01 - Api Bulan November

22 3 0
                                    

Flash kamera menyala-nyala, menyorot ke arah manusia yang sedang berjalan menuju red carpet.

Seorang pria separuh baya, yang terlihat penuh kharisma dengan mengenakan setelan jas tuksedo warna hitam. Ia berdiri dengan penuh wibawa dan percaya diri, menyunggingkan senyum, menatap kamera satu persatu sambil sesekali melambaikan tangannya. Hebatnya, ia melakukan itu semua tanpa berkedip meskipun jepretan kamera terus menyalak tiada hentinya.

Tak lama kemudian, seorang perempuan ikut melangkah masuk area yang sama. Ia tidak seumuran dengan pria tadi. Perempuan itu masih sangat muda. Dia terlihat cantik dan elegan dengan mengenakan dress warna merah. Rambutnya terurai lurus, terlihat indah legam hitam.

Setelah mereka merasa cukup, sang pria paruh baya terlihat memanggil dua orang pria lainnya -yang memang sedari tadi sudah berada di pinggiran red carpet-untuk mulai melangkah.

Dua orang pria berjalan masuk.

Seperti pria pertama, kedua pria itu juga mengenakan setelan tuksedo. Bedanya yang satu berwarna merah dengan model rambut pompadour dan satunya lagi berwarna hitam polos ditambah model rambut belah tengah.

Mereka tersenyum ke arah kamera. Saling rangkul dan terlihat sangat bahagia. Tapi tidak dengan pria berjas hitam itu. Ia hanya tersenyum ala kadar, seperti terpaksa. Dari sisi kanan pers, aku mengamatinya lamat-lamat. Sedetik kemudian, ia menoleh ke arahku. Memasang tampang garang. Aku paham maksudnya. Ia memang benci kamera.

"Liat deh, si Zeno. Keliatan tertekan banget, 'kan?"

Entah darimana asalnya, temanku yang bernama Juyan ini tiba-tiba menepuk bahuku sambil menunjuk Zeno dengan dagunya. Aku menoleh ke arahnya sebentar, lalu kembali fokus melihat keramaian itu.

Aku mengangguk. "Iya, kasihan."

"Btw, itu yang pake gaun merah siapa njir? Cakep bener."

Juyan tetaplah Juyan. Terkenal dengan sibuknya bermain wanita. Namun anehnya, masih banyak yang ingin berpacaran dengannya. Aku masih ingat betul, tujuh hari sebelum wisuda, ia ditembak perempuan di taman Kampus. Bukan ditembak betulan, tapi maksudnya perempuan tersebut mengungkapkan perasaannya dengan cara yang konyol. Bayangkan saja, dia berdiri di kursi kayu yang letaknya tepat ditengah-tengah taman samping kampus, sambil membawa toa, ia kemudian berteriak-

"JUYAN! MAU NGGAK JADI PACAR AKU?"

Aku, Zeno, Juyan, dan Jiye-adiknya Juyan-yang memang kebetulan lewat di taman waktu itu tentu saja terperangah kaget. Rasanya ingin tertawa keras-keras, Juyan apalagi. Ia berjalan ke arah perempuan itu, meminta toa yang dipegangnya, lantas ikut berteriak-

"IYA! GUE MAU!"

Si perempuan tampak girang. Tapi seperti dugaan, Juyan hanya bergurau. Kabarnya, perempuan itu menangis sampai berhari-hari.

Aku melirik Juyan. "Kenapa, heh? Mau lo apain emang dia?"

Juyan menggumam, berpikir. "Di cocol enak kali, ya?" ia mengerling ke arahku.

Aku lantas menoyor dahinya. Tertawa. "Tolol. Itu nyokapnya Zeno, bego!"

Raut muka Juyan sontak kaget. Tidak percaya. "Seriusan lo!?"

Aku hanya mengangguk.

"Kapan kawinnya, cuk?"

"Mm, dua bulan lalu kalau ngga salah."

"Buset, bisa gitu anjir. Kok gua gak tau, sih? Kita udah temenan lama, loh. Kalian juga tiap hari bareng sama gua mulu."

"Lo nolep," jawabku singkat.

The Sins UnseenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang