04 - Kejadian di TMB

16 1 0
                                    

"Lo ngapain di sini?"

Zeno tidak menjawabku, ia malah memutar badannya, membelakangiku. Kemudian membuka gim di ponselnya.

Aku berjalan dan kemudian duduk di depan tolet. Dari cermin, aku melihatnya lamat-lamat. Sedetik kemudian aku menyadari sesuatu. Merah. Cairan merah.

"HEH!"

Aku panik. Zeno mimisan.

Segera kuambil sapu tangan dari laci nakas dan menyuruh Zeno untuk membersihkan darahnya. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat bekas lebam di area pipi kiri dan tepi mulutnya.

"Zeno, lo kenapa? Abis berantem sama siapa?"

Zeno masih sibuk membersihkan darah yang masih mengucur dari hidungnya. Aku cemas. Lalu memutuskan keluar kamar dan turun untuk mengambil kotak P3K. Saat aku kembali ke kamar, Zeno sudah terbaring lagi dan sibuk bermain game. Aku membanting pintu, berjalan marah, dan mengambil paksa ponselnya.

"Gua lagi main rank, gila!" Zeno protes.

"Muka lo bonyok dodol! Malah ngegame mulu."

Zeno melipat tangannya. Membuang muka sambil menggembungkan pipi. Belum sedetik, ia langsung mengaduh nyeri.

"Duduk, sini. Gue obatin dulu. Baru nanti lanjut main."

Ia menyerah. Menuruti perkataanku.

Aku mengambil kapas, meneteskan betadine ke atasnya, lalu mengoleskan ke luka di tepian bibir. Dilanjut dengan luka di pelipis kirinya. Zeno mengernyit. Mengaduh. Berkali-kali menangkis tanganku.

Terakhir, selesai juga memasang plester lukanya.

"Sekarang cerita. Kenapa bisa gini?"

Zeno menunduk. Enggan berbicara.

"Aku mau tidur aja. Boleh?"

Aku sedikit kaget. Zeno jarang sekali berbicara dengan aku-kamu.

Aku mengangguk. Ia pasti mengalami hari yang buruk dengan keluarganya. Sebagai sahabatnya yang sudah lebih dari 10 tahun, aku tahu. Zeno sedang bermasalah dengan Ayahnya.

Zeno membaringkan tubuhnya. Aku menarikkan selimut untuknya. Setelah itu, aku kembali menuju tolet. Memakai skincare dan segala macam. Kemudian menyusul naik ke atas kasur. Dan sesaat setelah mematikan lampu di atas nakas-yang tepat berada disebelah kanan Zeno, ia secara tiba-tiba meraih tanganku. Kemudian menggenggam dan memeluknya. Hatiku berdegup sangat kencang. Zeno tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya.

Petir bergemuruh. Kilat mengerjap menerpa jendela kamarku. Tiba-tiba turun hujan.

"Dingin. Peluk aku. Tolong."

Dengan canggung, aku mendekatkan badan. Menarik selimut lebih ke atas. Dan kemudian benar-benar memeluk Zeno.

Perasaan euphoria ini tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Meskipun aku tahu, bahwa Zeno tidak akan pernah memiliki perasaan timbal balik padaku.

***

Sudah pukul 8 lebih, dan Zeno masih terlelap. Sedangkan aku sendiri juga punya acara untuk merayakan ulang tahun Kirai.

Hampir pukul 9, Zeno belum membuka matanya sama sekali.

Sepertinya aku harus melewatkan pergi ke Bogor yang semula kawan-kawanku berencana pergi ke Bogor bersama Kirai, pergi ke kedai kopi milik Ayahnya, sekalian merayakan hari jadi. Tapi, terpaksa harus aku skip karena Zeno sedang demam tinggi.

Untuk kesekian kali aku memanggil Mbak Endah untuk mengambilkan handuk baru dan air hangat.

"Mbak tahu nggak, Zeno tadi malem kesini sama siapa?"

The Sins UnseenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang