BAGIAN 5

98 9 0
                                    

Kabar kematian Datuk Merah telah sampai di telinga Dewi Mawar Selatan. Dan gadis ini merasa puas. Sekarang, hanya tinggal melihat apa yang bakal terjadi antara Datuk Gadang dengan Datuk Panglima Hitam. Tidak lama lagi, sesuai siasat yang sedang dijalankannya, tentu mereka akan bertarung hingga salah seorang ada yang tewas. Jika hal yang diharapkannya benar-benar telah terjadi, berarti hanya tinggal menghadapi pemenangnya.
Sebenarnya, Dewi Mawar Selatan sendiri merasa bingung, mana di antara datuk-datuk itu yang telah membunuh ibunya. Sebab kedua gurunya tidak menceritakannya secara terperinci. Walaupun begitu, dia tidak pernah merasa ragu untuk membunuh para datuk itu, sebab mereka juga selalu membuat angkara murka di mana-mana.
Kini, gadis cantik berambut panjang itu merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau melepas kepenatan, setelah sebagian rencananya berjalan mulus. Tapi yang penting dia harus mencari orang yang sebenarnya telah membunuh orangtuanya. Tugas ini termasuk berat juga, karena Dewi Mawar Selatan hanya mempunyai petunjuk yaitu berupa tusuk konde terbuat dari emas.
Dalam keadaan menelentang seperti itu, di luar sepengetahuannya ada sepasang mata terus mengawasi gerak-geriknya. Pemilik mata itu tidak lain dari seorang pemuda berbaju rompi putih.
"Wajahnya hampir mirip Pandan Wangi! Hanya saja, dia sedikit lebih cantik. Mungkin gadis inilah yang dimaksudkan Penyair Gila. Tapi, mana aku berani menjumpainya?" gumam pemuda yang tidak lain Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti bermaksud meninggalkan persembunyiannya. Namun salah satu ranting sempat terinjak kakinya, sehingga menimbulkan suara gemeretak.
Dewi Mawar Selatan langsung melompat berdiri. Dan dia melihat ke arah datangnya suara.
"Pengintip tengik! Hendaknya kau suka tunjukkan diri!" bentak gadis berbaju putih itu garang.
Karena kedatangannya bukan membawa maksud buruk, maka tanpa pikir panjang lagi Pendekar Rajawali Sakti keluar dari tempat persembunyiannya.
"Kau...!" desis Dewi Mawar Selatan. Rupanya gadis ini tidak menyangka kalau orang yang dibentak seorang pemuda berwajah tampan. Lagipula kelihatannya pemuda ini cukup baik. Sungguhpun demikian, sikapnya perlu berwaspada.
"Maafkan aku, Nisanak. Aku tak bermaksud mengganggu ketenanganmu. Aku hanya ingin bertanya sesuatu kepadamu," ucap Rangga, setelah menjura hormat.
"Hihihi! Berjumpa saja baru kali ini. Tapi, tiba-tiba kau ingin bertanya padaku? Apakah itu tidak lucu?" tukas Dewi Mawar Selatan disertai senyum mengejek.
"Aku ingin bicara sungguh-sungguh. Dan ini menyangkut dendammu kepada orang-orang yang telah membunuh orangtuamu!" jelas Rangga.
Dewi Mawar Selatan terkejut mendengar ucapan Rangga. Bagaimana pemuda berbaju rompi putih ini mengetahui masalah yang dihadapinya? Padahal baru sekali ini mereka bertemu.
"Siapakah kau yang sebenarnya?" cecar Dewi Mawar Selatan, curiga.
"Aku Rangga, " jawab Pendekar Rajawali Sakti. "Dan kau pasti Dewi Mawar Selatan..."
"Dari mana kau tahu kalau aku sedang mencari pembunuh kedua orangtuaku?" desak gadis itu.
Rangga terdiam. Dia tidak tahu, apakah harus mengatakan yang sebenarnya. Jika terpaksa mengatakan, berarti harus mengatakan Penyair Gila orangnya. Bagaimana jika gadis itu menertawainya? Rasanya walau bagaimanapun dia harus berani mengatakan yang sejujurnya.
"Seseorang telah mengatakannya padaku," jawab Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa?" desak Dewi Mawar Selatan
"Penyair Gila!" sahut Rangga mantap.
Alis Dewi Mawar Selatan tampak bertaut. Dulu gurunya pernah bercerita tentang seorang penyair sinting yang kabarnya tahu tentang berbagai hal mengenai masa lalu, dan masa yang akan datang. Mungkin Penyair Gila itulah yang dimaksudkan kedua gurunya.
"Lalu, apa yang dikatakan Penyair Gila itu?" cecar Dewi Mawar Selatan lagi.
Rangga menarik napas dalam-dalam, seakan merasa ragu untuk mengatakan siapa yang telah membunuh orangtua gadis ini.
"Cepatlah jelaskan padaku. Atau kau ingin mati di tanganku!" dengus Dewi Mawar Selatan tidak sabar.
"Apakah kau tidak marah atau malu setelah mendengar penjelasanku nanti?" Rangga malah bertanya.
"Apa pun yang terjadi di masa lalu, aku harus tahu. Belum puas rasanya hati ini jika belum mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya!" ucap gadis ini dengan suara melemah kembali.
"Baiklah," desah Rangga. "Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, seorang gadis cantik bernama Indriati pernah jatuh cinta pada seorang pemuda tampan bernama Pati Sena. Cinta mereka berjalan lancar. Namun di luar sepengetahuan mereka, ada tiga orang pemuda yang jatuh hati pada Indriati. Ternyata, gadis itu tetap pada pilihannya. Sementara itu, ternyata ada dua orang gadis pula yang secara diam-diam mencintai Pati Sena. Karena runyamnya keadaan pada waktu itu, maka kedua muda-mudi yang saling jatuh cinta ini memutuskan untuk mengasingkan diri setelah menikah."
Pendekar Rajawali Sakti diam sebentar untuk mengingat kembali apa yang dituturkan Penyair Gila padanya. Dia memang telah bertemu kembali dengan Penyair Gila untuk yang kedua kalinya.
"Tetapi di luar dugaan, kedua gadis itu terus mencari Pati Sena. Sedangkan ketiga pemuda tadi, terus mencari Indriati. Setelah mencari sekian purnama lamanya, akhirnya ketiga pemuda itu menemukan wanita yang mereka cintai. Namun pada saat itu, Indriati baru melahirkan sembilan hari. Ketiga pemuda itu membujuknya agar dia mau ikut. Karena menolak, maka dua orang di antaranya langsung memperkosa Indriati. Sedangkan, pemuda ketiga malah membunuhnya.
Saat itu, Pati Sena memang tak ada di rumah karena tengah ada urusan. Sehari kemudian, dua gadis yang mencari Pati Sena juga bertemu orang yang dicari. Waktu itu, Pati Sena sedang menimang bayinya yang baru berumur sepuluh hari. Melihat kehadiran kedua gadis itu, tentu saja Pati Sena yang baru ditinggal istrinya menjadi berang. Langsung keduanya di serang. Tetapi, ilmu olah kanuragan Pati Sena kalah tinggi, sehingga tewas," Rangga mengakhiri ceritanya.
Wajah Dewi Mawar Selatan sulit dilukiskan setelah mendengar penuturan Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian wajah cantik yang tertunduk sejak lama kini mulai terangkat perlahan. Kini, terlihatlah wajahnya dengan jelas.
"Katakan padaku, siapa Indriati itu?" tanya Dewi Mawar Selatan. Suaranya bergetar hebat. Memang sejak dipelihara Etek Petako, Dewi Mawar Selatan tak pernah diberitahu nama kedua orangtuanya. Padahal, gadis ini selalu mendesaknya. Etek Petako hanya menjelaskan kalau kedua orangtua gadis ini tewas terbunuh itu saja.
"Dia ibumu!" jawab Rangga pelan.
"Siapa pula ketiga pemuda yang telah memperkosa dan membunuhnya...?" desak berbaju putih ini tidak sabar.
"Dua orang yang memperkosa adalah yang sekarang bergelar Datuk Merah dan Datuk Panglima Hitam. Sedangkan yang membunuh ibumu Datuk Gadang," papar Rangga, tanpa melebih-lebihkan,
"Berarti aku mengincar orang yang tepat! Datuk Merah telah mati. Sekarang, tinggal Datuk Hitam dan Datuk Gadang. Mungkin dalam waktu tidak lama, mereka segera bertarung sampai ada yang mati. Setelah itu, aku akan turun tangan membunuh pemenangnya!" desis Dewi Mawar Selatan.
"Aku tidak dapat menyalahkan dirimu. Karena berbakti kepada orangtua adalah kewajiban setiap anak! Tetapi menurut yang kudengar, ketiga datuk itu memiliki ilmu 'Cindaku'. Dan itu cukup membahayakanmu!" sergah Rangga, halus.
"Aku tidak takut! Atau kau mau membantu? Tapi, maaf. Aku tidak akan memaksamu....!" ucap Dewi Mawar Selatan, merasa ketelepasan bicara.
"Aku memang sengaja datang untuk membantumu. Tentu saja sebatas yang kumampu!" sahut Rangga, merendah.
Dewi Mawar Selatan tampaknya tidak mau percaya begitu saja dengan niat baik pemuda berbaju rompi putih ini.
"Lalu, siapa yang membunuh ayahku?" tanya Dewi Mawar Selatan selanjutnya.
"Mengenai hal itu, aku tidak tahu. Sebab Penyair Gila tidak pernah cerita padaku. Tetapi dia telah berjanji untuk menjumpaiku kembali di suatu hari nanti!"
"Siapa yang mau percaya? Aku pun belum percaya padamu!" tegas Dewi Mawar Selatan, berterus terang.
"Mengapa?" tanya Rangga.
"Pertama, kau orang asing! Sedangkan yang kedua, mengapa kau mau membantuku begitu saja, Rangga...?" tanya gadis itu pula.
"Aku hanya membawa tujuan baik. Aku bersedia membantumu, karena kekejaman dan kelicikan ketiga datuk tanah Andalas ini sudah sangat sering kudengar. Jauh-jauh aku datang dari tanah Jawa kemari, semata-mata ingin menghentikan kejahatan mereka!" jawab Pendekar Rajawali Sakti, tandas.
"Huh! Siapa mau percaya bualanmu?! Jangan-jangan kau malah menyimpan maksud-maksud tidak baik padaku!" tuduh Dewi Mawar Selatan berubah ketus.
Ucapan Dewi Mawar Selatan yang ceplas-ceplos membuat wajah Rangga bersemu merah. Sebenarnya pemuda ini marah pada gadis berambut panjang itu. Namun dia khawatir, amarahnya hanya akan memperburuk keadaan.
"Baiklah, Dewi jika kau tidak percaya padaku, aku pun tidak memaksamu untuk percaya. Kalau begitu, aku akan pergii!" kata Rangga, dingin. Rangga berbalik Dia bermaksud berlalu dari hadapan Dewi Mawar Selatan. Namun...
"Enak saja kau datang dan pergi begitu saja, Rangga! Kau sama sekali tidak memandang mata padaku!" bentak Dewi Mawar Selatan.
Wuuuutt....!
Di luar dugaan, kiranya gadis itu telah menyambitkan setangkai bunga mawar dari rambutnya ke punggung Rangga. Jika orang biasa yang melemparkan kuntum bunga mawar itu, tentu tidak akan berakibat apa-apa. Tetapi di tangan Dewi Mawar Selatan, bunga mawar itu berubah menjadi senjata rahasia yang dapat mematikan.
Walaupun tidak melihat kapan gadis itu menyambitkan kuntum bunga mawarnya, namun sebagai orang yang kenyang makan asam garam di dunia persilatan, Pendekar Rajawali Sakti merasakan ada desiran halus di belakangnya. Dan tanpa menoleh lagi, tubuhnya langsung melenting ke udara. Begitu menjejakkan kakinya kembali di atas tanah kering, Rangga langsung berbalik.
"Mengapa kau membokongku?" tanya pemuda itu tidak senang.
Dewi Mawar Selatan tertawa mengikik.
"Aku hanya ingin tahu, apakah aku bicara dengan orang yang tepat, atau hanya laki-laki hidung belang? Aku juga mau lihat, apakah aku berhadapan dengan manusia bermulut besar, atau pendekar sejati?" ejek Dewi Mawar Selatan disertai senyum menjengkelkan.
"Ucapanmu terlalu menggelitik telingaku!" balas Rangga, apa adanya.
"Kalau kau tidak merasa seperti yang kukatakan, mengapa harus sakit hati? Hiyaaa. ..!"
Selesai dengan kata-katanya, Dewi Mawar Selatan segera menyerang Rangga. Kiranya gadis ini tidak main-main. Begitu menyerang, langsung dipergunakannya jurus 'Menepis Kehampaan Di Ujung Nestapa'. Serangan mendadak ini sudah tentu membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi kerepotan menghindarinya.
"Hiyaaa...!"
Untuk menghindar, Rangga cepat melenting ke udara. Tubuhnya berputar beberapa kali. Begitu menjejak tanah langsung dikerahkannya jurus Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari setiap serangan yang kembali meluncur deras ke beberapa bagian tubuhnya. Dewi Mawar Selatan semakin memperhebat serangannya. Tubuhnya meluruk deras dengan kepalan tangan siap dihantamkan.
"Hiyaaaa...!"
Bet! Bet!
Dalam keadaan meluncur deras, Dewi Mawar Selatan mengibaskan tangannya ke bagian tulang siku. Dan Pendekar Rajawali Sakti sadar betul kalau gadis ini bermaksud mengujinya. Maka dia tidak mau menangkis. Cepat badannya diputar. Sementara kaki kanan bergerak lincah, dengan tubuh terus meliuk-liuk menghindari serangan.
Wuuus!
Maka serangan Dewi Mawar Selatan pun melenceng. Menyadari serangannya gagal, gadis ini menyempatkan diri untuk melepaskan tendangan. Karena jaraknya yang begitu dekat, Rangga tidak ingin isi perutnya hancur. Terpaksa serangan gadis konyol ini disambut dengan tangannya yang cepat terjulur. Dan...
Plak! Duk!
"Heh...?!"
Dewi Mawar Selatan terkejut. Tubuhnya terdorong mundur. Sedangkan kakinya yang menghantam telapak tangan Rangga seperti membentur batu karang hingga terasa panas sekali.
"Mengapa kau terus menyerangku?" tanya Rangga.
"Diam! Kau sama ceriwisnya dengan nenek-nenek yang sudah pikun...!" bentak gadis itu tidak senang.
"Satu hari saja aku bersama gadis konyol ini bisa mati berdiri!" gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak dapat berpikir lagi apa yang akan dilakukan Dewi Mawar Selatan. Dan yang terjadi kemudian, gadis itu kembali melabraknya, mempergunakan jurus-jurus yang telah dipelajarinya di Lembah Penyesalan.
"Hiyaaa...!" teriak Dewi Mawar Selatan disertai jurus penebus Dosa'nya. Dan gerakan jurus gadis ini pun berubah secara menyeluruh. Kini dia mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya dalam setiap melakukan serangan. Hebatnya, setiap kibasan tangan maupun tendangan kakinya selalu menimbulkan hawa dingin menusuk tulang.
"Jaga kepala dan perutmu!" dengus Dewi Mawar Selatan. Secepat ucapannya, tangan kanan dan kaki gadis ini meluncur deras ke arah seperti yang dikatakannya. Serangan ini tentu tidak sembarangan orang dapat melakukannya.
Rangga sekali ini tidak tinggal diam. Tiba-tiba tubuhnya menunduk serendah mungkin. Sehingga serangan gadis itu meleset. Begitu kaki Dewi Mawar Selatan lewat di samping kepalanya, secepat kilat tangannya bergerak menyentuh.
Tak!
"Heh...?!"
Dewi Mawar Selatan terkejut dibuatnya terkena sentuhan tangan Rangga. Jika pemuda berbaju rompi putih itu mau, tentu dia sudah roboh. Atau paling tidak sudah kena tertotok. Kini setelah menjejakkan kaki, wajahnya bersemu merah.
"Bagaimana? Apakah kita lanjutkan permainan sia-sia ini?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, tanpa bermaksud menyinggung.
Gadis itu menggeleng sambil memandang Rangga penuh rasa kagum. Sejurus matanya memandang ke lain arah.
"Kalau kau bermaksud buruk, aku tahu sejak tadi. Pasti kau dapat mencelakaiku, Rangga. Maafkanlah karena terkadang aku salah dalam menilai maksud seseorang. Maukah kau memaafkanku?" tanya Dewi Mawar Selatan seraya menoleh ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Matanya meredup pada pemuda itu.
"Kau gadis yang lugu, Dewi. Tentu kau wajib merasa curiga kepada siapa pun, mengingat dirimu seorang wanita. Aku tentu saja dapat memakluminya!" sahut Rangga, kalem.
Dewi Mawar Selatan tersenyum. Manis sekali.
"Baru sekarang aku percaya padamu, kalau kau benar mau membantuku. Mari ikut bersamaku!" ajak gadis itu.
Rangga tentu tidak dapat menolak Apalagi, yang mengajaknya memang membutuhkan pertolongannya.

***

Datuk Gadang bagai dikejar-kejar setan menggebah kudanya, menuju Bukit Siguntang. Tidak sampai setengah hari, sampailah dia di lereng bukit. Karena bagian lereng Bukit Siguntang agak curam maka lelaki berbaju kuning ini melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.
Namun baru beberapa tombak saja laki-laki ini meninggalkan kudanya, dari atas bukit batu-batu besar menerjang ke arahnya. Datuk Gadang segera melompat ke samping menghindari luncuran batu-batu.
Datuk Gadang memang dapat menghindari serangan batu-batu. Namun yang datang berikutnya, jumlahnya lebih banyak lagi. Sehingga terpaksa dia menguras tenaga untuk menyelamatkan diri. Dan amarahnya pun sudah tak terkirakan lagi.
"Aku membenci akal licikmu, Datuk Panglima Hitam! Aku mau kau menunjukkan diri. Mari kita selesaikan semua persoalan ini secara jantan!" teriak Datuk Gadang murka.
Suara runtuhnya batu-batu meningkahi teriakkan Datuk Gadang. Dan laki-laki berbaju kuning ini kembali dibuat repot, hingga kemudian batu-batu yang meluncur dari atas lereng bukit berhenti dengan sendirinya.
"Hahaha,..!" Mendadak terdengar tawa yang seakan-akan mengguncang puncak bukit. Sekejap kemudian muncul sosok bayangan serba hitam menuruni lereng bukit.
"Akhirnya, kau datang juga, Datuk Gadang! Apakah kedatanganmu ke sini ingin menyatakan pengakuan dosa dan meminta maaf padaku?"
Sambut laki-laki berpakaian serta hitam bertubuh tambun, begitu berdiri lima tombak di hadapan Datuk Gadang. Yang ditanya malah melotot. Sekilas diperhatikannya sosok berpakaian serba hitam yang tak lain Datuk Panglima Hitam.
"Aku datang kemari malah ingin mengambil nyawa busukmu! Apakah kau sudah menyadari kesalahan apa yang kau perbuat, Datuk Panglima Hitam?" balas Datuk Gadang.
"Aku malah tidak dapat menghitung, berapa orang anak buahku yang mati karena ulahmu!" tukas Datuk Panglima Hitam.
"Huh! Sejak dulu kau memang selalu memutarbalikkan kenyataan!" bentak Datuk Gadang.
"Percuma aku berdebat denganmu, Datuk Gadang. Sejak dulu sebenarnya kita telah ditakdirkan untuk saling membunuh. Mengapa begitu? Karena, ketamakan dan kecongkakanmu!" cibir Datuk Panglima Hitam berang.
"Apakah bukan sikapmu yang kau katakan itu?" ejek Datuk Gadang disertai senyum kecut.
"Rasanya memang percuma jika kita hanya bersilat lidah. Hari ini, rasanya di antara kita harus ada yang mati. Barulah setelah itu, aku dapat berbuat apa saja."
"Kalaupun harus ada yang mampus, kaulah orangnya, Datuk Panglima Hitam. Bukan aku!" seru Datuk Gadang, penuh percaya diri.

***

197. Pendekar Rajawali Sakti : Dewi Mawar SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang