BAGIAN 8

101 11 1
                                    

Dewi Mawar Selatan sedapatnya berusaha mendesak orang bercadar. Namun hingga sejauh itu, tampaknya lawannya memiliki kepandaian dua tingkat di atasnya. Lagi pula jurus-jurus yang dipergunakan orang bercadar sangat mirip dengan jurus-jurus yang dimilikinya! Dan belum hilang keheranannya. Tiba-tiba orang bercadar itu menerjang.
"Hiyaaa...!"
Dewi Mawar Selatan yang sudah sangat geram sedikit pun tidak gentar. Dalam waktu bersamaan pula, dia menerjang. Kedua tangannya yang telah teraliri tenaga dalam dikibaskan ke arah luncuran tangan orang bercadar. Sedangkan kakinya secara diam-diam menghantam ke perut. Maka...
Duk! Buk!
"Hugkh...!"
Benturan keras terjadi baik Dewi Mawar Selatan maupun orang bercadar sama-sama terjengkang. Ketika gadis itu hendak bangkit lagi tiba-tiba sesuatu di dalam perutnya telah mendorong keluar. Lalu...
"Hoegkh...!"
Darah segar mengucur dari mulut Dewi Mawar Selatan. Rangga yang melihat kejadian ini segera sadar kalau tenaga dalam yang dimiliki orang bercadar ternyata tiga tingkat berada di atas gadis itu. Saat orang bercadar bermaksud menyudahi pertarungan, di saat itulah Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Hiyaaa...!" teriak Rangga seraya mengeluarkan jurus aji 'Guntur Geni'.
Saat itu juga meluruk sinar merah dengan angin panas ke arah orang bercadar. Begitu cepatnya luncuran serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga lawannya tidak sempat lagi menghindar. Maka....
Glarr!
Orang bercadar kontan terjengkang. Sebagian pakaiannya hangus, namun cadarnya yang terbuat dari kulit tetap utuh. Rangga sendiri merasa dadanya sesak bukan main.
"Gila! Orang ini ternyata memiliki daya tahan tubuh luar biasa!" desis Rangga.
"Kau tidak mungkin dapat membunuhku, Pendekar Rajawali Sakti. Hik hik hik..!" Kata orang bercadar disertai tawa mengikik
Melihat kenyataan ini, Rangga sendiri waspada. Apalagi orang bercadar itu telah bangkit kembali, seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
"Hiaaat...!"
Disertai teriakan keras, orang bercadar telah mendahului melakukan serangan. Bahkan telah pula mencabut sebuah tongkat berwarna hitam yang bagian ujungnya terdapat sebuah mata pisau berwarna hitam mengkilat.
Trek! Trek!
Senjata itu berputar, lalu meluncur deras ke seluruh penjuru arah mengancam delapan jalan darah di tubuh Rangga.
Pemuda berbaju rompi putih ini cepat mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari serangan. Tubuhnya lantas berputar, lalu meliuk-liuk Sehingga tak satu serangan pun mendarat di tubuhnya. Namun semakin lama serangan-serangan orang bercadar semakin cepat dan sangat berbahaya. Bahkan tanpa terduga-duga....
Bret!
"Aaakh...!"
Ujung pisau di tangan orang bercadar membeset kulit Rangga, menimbulkan luka memanjang dan mengucurkan darah. Untung Rangga sempat melompat ke belakang. Sekarang bisa disadari, betapa akan semakin berbahayanya jika dia tidak cepat mengambil tindakan tegas.
"Sebentar lagi kau pasti mampus di tanganku, Anak Muda!" teriak orang bercadar.
Kejap berikutnya orang ini memutar tongkat berujung pisau dengan gerakan sedemikian cepat. Begitu cepatnya serangannya, sehingga tubuhnya bagai terbungkus kelebatan senjatanya. Lalu...
"Heaaa...!"
Secepat kilat tubuh orang bercadar menerjang, dan secepat itu pula senjata di tangannya menyodok ke dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts...!"
Rangga membuang tubuhnya ke kiri. Tetapi, senjata itu mendadak membelok dan terus mengejarnya.
Rangga tidak punya pilihan lagi. Dengan gerakan cepat tangannya bergerak ke punggung. Begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut, sinar biru yang berkelebat dan menimbulkan suara bergemuruh, langsung memapak senjata tongkat bermata pisau.
Tras!
"Heh...?!"
Orang bercadar terkejut sekali. Terlebih-lebih setelah melihat tongkat hitamnya buntung menjadi tiga bagian. Belum juga hilang rasa terkejutnya, sinar biru berkilau dari mata pedang Pendekar Rajawali Sakti menerobos.
Crep!
"Aaa...!"
Pedang Pendekar Rajawali Sakti langsung menghujam perut orang bercadar hingga tembus ke punggung disertai jerit kesakitan. Darah langsung mengucur deras dari luka menganga di perutnya.
Tepat ketika Rangga mencabut senjatanya, orang bercadar langsung roboh sambil mengerang-erang. Kedua tangannya menggapai lemah. Dewi Mawar Selatan yang merasa penasaran segera membuka cadar orang ini.
"Nenek Sekato...?!" Sesuatu yang tidak pernah terduga sebelumnya kini terlihat nyata oleh Dewi Mawar Selatan. Matanya melotot, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana tidak? Karena orang yang baru saja dibunuh Rangga tidak lain dari Nenek Sekato, gurunya sendiri.
"Mengapa kau lakukan semua ini, Guru?!" tanya Dewi Mawar Selatan dengan tubuh terguncang dan suara bergetar.
"Oh..! Ajalku sudah hampir tiba. Aku adalah orang yang menyimpan kebusukan dalam hidupmu ini. Aku dan juga Etek Petako malu berhadapan dan bertemu denganmu," desah Nenek Sekato. Suaranya tersendat-sendat
"Mengapa?" tanya Dewi Mawar Selatan semakin tidak mengerti.
"Karena akulah yang telah membunuh ayahmu!"
Bagai mendengar petir di tengah hari, Dewi Mawar Selatan tersentak mendengar semua ini. Sekarang barulah disadari, mengapa Penyair Gila tidak mau menceritakan padanya, siapa yang telah membunuh ayahnya. Karena, ternyata pembunuhnya adalah orang yang begitu dekat dengannya!
Tetapi mengapa dulu gurunya tidak membunuhnya sekalian? Paling tidak, agar hatinya tidak hancur. Agar kesedihan tidak melanda jiwanya?
"Kau tega membunuh ayahku, Guru Mengapa kau malah mendidik anak dari orang-orang yang sangat kau benci? Mengapa kau tidak membunuhku sekalian pada waktu itu?" tanya Dewi Mawar Selatan.
"Sebab ak..., aku...!" Dan suara Nenek Sekato pun putus ketika nyawanya lepas dari badan.
"Guru...!" seru Dewi Mawar Selatan, merasa serba salah.
"Dia telah memilih jalan yang dianggap baik untuknya. Sekarang kita mempunyai kesempatan untuk menjumpai gurumu yang satu lagi. Barangkali dia dapat memberi jawaban dari seluruh kejadian di masa lalu. Marilah. Kita merasa tidak perlu membuang-buang waktu!" ajak Rangga tidak sabar.
"Tetapi mayatnya?" tanya Dewi Mawar Selatan bingung.
"Seburuk-buruknya gurumu dia masih tetap orang yang telah banyak berjasa dalam hidupmu. Kalau bisa, nanti kita akan menguburkannya secara layak!" sahut Rangga.
"Baiklah...!" kata Dewi Mawar Selatan.
Kemudian Rangga memanggul jasad guru gadis itu. Kini kedua muda-mudi itu segera melanjutkan perjalanan menuju Lembah Penyesalan yang jaraknya sudah tidak berapa jauh lagi.
Pendekar Rajawali Sakti dan Dewi Mawar Selatan sampai di Lembah Penyesalan yang terasa lebih sunyi dari hari-hari sebelumnya. Rangga meletakkan jasad Nenek Sekato atas permintaan Dewi Mawar Selatan di atas batu besar yang dulu setiap sore selalu dipergunakan gadis itu untuk duduk dan bertukar pikiran dengan gurunya.
"Tunggulah di sini, Rangga! Aku akan menjumpai guruku Etek Petako di dalam rumah itu," ujar Dewi Mawar Selatan.
Tanpa menunggu jawaban, gadis itu langsung bergegas menuju sebuah pondok sederhana beratap daun kirai Ketika mengetuk-ngetuk pintu, ternyata tidak ada jawaban.
"Guru...! Aku kembali...! Cepat bukakan pintu!" teriak gadis itu tidak sabar.
Setelah menunggu sejenak lamanya, namun tidak terdengar suara apa-apa. Dewi Mawar Selatan merasa curiga, maka langsung didorong pintu itu. Begitu pintu terbuka lebar, mata gadis ini kontan terbelalak!
"Rangga...!" pekik Dewi Mawar Selatan keras.
Seketika Rangga segera bergegas menghampiri. Ketika sampai di sana, pemuda ini pun tidak kalah kagetnya. Tampak sesosok tubuh tergantung seutas tali yang mencekik lehernya.
"Rupanya dia merasa malu bertemu denganmu, Dewi Mawar Selatan. Sehingga dia memilih bunuh diri. Sungguh menggiriskan nasib guru-gurumu!" gumam Rangga, ikut merasa prihatin. Rangga segera bergerak cepat melepaskan tali yang menjerat leher Etek Petaka, dan diturunkannya secara perlahan.
Dewi Mawar Selatan langsung memeluki jenazah gurunya sambil menangis tersedu-sedu. Tidak banyak yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti terkecuali menghiburnya. Dan tiba-tiba Rangga segera melihat selembar kulit kambing hutan tergeletak di atas meja. Merasa penasaran, langsung dihampirinya.
"Ada pesan, Dewi!" ujar Rangga.
Dewi Mawar Selatan yang sedang dilanda duka langsung menoleh.
"Tolong baca!" ujar gadis ini.
"Sebaiknya kau saja yang membacanya. Karena, ini menyangkut masalah pribadimu!" saran Rangga, seraya menyerahkan kulit kambing itu pada Dewi Mawar Selatan.
Dewi Mawar Selatan segera membaca. Dan tulisan itu tampaknya dibuat tergesa-gesa.

197. Pendekar Rajawali Sakti : Dewi Mawar SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang