"Kecilin suaranya!"
Emosiku masih hinggap dalam dada. Bahkan, setelah 16 jam berlalu.
Pukul 7 pagi, saat aku dari dapur dan hendak menuju ke kamar, aku melihat adikku yang sedang duduk di karpet depan televisi. Karena suara TV yang terlalu besar itu, aku membentaknya. Sebenarnya bukan sengaja, tetapi lebih ke reflek(?), entahlah.
Adikku yang sedang bermain PS itu tersentak sebentar, lalu segera mengecilkan volume. Aku menatap segelas susu yang kubawa, lalu melihat kearahnya lagi. Perasaan menyesal seketika datang. Aku menghela napas, berjalan menuju remaja itu. Kemudian duduk di sofa-tepat di belakangnya.
"Anza." panggilku setelah cukup lama berpikir bagaimana kalimat permintaan maaf yang baik. "Maaf tadi kakak ngebentak kamu."
Anza masih bergeming.
Aku menaruh gelas yang berisi susu putih ke lantai. "Kamu tahu, Kakak masih kecewa soal Ayah dan Bunda. Kakak masih ngga bisa nerima, bahwa Ayah sama Bunda lebih mentingin pekerjaan mereka dibandingin wisuda Kakak," jelasku, menunduk. "Seenggaknya kalau benar-benar gabisa dateng, ya nelpon kek atau apa. Tapi ini mereka sama sekali ngga ngelakuin apa-apa. Dan kamu-"
"Itu karena lo bukan anak mereka," potong Anza. Aku menegakkan kepala. Tercengang.
Anza berdiri. Menatapku dengan angkuh dan penuh kebencian. "Jadi, lo gausah ngarep Ayah sama Bunda bakalan peduli sama lo! Dan gue sama sekali gak peduli sama masalah atau urusan lo!" Anza menyeringai. Sedetik pandangannya tertuju pada gelas susuku. "Dasar anak pungut!"
DUGH! PRANG!!
"Ups!"
"ANZA!"
Aku menerima hinaan itu. Tapi soal ia menendang gelasku ke dinding sampai pecah? Dia sungguh keterlaluan!
"Anza!! Kakak belum selesai bicara!"
Anza yang masih berlari setengah jalan di tangga pun berhenti sejenak, menanyaiku dengan nada ejekan. "Lah, sejak kapan lo jadi Kakak gua? Gua gabutuh kakak kayak lo! Lembek! Dasar bencong, banci!" teriaknya, lalu kembali berlari.
Aku terpaku. Teringat dengan omongan seseorang di masa lalu yang kurang lebih sama dengan perkataan Anza.
Kamu lembek banget sih, kayak banci tau ngga!
"Astagfirullah! Apa yang terjadi, Tuan?"
Suara Mbak Endah membuyarkanku. Dia pembantu di rumah kami.
"Si Anza, Mbak. Dia nendang gelas saya tadi."
"Ya Allah, Ya Gusti. Sebentar ya, Tuan. Saya ambil-"
"Ngga, Mbak. Biar saya aja." potongku cepat. Mbak Endah keras kepala ingin membereskannya, tapi aku langsung berjongkok dan mulai memunguti pecahan kaca yang berserakan. "Mending, Mbak ambilin saya plastik atau pengki," suruhku.
Mbak Endah langsung pergi ke dapur untuk mengambil yang kuminta dan ia kembali dengan sebuah plastik merah. Segera aku memasukkan pecahan kaca yang sudah kupungut tadi.
"Tuan beneran ndak butuh bantuan saya? Saya bisa ngepelnya aja, Tuan," tawar wanita itu. Sekali lagi aku menggeleng.
"Tuan muda Anza masih sangat muda. Dia masih berumur 17 tahun. Bukan maksud gimana-gimana Tuan, seharusnya, Tuan Aras dan Nyonya Safir perlu mendidiknya dengan baik. Supaya perilaku Tuan muda Anza juga lebih baik. Padahal-"
"Namanya juga masih remaja, Mbak. Emosinya belum terkontrol." Aku menyela dan menyuruh Mbak Endah untuk kembali ke dapur.
Tanpa berbicara, Mbak Endah hanya mengangguk. Aku menghela napas, mengambil beberapa pecahan kaca. Meremasnya kuat-kuat. Kemudian meninju dinding dengan penuh emosi. Aku meringis. Darah langsung mengucur dari tangan kananku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sins Unseen
Teen FictionDalam dunia yang fana ini, terdapat banyak sekali manusia yang berpijak. Bersenang ria setiap hari. Tanpa berpikir, bahwasannya ada milyaran (bahkan lebih) dosa-dosa mereka yang mengawang tepat di atas kepala. Mereka melakukan semua dosa-dosa itu, d...