BAGIAN 3

106 9 0
                                    

Sepak terjang gadis murid Etek Petako yang berjuluk Dewi Mawar Selatan ternyata telah merebak sampai ke kota Gadang. Tempat jual beli terbesar dan masih merupakan milik Datuk Gadang ini pun dibakarnya pada malam hari. Dengan sepak terjangnya, namanya pun cepat dikenal di tanah Andalas bagian barat.
Kerugian yang diderita Datuk Gadang tidak sedikit. Dan sampai sejauh ini, Datuk Gadang tetap menyangka kalau gadis itu adalah orang upahan Datuk Panglima Hitam!
Siang itu di tempat tinggalnya yang besar dan mewah, Datuk Gadang memanggil dua orang kepercayaannya. Kedua orang itu memiliki ilmu olah kanuragan cukup tinggi. Namun sifat mereka congkak, di samping sangat gemar melakukan tindakan-tindakan menyimpang. Itu terlihat dari sorot mata mereka yang menyiratkan keculasan dan kelicikan.
"Adakah sesuatu yang mesti kami selesaikan sehingga Datuk memanggil kami berdua?" tanya laki-laki berbadan kurus berambut kurus seperti duri landak, begitu menghadap Datuk Gadang.
"Menda! Pekerjaan kalian kuanggap beres selama ini. Tempat-tempat perjudian yang kubangun juga aman dari gangguan tangan-tangan jahil. Satu hal yang membuatku marah, malam tadi tempat usahaku di kota Gadang telah dibakar seseorang," jelas Datuk Gadang dengan wajah cemberut.
"Huh! Lancang sekali orang itu. Dapatkah Datuk katakan pada kami, siapa orang yang telah melakukan pembakaran itu?" tanya laki-laki yang berbadan gemuk pendek Di punggungnya tampak sebuah benda persegi panjang yang memiliki tiga tali. Yang terpasang seperti senar.
"Menurut laporan yang kudengar dari orang-orang kita yang bertugas di sana, orang itu mengaku sebagai kaki tangan Datuk Panglima Hitam!" sahut Datuk Gadang.
"Kalau begitu, kita serang saja Bukit Siguntang. Aku jadi ingin tahu, apa yang diandalkan oleh Datuk Panglima Hitam sehingga begitu berani bertindak gegabah!" saran laki-laki gemuk pendek.
"Persoalannya tidak semudah itu, Prabangkara....!"
"Datuk takut padanya?" potong laki-laki kurus berambut pendek yang bernama Menda.
"Huh! Pada setan belang pun aku tak takut! Hanya saja, aku tidak dapat menuduh secara gegabah, karena belum melihat dengan kepala mala sendiri apakah benar gadis berbaju putih itu bekerja sama dengan Datuk Panglima Hitam!" tukas Datuk Gadang.
"Siapa pun gadis itu, kalau urusan perempuan, biarkan kami yang mengatasinya. Dan Datuk tidak usah membayar kami! Karena kami jelas akan mendapat keuntungan juga, " tandas yang berbadan gemuk pendek bernama Prabangkara.
Datuk Gadang mengerti betul makna ucapan Prabangkara. Apalagi mengingat kedua tangan kanannya sangat suka mempermainkan perempuan. Jangankan gadis-gadis, perempuan yang sudah bersuami pun, asal berwajah cantik, tidak luput menjadi mangsa!
"Baiklah... Kalian kuberi kebebasan untuk menangkap begundal Datuk Panglima Hitam itu. Kalau gadis itu tertangkap, terserah mau kalian apakan! " kata Datuk Gadang memutuskan.
"Kalau memang itu keputusan Datuk, maka kami dengan senang hati akan melaksanakan tugas ini," sambut Prabangkara dan Menda hampir bersamaan.
"Sekarang, pergilah kalian! Jangan kembali jika tugas belum berhasil," ujar Datuk Gadang.
"Bolehkah kami membawa serta beberapa orang anak buah untuk menemani, Datuk?" tanya Menda
"Hahaha...! Tentu saja tidak ada yang melarang walaupun kau membawa seluruh anak buahku. Eeeh..., jangan semuanya. Setengah saja. Sedangkan yang lainnya biar tinggal di sini!" sahut Datuk Gadang.

***

Disertai lima orang anak buah yang rata-rata memiliki kepandaian lumayan, Menda dan Prabangkara meninggalkan rumah Datuk Gadang, menuju kota Gadang yang memakan waktu lebih kurang setengah hari. Mereka menunggang kuda-kuda pilihan yang dapat berlari cepat.
Di sepanjang perjalanan, mereka sebenarnya tidak menemui hambatan apa-apa. Namun ketika melewati seorang pemuda berbaju rompi putih...
"Panas yang terik ini menjadi semakin tidak menyenangkan oleh kehadiran seekor monyet berompi putih yang tidak dikenal, Prabangkara...!" celetuk Menda, mendengus tidak senang.
"Biarkan saja, lah... Toh dia tidak mengganggu perjalanan kita!" sahut Prabangkara, acuh tak acuh.
"Ini daerah kekuasaan kita! Seekor tikus comberan pun tidak ada yang berani bertingkah di sini!" sergah Menda yang disambut tawa para pengikut-pengikutnya yang berada di belakang.
Kata-kata yang diucapkan Menda, tentu sempat didengar pemuda berbaju rompi putih itu. Terus terang hatinya menjadi jengkel juga.
Tepat ketika kuda yang ditungangi Menda melintas di sampingnya, pemuda itu melihat sebuah kerikil. Langsung dicungkilnya kerikil itu dengan kaki kanan disertai tenaga dalam lumayan. Dan....
Tak!
"Hiekh...!"
Batu sebesar ibu jari kaki itu langsung menghantam kaki kuda yang ditunggangi Menda, hingga langsung tersungkur disertai ringkikan panjang.
Jika Menda tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh sempurna, tentu sudah tersungkur bersama kuda yang ditungganginya. Menda melakukan salto beberapa kali, lalu menjejakkan kedua kakinya dengan suatu gerakan sangat manis.
Prabangkara dan anak buahnya langsung menghentikan kudanya, mereka kemudian berlompatan dengan sikap siaga. Sedangkan Menda sendiri langsung mendekati pemuda berbaju rompi putih yang lak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Pemuda keparat! Berani benar kau mengganggu perjalanan kami dengan kepandaian picisanmu!" bentak Menda, kasar.
Rangga tersenyum dingin. Diperhatikannya orang-orang yang mengepungnya satu demi satu. Tatapan matanya dingin, menusuk ke bola mata para pengepungnya.
"Bicaramu jauh dari sopan santun, Kisanak. Apakah kau merasa berkuasa atas semua orang?" tukas Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Kalau aku mau bicara, siapa yang bisa melarang? Kalau kubunuh sekali pun kau di sini, tidak ada orang yang menanyakanmu! Apalagi kulihat kau bukan orang dari daerah sini!" bentak Menda garang.
Rangga merasa tidak ada gunanya bersilat lidah dengan laki-laki berwajah bengis ini. Namun sebagai pendekar berkepandaian tinggi, Pendekar Rajawali Sakti merasa tak ada gunanya meladeni mereka. Maka segera dia berjalan kembali.
Namun baru beberapa langkah, lima orang anak buah Menda sudah mencabut golok panjang yang melengkung pada bagian ujungnya. Bahkan telah menghadang langkah Rangga.
"Seraaang...!" teriak Menda.
Begitu mendapat perintah, lima orang pengepung langsung menebaskan senjatanya. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat meliuk-liukkan tubuhnya, sehingga serangan lima buah senjata itu luput. Bahkan tiba-tiba Rangga memutar badannya, sekaligus melepaskan tendangan beruntun.
Mereka yang sempat melihat serangan, cepat melompat ke belakang. Namun salah seorang terlambat menyadari. Maka tidak ampun lagi...
Buk!
"Wuaagkh...!"
Disertai jeritan tertahan, salah satu anak buah Menda terpental sejauh satu batang tombak. Tampak jelas orang ini kesakitan. Bahkan dari hidungnya mengucurkan darah, pertanda menderita luka dalam yang tidak ringan.
"Rupanya punya mainan juga kau, Monyet! Pantas berani jual tingkah di depan utusan Datuk Gadang! Huh...! Aku tidak akan puas sebelum mencincang tubuhmu!" dengus Prabangkara.
"Kepandaianku yang tak seberapa hanya untuk membela diri dari tindakan orang-orang bengis macam kalian...!" desis Rangga, dingin.
Dikatakan orang bengis, membuat Prabangkara marah. Tanpa bicara lagi segera dia memberi isyarat pada keempat anak buahnya untuk menyerang.
"Hiyaaa...!"
Keempat anak buah Prabangkara dan Menda segera melesat ke arah pemuda berbaju rompi putih. Golok melengkung di tangan mereka berkelebat-kelebat, menyambar ke bagian-bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menghembuskan napas kesal lalu berkelit sambil memutar tubuhnya. Kaki kanan digeser sedikit Sedangkan kedua tangannya menghantam ke dada salah seorang yang jaraknya paling dekat.
Desss...!
"Aaa....!"
Kembali salah seorang pengeroyok jatuh ke tanah disertai keluhan tertahan. Dia berusaha bangkit, namun kembali jatuh. Dari mulutnya langsung memuntahkan darah.
Melihat salah seorang kembali dijatuhkan, tiga orang sisanya secepatnya mengibaskan golok. Pendekar Rajawali Sakti mendadak melompat ke udara. Setelah berjumpalitan beberapa kali, badannya meluncur cepat ke bawah dengan kaki melakukan tendangan ke bagian kepala. Inilah jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', salah satu jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Tidak dapat dihindari lagi, tendangan itu tepat menghantam dua buah kepala.
Prak! Prak!
"Aaa...!" Jeritan keras terdengar disertai jatuhnya dua anak buah Menda dan Prabangkara. Mereka jatuh terpelanting dengan kepala hancur bergelimpang darah. Nyawa mereka lepas dari badan saat itu juga.
"Huh...?!" desis Menda.
Mata laki-laki kurus ini melotot melihat kematian anak buahnya. Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju rompi putih memiliki kepandaian hebat. Namun untuk mundur, bukan kebiasaan baginya. Lagi pula, kematian dua orang anak buahnya harus ditebus.
"Mundur kalian!" teriak Menda.
Sisa orang anak buah Menda serentak berlompatan mundur. Laki-laki kurus ini yang selalu mengawali pertarungan dengan jurus-jurus tangan kosong segera menerjang Rangga.
Namun Pendekar Rajawali Sakti dengan satu gerakan sangat manis melenting ke udara. Tubuhnya berputaran beberapa kali, lalu meluruk cepat dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tangan kanannya cepat dikibaskan dengan pengerahan tenaga dalam lumayan. Dan...
Duk!
"Huaagkh...!"
Menda kontan menjerit kesakitan begitu danya terhantam pukulan telak Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terlempar, namun cepat bangkit berdiri. Dan secepat itu pula dia memasang kuda-kuda. Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah, Menda menghentakkan kedua tangannya melepaskan pukulan jarak jauh.
Wuusss...!
Segelombang angin kencang menerjang. Namun Pendekar Rajawali Sakti secepat kilat melompat ke samping kanan, seraya menghimpun tenaga dalam. Dan....
"Heaaa...!" teriak Rangga sambil mengerahkan aji Guntur Geninya dengan menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Seleret sinar merah menyala melesat cepat bagai kilat dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Menda berusaha menahan bahaya besar yang sedang mengancam jiwanya. Maka segera tangannya dihentakkan kembali.
Wuuut! Glam!
Dua pukulan bertenaga dalam bertemu di udara. Rangga terdorong mundur. Sedangkan Menda sambil berteriak kesakitan. Tubuhnya terpelanting roboh, tanpa mampu bangun-bangun lagi dalam keadaan menghitam.
Melihat tubuh Menda dalam keadaan hangus, nyali Prabangkara menjadi ciut. Bahkan benda persegi panjang di punggung yang tak lain adalah sebuah kecapi itu, tak digunakannya sebagai senjata. Karena dia yakin, pemuda tampan berbaju rompi putih ini memiliki kepandaian amat tinggi. Maka, akhirnya sikapnya jadi seperti orang pengkhianat.
"Anak muda! Aku tidak mau mencampuri urusanmu dengan kawanku. Karena urusanku sendiri masih banyak. Mungkin di suatu saat, jika urusanku telah selesai, aku akan mencarimu!" kata Prabangkara, seraya berbalik menghampiri kudanya.
Rangga sedikit pun tidak menghiraukan ucapan Prabangkara. Tubuhnya juga berbalik dan langsung melanjutkan perjalanannya kembali.

***

Prabangkara dan sisa anak buahnya berniat kembali ke kota Gadang. Namun di tengah jalan langkah kuda mereka terhenti kembali. Di tengah jalan yang akan dilewati, tampak seorang gadis berbaju putih berambut panjang menghadang.
"Kaukah utusan Datuk Panglima Hitam?" tanya Prabangkara, begitu melihat penampilan gadis yang tak lain Dewi Mawar Selatan.
"Tidak salah! Dan kalian tentu kaki tangan Datuk Gadang keparat itu, bukan?" sahut gadis yang pada bagian punggungnya terdapat sulaman bunga mawar.
"Huh! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kami jadi tak susah-susah mencarimu. Tidak kusangka aku harus berhadapan dengan gadis secantikmu. Aku gembira jika dapat menangkapmu hidup-hidup...!" dengus Prabangkara.
"Banyak mulut! Buktikanlah..!" dengus Dewi Mawar Selatan penuh tantangan.
Prabangkara segera memberi isyarat pada kedua anak buahnya untuk menangkap Dewi Mawar Selatan. Kedua laki-laki muda berpakaian hitam ini segera melompat dari atas punggung kuda masing-masing, lalu langsung menerjang gadis itu disertai tendangan kilat yang mematikan.
Namun indah sekali Dewi Mawar Selatan berkelit sambil meliukkan tubuhnya beberapa kali. Bahkan tiba-tiba kedua tangannya mendorong. Gerakannya tampak begitu lembut, menimbulkan desiran halus. Namun akibatnya...
Des! Desss!
Kedua anak buah Prapang kara kontan jatuh terguling-guling. Seakan ada suatu kekuatan yang tidak tampak telah menghempas tubuh mereka.
Secepatnya mereka mencoba bangkit berdiri dengan wajah pucat dan tegang. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Sekejab kemudian, mereka telah mencabut golok melengkung yang tergantung di pinggang.
"Hiaaat...!"
Secepat kilat mereka menebas golok. Senjata berbentuk aneh ini meluncur deras ke bagian leher dan pinggang Dewi Mawar Selatan.
"Hiyaaa...!"
Secepatnya Dewi Mawar Selatan melenting ke udara. Disambarnya bumbung tuak yang tersampir di pinggang kiri. Dan isinya langsung diteguknya. Lalu...
"Fruhhh...!"
Tes! Tes!
"Aaa...!"
Kedua laki-laki itu langsung mendekap wajah yang hancur mengepulkan asap, bercampur bau daging terbakar. Mereka langsung ambruk menggelepar di atas tanah. Berkelojotan sebentar, kemudian terdiam untuk selamanya!
"Bangsat betul! Tindakanmu begini keji. Aku bersumpah untuk membunuhmu!" teriak Prabangkara murka.
Dewi Mawar Selatan begitu mendarat hanya tersenyum dingin. Sedangkan Prabangkara sendiri segera melompat dari kudanya. Langsung dilancarkannya serangan gencar.
Tidak dapat dihindari lagi, pertarungan sengit pun terjadi. Sampai pertarungan berlangsung empat puluh jurus, masih belum kelihatan siapa yang keluar sebagai pemenang. Dan tiba-tiba Prabangkara melepas senjata aneh berbentuk kecapi yang tersandar di balik punggung.
Tiung! Tiung...!
"Heh?! Kecapi Setan...!" sentak Dewi Mawar Selatan dengan mata melotot.
Begitu Prabangkara menarik senar kecapi yang berjumlah tiga buah, maka Dewi Mawar Selatan tersurut mundur sejauh tiga langkah. Suara senar kecapi ini terasa memekakkan telinga dan membuat kepalanya berdenyut-denyut! Hebatnya lagi, suara itu makin lama kian meninggi. Sehingga membuat gadis ini terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menghilangkan pengaruh getaran suara yang ditimbulkan senar senjata bernama Kecapi Setan.
Tubuh Dewi Mawar Selatan sama sekali tidak bergerak. Wajahnya telah berubah merah padam. Pertempuran adu tenaga dalam seperti ini memang sangat jarang terjadi. Dan biasanya, bagi lawan yang mempunyai tenaga dalam lebih rendah, akan segera tewas dengan hidung dan telinga mengucurkan darah!
Inilah pertarungan yang menyangkut hidup mati seseorang, sementara Prabangkara sendiri terus memetik senar kecapinya. Tanah yang dipijak tampak bergetar. Bahkan kedua kaki Prabangkara amblas sampai sedalam mata kaki.
Dewi Mawar Selatan walaupun kedua gendang telinganya tidak sampai pecah, tetapi bagian dalam tubuhnya sempat terguncang. Sampai kemudian diputuskannya untuk mengambil tindakan nekat.
"Heaaa...!"
Dalam keadaan seperti itu, Dewi Mawar Selatan segera mengibaskan kedua tangannya ke arah Prabangkara. Dua sinar biru langsung meluncur deras dari kedua telapak tangannya.
Dalam keadaan seperti itu, tentu laki-laki berwajah bengis ini tidak mungkin menghindar. Maka tanpa dapat dicegahnya, pukulan Dewi Mawar Selatan menghantam tubuh Prabangkara.
Glam!
"Huaagkh...!"
Prabangkara kontan terlempar dengan tubuh hangus. Begitu jatuh di tanah, dia tidak dapat bergerak-gerak lagi.
Entah mati, entah masih hidup. Dewi Mawar Selatan tidak menghiraukan Prabangkara. Segera ditinggalkannya tempat itu sambil mengerahkan ilmu lari cepatnya. Hanya dalam waktu sekejap saja, tubuhnya telah begitu jauh.
Ternyata, Prabangkara tidak mati. Tubuhnya tak lama menggeliat, lalu bangkit berdiri. Laki-laki yang sekujur tubuhnya telah menghitam akibat terkena pukulan Dewi Mawar Selatan segera mengambil kecapi miliknya yang terlempar. Kemudian menghampiri kudanya untuk melaporkan kejadian ini pada Datuk Gadang.

***

197. Pendekar Rajawali Sakti : Dewi Mawar SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang