05 - Memori Hitam

10 0 0
                                    

Aku menatap telapak tanganku yang berdarah. Cairan merah itu tembus sampai ke perban dan membuat tangan kananku seperti mati rasa. Parahnya lagi, aku harus menemani Zeno sendirian. Juyan juga tidak mungkin kuhubungi karena ia sedang sibuk bersenang-senang di Bogor, merayakan ulang tahun Kirai.

Aku mengontak Mbak Endah, bilang bahwa aku tidak pulang malam ini. Dan aku juga menghubungi Om Joni bilang bahwa Zeno sudah 2 hari sedang bersamaku dan mungkin tidak bisa pulang lagi malam ini. Syukurlah, Om Joni di seberang telepon bernada halus. Tidak terlihat emosi.

Tepat setelah aku kembali ke ruangan Zeno, mataku teralihkan oleh benda kotak diatas nakas besi. Ponsel Zeno yang sedang diisi daya tiba-tiba berdenting. Karena penasaran, aku mengecek dan membaca pesan yang masuk.

Abang

zen, juyan kamana nya? dihubungin teu diangkat-angkat. pdhl urang pgn kumpul sm klian bertiga. sia jg kamana? dr kmren kg buka wa perasaan

Ah! Sepertinya mulai sekarang aku harus menghilangkan sifat kekepoanku. Tidak sopan membaca chat dari ponsel orang lain. Privasi.

Satu jam kedepan hanya kuhabiskan dengan duduk di samping ranjang sambil bermain game, menonton Youtube, memandangi wajah Zeno yang sedang tidur, dan sisanya hanya bengong.

15 menit lengang mengawang. Kantuk menghampiriku. Aku menguap dan menenggelamkan wajah dalam lipatan tangan. Hingga akhirnya,

"Eh? Kamu?"

Kantukku menghilang ketika seseorang berjas putih memasuki ruangan dan bersuara. Ia menunjuk ke arahku. Mata dibalik masker itu sangat tidak asing.

Benar saja, setelah ia membuka maskernya, senyum itu menyimpul dari sudut bibirnya.

"Lo ngapain di sini?" Aku memandang Albi dengan tatapan heran.

"Saya? Saya Dokter di sini." Albi dengan bangga memakai stetoskop yang tadi dikalunginya. Dari belakang, dua orang perawat membuntutinya.

Salah seorang perawat menyuruhku untuk berdiri dan memberikan ruang untuk dirinya memeriksa Zeno. Aku menurutinya, tapi mataku masih terpaku dengan Albi. Kemarin aku menemuinya di peternakan sapi, lalu secara tiba-tiba bertemu di Mal, dan sekarang bertemu lagi dengan cara yang lebih mengejutkan.

Cukup lama bagiku menunggu, hingga akhirnya Albi dan dua orang perawatnya telah selesai mengecek keadaan Zenoku.

"Kamu bisa kembali lebih dulu, saya ada urusan sebentar. Sedangkan kamu tetap di sini, tolong jaga pasien sebentar." ucap Albi pada para perawat. Salah satu perawat itu mengangguk dan segera meninggalkan ruangan. Sedangkan yang satunya lagi mengambil kursiku dan mendudukinya.

"Tadi perasaan Dokter yang ngehandle bukan lo, deh." Aku masih menatap Albi dengan bingung.

Albi tertawa kecil. "Kamu pasti tau, di setiap Rumah Sakit pasti punya jadwal shift."

Aku membatin, Oh, iya. Benar juga.

Perlahan, Albi berjalan mendekatiku. Ia meraih tanganku dan berbisik pelan.

"Temani aku minum teh, sebentar."

"Dih, gila aja lo. Gamau, gue mau di sini aja," jawabku sambil melepaskan tangannya, lalu berjalan ke belakang, dan duduk di sofa.

Entah apa yang ia bisikkan pada perawat tadi hingga perawat itu memutuskan pergi meninggalkan ruangan. Albi kemudian menyusul duduk disebelahku. Aku membelakanginya. Membuka ponsel. Menyibukkan diri.

"Ngomong-ngomong itu temen kamu kok bisa sampai di sini?"

"Kepo, deh,"

"Ya saya harus tahu dong, kan tadi yang memeriksa temanmu itu bukan saya. Jadi saya harus tau dulu, apa penyebabnya. Dari pemeriksaan saya tadi, sepertinya pasien mendapatkan beberapa pukulan di bagian pelipis serta ujung mulut. Lebam di pahanya cenderung seperti luka diinjak-injak seseorang berulang kali,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Sins UnseenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang