Kisah Kami

19 5 11
                                    

Tema : LDR  @Dreamlights_  

Kata kunci :

1. Remahan

2. Mengsedih

3. Calangeyo

4 . Ngintip

5. Semrawut

Jumlah : 414 kata



Jika sepasang kekasih digolongkan berdasarkan kebersamaan, maka kami—aku dan Mas Bara—tak masuk dalam kategori tersebut. Sebab, kami terhalang jarak. Tak hanya berbeda kota, bahkan, kami terpisah pulau. Aku yang berada di barat Pulau Jawa, sementara ia di sebuah kepulauan Indonesia bagian timur.

Terkadang, remahan rindu yang berserak hanya dapat terobati dengan bertukar kabar. Baik melalui pesan singkat, suara, atau yang paling istimewa dengan panggilan video. Mengsedih memang, apabila sinyal sedang tidak bersahabat. Beruntungnya, pukul 20:00 WIB pesan yang dikirimkan olehnya terkirim dengan sempurna.


"Sayang, di mana?"

"Sedang apa?"

"Monitor."


"Hadir, Mas."

"Sudah di kamar."

"Baru selesai checking berkas."


"Sudah selesai 'kah?"

"Bisa telpon?"


"Iya, bisa."


"Aku telpon sekarang. Calangeyo."


Tak berapa lama, layar yang semula menampilkan deret percakapan, kini berganti menjadi panggilan masuk ....


"Assalamu'alaikum, Non," sapanya dari seberang sana.

"Wa'alaikumussalam," aku menjawab telponnya sembari merebah di atas kasur.

"Tumben, jam segini sudah di kamar?" Terdengar aneh, memang. Sebab, setahunya di jam seperti ini, aku terbiasa—masih—berada di ruang kerja.

"Hu-um, hari ini cuma meeting sama preparation beberapa klien via online. Dan, sebelum Isya harus udah beres."


"Alhamdulillah," ia menjeda, "oh, iya ... tadi siang Mas dapet perintah kunjungan kerja ke Jakarta."

"Serius?!" Aku tentu bahagia mendengarnya.

"Serius, lah. Sprin, tiket, sama berkasnya aja, udah Mas pegang," ungkapnya bersemangat.

"Wah, senangnya." Ekspresiku mungkin terdengar datar olehnya. Andai ia tahu perasaanku yang sesungguhnya ....


"Tau, ga?"

"Ngga, lah."

"Hmm, aku kan belum cerita, Sayang," balas Mas Bara dengan nada seolah dibuat kesal.

"Hehehe ... tau apa, sih?"

"Ternyata, jarak dari rumahmu ke tempat dinasku, tuh, hampir sama kayak harga tiketnya (pesawat terbang)."

"Ah, masa?!"


Aku yang penasaran, langsung membuka laman bantuan guna mencari kebenaran. Dan hasilnya, "Eh, iya bener."

Tangan juga mataku, seolah berlomba merunut nama maskapai serta harga dengan tujuan kota dimana Mas Bara berada


"Kamu pasti lagi ngintip, kan?" terkanya.

"Ngga. Ngintip apaan coba?!"

"Searching, lah. Hayo, ngaku!"

"Enggak," elakku sengit.

"Halah. Kebiasaanmu kalo dapet info, tuh, langsung pengen jadi intelejen. Terus, ujung-ujungnya—"

"Pikiranmu jadi semrawut, karena over thinking. Itu, kan, yang Mas pengen bilang!"

"Emang gitu, kok, kenyataannya. Mas bener, apa bener?"

"...."


Aku terdiam mendengar penuturan Mas Bara. Entah mengapa, lelaki itu selalu saja tahu, apa yang tengah aku pikirkan? Apa yang menjadi mauku? Bahkan, tiap-tiap pergerakan yang 'kan kulakukan.


"Halo."

"...."

"Sayang ...."

"Iy-iya, Mas."

"Kok, diem. Kenapa?"

"Engga. Ngga papa, Mas," kilahku, "oh, iya ... besok, berangkat jam berapa?"

"Jam ...."


Obrolan kami terus saja berlanjut hingga larut malam. Aku sungguh antusia menyambut kabar  tersebut. Rasanya sungguh tak sabar menantikan kedatangannya esok hari.

JUNES (JUm'at meNulES)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang