Hidupmu saat usia tiga puluhan akan seperti api unggun di perkemahan, kau menjadi semacam tali penghubung banyak orang tanpa kau sadari, kau menghangatkan rumahmu yang belum pernah menimang cucu. Atau seperti bohong putih yang kautuang ke mangkuk ibumu untuk membuatnya bahagia dan membiarkanmu menjadi jomblo jamuran di sofa menonton kanal Discovery atau National Geographic, mengetik malas di sepuluh kamarbincang Whatsapp berisi gadis-gadis labil yang lambat laun menjadi gadis-gadis adultolescent yang rindu sosok bapak virtual seperti dirimu.
Kaucacah angka-angka ke dalam panci penguasaan diri dan mulai menghitung apa-apa saja yang disebut sebagai petualangan seru. Memang ini bukanlah tahun generasi van warna-warni bau ganja dan cutbrai apek berkanji, tapi jiwamu bisa saja berasal dari sana. Kaurusak lapisan catnya atau sekadar menggores dasbornya dengan kukumu. Di tanganmu ada buku sinting macam On The Road, kau putar musik Bebop di radio, dan kau isap kretek tanpa filter disela batuk-batukmu yang menyesal. Hanya saja cacahan angkamu lebih mirip musik Caca Handika di dalam mobil angkot parkir yang sedang ganti ban. Memabukkan. Kau menipu petualanganmu sendiri dengan menganggap menghayal adalah hal yang sama dengan menunggang seekor kuda sungguhan.
Teman imajiner di sampingmu tentu mengoceh sepanjang hari soal gadisnya yang ternyata sedang menstruasi di hari yang tepat untuk bercinta. Atau bercerita soal ibunya yang abusif dan suka bicara sendiri saat sedang menjahit daster. Kalau perlu, teman imajiner nomor dua di kursi belakang memberi sedikit komentar, mengkritik baku tidaknya ragam bahasa dalam van, atau sesenggukan menangisi cerita teman di sampingmu yang mulai mengingat-ingat kebaikan ibunya. Atau soal kakaknya yang ditangkap karena nongkrong di kampung narkoba dan harus mendekam di penjara. Teman di sampingmu tampaknya punya lebih banyak waktu untuk bercerita daripada menjalani hidupnya.
Tidak semua teman itu menjalani hidup yang berbahaya. Ada yang tenang-tenang saja di rumah, main game, dan keluar saat hari mendung untuk memotong rumput. Rumor mengatakan banyak ibu kelas menengah yang memperkerjakan anaknya sebagai pembantu rumah tangga, yang kadang-kadang menjadi ibu kelas menengah yang tidak beruntung karena mendapati anaknya mulai mempertanyakan eksistensinya di dunia atau mulai menyadari betapa dia tidak punya tujuan hidup, atau hanya sampai pada kesimpulan sederhana seperti 'aku sayang maka aku turuti ibu' atau bisa juga 'aku anak baik, maka aku bersikap baik'. Tapi ada satu golongan terakhir yang jarang muncul, si absurd, yang susah diindoktrinasi, yang belum selesai ibunya menyuruh, ia sudah ada di halaman memotong tanaman pagar dengan teliti sampai berbentuk kotak sempurna atau berbentuk kelinci atau berbentuk abstrak agak mirip manusia. Si absurd suatu saat akan jadi penguasa, entah di dunia kesusastraan, dunia kedokteran, dunia musik, atau dunia skizofrenik bangsal rumah sakit. Tergantung nasib, juga tergantung determinasi.
Jika ada anggota klub yang ingin kumusnahkan tentu saja anggota klub pecinta sastra (yang tidak pernah bikin sastra). Hanya bisa baca-baca dan kritik belaka, bikin grup kepenulisan, tapi belum pernah tulis apa-apa. Yang begini 'katanya' menyehatkan ekosistem kepenulisan. Mungkin iya, tapi lebih banyak tidak. Mereka diberi otak yang baik di antara dua mata bukan untuk ngoceh seharian soal sejarah dan gaya bohemian seorang penulis, atau bikin seminar keterkaitan tulisan dari penjara dengan semangat kemerdekaan. Otak mereka bisa dipakai lebih jauh, untuk menulis misalnya. Menulis sesuatu yang benar-benar diri mereka, menulis sebuah dunia yang kurindukan: semua orang menulis, menulis menjadi mainstream seperti halnya main Tik-Tok, kopi dalgona, dan masturbasi.
Kita masuk di era didikan para kreator konten. Juga era perangkat lunak yang malah memprogram ulang penggunanya. Ya seperti kita ini. Kita mirip apa ya sebutannya? Vector! Inang! Host! Yang kena virus macam beta-memevirus atau gamma-tiktokovirus, lalu menjadi carrier dan akhirnya menyebarkannya ke mana-mana. Replikasi berjalan otomatis dan manusia-manusia berhasil diprogram oleh konten yang ditontonnya. Orang-orang bertindak makin gila, disuruh-suruh oleh layar telepon genggamnya untuk melakukan aktivitas goblok yang terus terang cukup seru. Saya suka hal seru begitu, tetapi saya lebih suka bikin konten sendiri.
Era apa ini namanya?
Saya tidak peduli.
Siang ini jalanan akan ramai disesaki para jagoan. Yang sudah lupa cara memanjat pohon, lupa cara membersihkan ikan, lupa cara membuat api unggun, bahkan lupa cara membantu orang tua, atau lupa cara mendurhakai orang tua secara damai dan dapat diterima.
Para jagoan ini akan balapan di jalanan penuh penjual sayur antar kecamatan. Yang akan menabrak seorang bapak-bapak kalem yang sedang baca petunjuk teknis menghadapi bencana alam, atau menabrak ibu-ibu yang hidup di dunia cermin karena tidak bisa membedakan lampu belok kiri dan kanan, atau menabrak aparat yang sedang mengunggah aktivitasnya di sosial media.
Hari ini uang saya lenyap, seratus ribu. Masuk kantong Pak Umar yang merupakan aparat yang baik. Saya melanggar rambu lalu lintas tentunya, makanya saya membayar dan buru-buru pergi kerja. Tapi rasanya ada yang aneh. Hal aneh ini telah menjadi normal.
Senormal penderita kanker yang kutemui di bangsal. Kemoport-nya segera dicabut, ini siklus kemo terakhirnya, dan saya minta ijin untuk menjelaskan obat anti mual-muntahnya meskipun dia sudah tahu gunanya. Tapi akhirnya dia curhat tentang hal yang lain. Soal pernikahan. Dia gadis yang sangat cantik, usia dua puluh enam, dan mengalami kerontokan rambut yang cukup parah. Kita semua hanya bisa diam saat dia bercerita soal pernikahannya yang batal karena dia harus kemoterapi. Karena dia botak. Karena dia ditolak. Karena rahimnya sudah tidak... berfungsi.
Suatu saat seorang anak akan hidup dalam asuhannya dan tumbuh jadi anak yang kuat. Semoga. Jika tidak, mungkin anak itu akan jadi om-om tiga puluhan sepertiku, mengasuh sepuluh gadis labil yang sebentar lagi jadi adultolescent.
Kembali ke van warna-warni. Bersama dua orang teman imajiner yang mulai curhat soal Miss Universe dari negara yang salah. Ia tidak suka negara itu, jadi ia tidak suka Miss Universe muncul dari negara itu. Kunyaringkan musik, ini Miles Davis, dan kakiku mulai bergoyang seperti kakek-kakek yang sembuh secara ajaib dari reumatoid arthritisnya, dan sebentar lagi mati akibat terlalu banyak menenggak obat perangsang.
Seribu kata rasanya cukup untuk kata pengantar yang tidak mengantarmu ke manapun. Kata pengantar bukanlah kata untuk mengantar, ia kata yang memprovokasi orang-orang untuk tidak membaca Bab 1 dan mulai menulis cerita sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/120876119-288-k191774.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BELUM SANGGUP MENASKAHIMU
Художественная прозаEveryone need writer's Glock. Sebuah pelarian seribu kata dari writer's block. Harus absurd seperti halnya bapak-bapak pensiunan pegawai negeri yang ngupas nangka, bawa mini compo, bawa meja setrika, ngopi sambil dasteran di pos ronda jam 4 subuh. L...