03. Kencan Pertama

33 6 8
                                    

Seperti yang sudah Gama janjikan tadi malam untuk kencan pertama kami adalah makan bakso bersama di kantin, saya duduk di salah satu kursi yang tersedia sambil menunggu Gama keluar dari kelasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti yang sudah Gama janjikan tadi malam untuk kencan pertama kami adalah makan bakso bersama di kantin, saya duduk di salah satu kursi yang tersedia sambil menunggu Gama keluar dari kelasnya.

Tadinya saya dan Gama ingin kencan pada saat jam istirahat, tetapi rupanya saya tidak bisa karena ada ulangan setelah jam istirahat. Mau tidak mau saya harus belajar dan merelakan kencan kami, untung saja Gama bukan tipikal cowok yang mempermasalahkan segalanya sehingga dia meyakinkan saya untuk kencan saat pulang sekolah.

"Kamu sudah menunggu lama?"

Entah angin apa yang membawanya begitu cepat sehingga sudah duduk di depan saya dengan senyum manis yang terpatri sempurna.

"Tidak juga, kita pesan sekarang saja. Kalau kesorean nanti kita bisa terlambat naik Bus." Gama mengangguk, saat saya ingin memasan dia justru menahan.

"Kamu tunggu disini, biar aku yang pesan saja. Aku mau kencan pertama kita bisa bermakna buat kamu."

Tutur kata manisnya tentu saja membuat rona merah pada pipi saya menguar begitu saja, mungkin  saya akan mengingatkannya untuk tidak terlalu sering memakan atau meminum sesuatu yang terlalu banyak gula. Sangat tidak baik untuk kesehatan jantung dan kewarasan yang saya punya.

Tidak lama setelah Gama memasan bakso untuk dirinya dan saya, Bakso yang dipesan sudah berada di atas meja dengan dua gelas teh manis dingin.

"Selamat makan Zanna, jangan terburu-buru nikmati saja tiap suap yang masuk kedalam mulutmu. Sekaligus menikmati waktu bersamaku."

"Kamu belajar hal seperti itu darimana? Sepertinya kamu terlalu banyak mengkonsumsi gula."

"Aku belajar sendiri, soalnya kemarin aku tanya Abian dia bilang harus belajar pakai rasaku sendiri. Menurutmu aku manis?"

Saya menahan diri untuk tidak menenggelamkan wajah pada semangkuk Bakso yang kini ada di hadapan saya, mungkin wajah saya sudah merah sekali.

"Zanna, kamu sangat lucu kalau sedang tersipu. Rasanya ingin aku bawa pulang, tidak mau aku kembalikan pada orang tuamu"

"Gama cukup, aku Masih ingin hidup lebih lama. Kalau kamu terus menggodaku nanti aku kena serangan jantung, dan kata-kata manismu bisa saja membuat gula darahku naik."

"Oke, aku akan diam. Kamu harus makan juga, tapi semisal gula darahmu naik aku bisa bantu carikan tangga untuk menurunkannya."

"Tolong Gama, sekarang kita makan dulu atau kita bisa ketinggalan Bus."

Gama justru tertawa dan menepuk pelan kepala saya, kenapa ya Gama saat tertawa terus bertambah manis.

"Oke, kita makan dulu. Kalaupun nanti ketinggalan Bus kita bisa jalan berdua saat pulang, Romeo saja rela meminum racun untuk Juliet. Masa seorang Pramudya tidak sanggup jalan kaki bersama Zanna Mahira."

Saya mendengus sebal, "Kamu bukan Romeo, tentu saja berbeda. Aku masih sayang kedua kakiku, rumah itu jauh ya!!"

Menyelesaikan makan kami yang Gama sebut dengan kencan, kami beriringan berjalan menuju gerbang sekolah. Tidak seperti biasanya pada jam pulang sekolah yang ramai siswa dan siswi, kali ini tampak lebih sepi dari biasanya.

"Tumben sepi, ekskul libur ya?" Saya bertanya pada Gama, tetapi Gama juga tampak bingung.

"Setau aku hari ini ada ekskul? Mungkin sudah selesai, kita pulang saja."

Tangan saya di genggam oleh Gama, kita berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Rupanya ada hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, di depan gerbang sekolah banyak segerombolan orang menggunakan seragam sekolah yang sama seperti saya serta segerombolan orang yang saya ketahui dari sekolah sebelah.

Mungkin jika mereka tidak memegang balok kayu serta beberapa benda tajam lainnya saya Masih bisa bersikap biasa saja, tetapi di depan sana saya bisa melihat mereka membawa benda-benda tajam, tanpa sadar tubuh saya gemetar ketakutan.

Gama melepaskan genggaman dari tangan saya, kedua tangannya bertengger di bahu sempit saya, matanya menatap saya dengan begitu serius.

"Kamu jangan jauh-jauh dari aku, aku tidak pernah tahu kemungkinan apa yang bakal terjadi. Kita menyelinap lewat gerbang lain biar aku hubungin Abian, pegang tanganku. Percaya padaku Zanna." Saya hanya mengangguk dan menggenggam erat tangan Gama agar kami tidak berpisah.

"Zanna, dengar aku nanti kamu temui Abian lebih dahulu aku bakal berusaha membubarkan kerumunan. Aku Ketua Osis, aku mau warga sekolah aman, kamu paham?"

"Gama, kita pulang saja. Kamu gak harus mengurus mereka, kita pergi saja atau kita bersembunyi dan lari."

"Maaf Zanna, tapi aku juga tidak bisa membiarkan teman-temanku kesusahan. Kamu lihat disana ada Cakra Dan Rega, aku akan pergi setelah Abian datang. Kamu aman, aku akan menjaga diri oke?"

"Oke, tapi Gama kamu janji harus kembali ya?"

Entah apa, tapi sore itu saya benar-benar ketakutan. Saya takut Gama menghilang, saya mengangkat jari kelingking saya pada Gama untuk mengucap janji dan di sambut dengan baik oleh Gama serta senyum yang berusaha menenangkan.

"Janji."

■■■■

─bersambung.

PramudyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang