yang mendesak meminta untuk kukeluarkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HopelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang