Hiruk pikuk yang begitu ramai tampak menyesakkan, jam pulang sekolah selalu menjadi waktu yang membahagiakan tetapi sedikit menjengkelkan. Saya berdiri tepat di depan halte sekolah untuk menunggu Bus yang biasa beroperasi pada sore hari, hari ini Ayah bilang tidak bisa menjemput saya karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya, sedangan Ibu tidak begitu handal dalam menggunakan kendaraan sehingga saya memilih untuk menaiki Bus.
Sebenarnya, saya terbilang jarang menggunakan Bus saat pulang ataupun pergi sekolah. Saya hanya akan menggunakan Bus ketika dalam keadaan mendesak seperti sekarang, karena saya mudah tertidur dan melewatkan halte pemberhentian.
"Kamu tidak di jemput oleh Ayahmu?"
Sebuah tanya yang keluar di tengah ramainya suara-suara manusia membuat saya mau tidak mau menoleh pada sesonggok manusia yang saya kenali sebagai Gama Pramudya si Ketua Osis yang kini tengah berdiri disamping saya.
"Menurutmu bagaimana?"
Alih-alih menjawab tanya yang di lontarkan Gama, saya justru memberikan pertanyaan balik.
"Menurutku iya, mau pulang bersama?"
"Memangnya kamu membawa kendaraan, bukannya Ayahmu tidak mengizinkan kamu untuk membawa kendaraan pribadi?"
Gama tidak menjawabnya dia hanya tertawa pelan, sampai setelahnya Bus berhenti tepat di depan halte. Dia menarik tangan saya untuk berjalan memasuki Bus, belum sempat saya protes dengan tindakannya yang tiba-tiba Gama dengan cepat membungkam saya dengan perkataannya.
"Maksudku kita pulang bersama menaiki Bus, aku khawatir kalau kamu pulang sendiri nanti malah hilang karena melewati pemberhentian Bus."
Dia ini kenapa sangat menyebalkan sekali, kalau tidak ramai sudah saya injak kakinya. Sayang sekali Bus sangat ramai sehingga saya harus diam tidak membuat keributan.
Setelah melewati perjalanan yang sedikit panjang dan melelahkan kami akhirnya sampai di halte pemberhentian, rumah saya dan Gama memang berdekatan membuat kami berjalan beriringan bersama menyusuri jalanan komplek sore itu.
Sejujurnya saya dan Gama memang teman dari kecil dan kita juga merupakan tetangga, kita sudah mengenal sejak TK sehingga saya tidak begitu canggung ketika berduaan seperti sekarang. Walau Gama kadang menyebalkan tetapi dia merupakan orang yang baik.
"Zan, kamu tahu gak? Aku menyiapkan sesuatu untuk kamu."
Jalan pikiran Gama tidak pernah bisa saya tebak, maka sore itu saya hanya menjawab dengan gelengan. Tanpa di duga Gama mengeluarkan sebuah kertas yang saya yakini proposal, saya merupakan Sekretaris Osis maka saya hafal apa yang Gama keluarkan karena dari wujudnya saja sudah gampang di tebak.
"Apakah itu proposal? Untuk apa?" Saya bertanya dengan kebingungan, karena seingat saya Osis sedang tidak mengurus acara apapun jikalau ada yang harus di urus bukannya itu tugas saya?
"Iya, ini proposal. Kamu baca di rumah jangan disini, aku malu. Kalau sudah baca nanti tunggu saya mengetuk jendela kamarmu pukul delapan malam."
"Kenapa harus nanti? Apa bedanya nanti dan sekarang?" Gama terkekeh pelan kemudian mengusap puncak kepala saya.
"Beda Zanna, kalau kamu baca sekarang aku belum siap, masih harus mengumpulkan kepercayaan diri. Jadi nanti saja ya?"
Dengan spontan saya mengiyakan permintaan Gama sore itu, setelahnya saya harus memasuki rumah dan begitu pula dengan Gama yang memasuki rumahnya.
■■■■
Suara ketukan di jendela membuat saya yang tengah fokus mengerjakan tugas merasa terganggu, netra saya bergerak melihat pada jam dinding kamar. Rupanya sudah jam delapan malam.
Dengan segera saya bergerak membuka jendela, angin malam langsung menampar saya, rasanya begitu dingin tapi menyejukkan.
"Kamu sudah membaca proposal yang saya berikan sore tadi?"
"Sudah."
Perihal proposal yang Gama berikan pada saya sore tadi sudah saya baca, proposal itu berisi permintaan izin untuk mencintai saya. Gama memang aneh, perihal rasa saja harus melalui proposal yang dia buat tampak nyata dengan judul, pelaksanaan acara, anggaran dana, bahkan sampai kepanitiaan yang isinya cuma saya dan dia.
"Jadi bagaimana menurutmu tentang proposal tersebut, apa saya di izinkan untuk mencintai Zanna Mahira. Apakah proposal saya di ACC?"
"Masih belum, pelaksanaan acaranya kurang jelas. Aku tidak paham maksudnya."
"Memangnya yang jelas seperti apa?"
"Aku lebih suka lelaki yang berani mengungkapkan lewat lisan, tetapi lewat tulisan juga tidak buruk."
Saya bisa menangkap Gama yang berusaha menahan senyum yang akan muncul dari wajahnya.
"Baik, aku paham maksudmu. Kalau begitu proposalnya tidak usah aku revisi ya, bagaimana kalau kamu langsung menjadi milikmu?"
Untung saja jam delapan malam sudah lumayan gelap sehingga rona merah yang muncul pada wajah saya tidak begitu jelas untuk di lihat di kegelapan.
"iya."
"Iya apa?" Gama justru memberikan pertanyaan dengan senyum jahilnya.
"Iya aku menjadi milikmu."
"Oke Zanna milkku, besok kita makan bakso kantin untuk kencan pertama. Sekarang sudah malam, selamat melanjutkan belajarnya Zanna tetapi jangan sampai kamu tidur kemalaman."
Saya berusaha mengendalikan diri agar tidak berteriak karena perkataan yang dilontarkan oleh Gama, saya berpikir bahwa Gama habis makan gula banyak sekali sehingga menjadi semanis itu.
"Kamu juga jangan terlalu memaksakan belajar, aku tutup ya. Selamat malam Gama Pramudya."
"Selamat malam juga Zanna Mahira."
■■■■
─bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pramudya
Teen FictionHanya sepenggal kisah hidup Gama Pramudya, dengan bumbu manis dari Zanna Mahira. © LEEHCJN, 2021