02. bertemu sang peramal

62 11 1
                                    

malam ini sepertinya memang mengharuskan lea kesusahan, jelas pilihan yang salah membawa jake bersamanya tadi. keduanya kini berkeliling, gadis itu sesungguhnya tak tahu arah yang benar. saat memilih mengambil jalan potong dari gang kecil di ujung jalan tadi, bukannya tambah dekat, keduanya seakan semakin berjarak dari titik yang dituju. tak usah tanya soal jake, pria manja itu tak akan mengerti soal rute, sudah lea bilang jake hanya mengerti soal matematika, fisika, dan biola. "lea..." jake memanggil lagi, sepertinya pria itu gundah karena keduanya tersesat, "apa?!" lea membalikkan badan, menatap yang lebih tinggi dengan pandangan gusar, dijawabnya dengan nada ketus. jake menggigit bibirnya lalu memilih menggelengkan kepalanya, lebih baik ia tak bertanya daripada nyawanya terbang dibuat lea. keduanya berjalan dalam diam lagi, sebelum akhirnya langkah dua pasang kaki itu terhenti akibat suara hembusan nafas besar-besaran yang dibuang lea dari mulutnya.

jake bingung harus apa, baru kali ini pria itu terjebak dengan seorang gadis di tengah jalan, ponselnya sudah mati karena dipakai seharian, jadi tak bisa membuka peta. ia tak tahu dimana ponsel milik lea, namun sepertinya ponsel milik gadis itu juga tak bisa digunakan, buktinya elektronik segi empat itu tak ia keluarkan lagi sejak tadi. jake menatapi lea yang menunduk, seluruh wajahnya tertutupi rambut hitam legamnya, jake masih tak berkutik sampai dilihatnya pundak gadis itu bergetar hebat. "lea..." jake memanggil, pria itu sudah berdiri di hadapannya, namun tak terdengar balasan dari lea, jake memberanikan diri memegang kedua bahu gadis itu, "lea, ada apa?" jake bicara lagi dengan nada lembut, isakan lea mulai terdengar, "aku lelah" akhirnya gadis itu bicara. betul, lea lelah. bukan lelah karena berjalan jauh, namun gadis pesimis itu sudah lelah dengan segalanya, lea lelah selalu dipaksa memenuhi ekspektasi kedua orang tuanya, lea lelah dihantui kesepian, dan mengapa ia harus tersesat sekarang? bumi tak pernah berpihak padanya, memang segera pergi dari tanah yang ia pijak ini adalah pilihan yang paling tepat. bibir jake membulat paham. masih dengan kedua tangannya memegang bahu lea, kepala pria itu celingak-celinguk, sangat tak pantas membiarkan lea menangis di tengah jalan. jake tak memaksa lea untuk berhenti menangis. kata ibu jake, menangis itu wajar saat kita susah ataupun sedih.

kedua mata jake menatap sebuah kafe unik yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat mereka berdiri, pria cerdas itu sebenarnya agak ragu karena kafenya terlihat tak meyakinkan, namun di situasi genting ini, ia memilih membawa gadis yang masih sesegukan sambil tertunduk itu melangkah masuk ke dalam kafe, dan syukurlah lea menurut padanya. ting! lonceng tanda pelanggan masuk berbunyi saat jake membuka pintu. keduanya duduk berhadapan di meja paling dekat dengan pintu. "selamat malam, mau pesan apa?" seorang waitress, tidak, sepertinya perempuan berumur yang menghampiri mereka adalah pemilik tempat ini, karena tak ada orang selain dirinya di sini, bahkan tak ada pengunjung selain jake dan lea. perempuan itu sudah kelihatan keriput namun tetap cantik, rambutnya bergelombang panjang, pakaiannya serba hitam, perhiasan berkilauan bergelantungan di leher, telinga, dan tangannya, "selamat malam, boleh lihat menunya?" jake menjawab dengan kikuk.

perempuan itu memberikan buku menu pada jake yang langsung pria itu buka, sedang lea masih menunduk, kini kepala sampai dadanya bersandar pada meja dengan kedua tangan jadi bantalnya, sepertinya ia kesusahan untuk berhenti menangis, gadis itu sedang sangat sedih. jake berdeham, "ehm, aku pesan teh hangat saja satu" sebutnya, lalu disanggupi si pelayan, "omong-omong, boleh aku pinjam pengisi daya ponsel? ponselku mati dan aku sangat memerlukannya saat ini" jake bicara lagi, "tentu, kau bisa ambil di meja kasir, di situ juga ada colokan listrik, kau bisa duduk sambil menggunakan ponselmu" jawabnya ramah, jake segera mengangguk paham, "aku tinggal sebentar ya, lea" jake permisi, lea mengangguk kecil, tetap tak bersuara, jake segera berdiri dan meninggalkan dua perempuan itu.

"halo, gadis cantik" perempuan itu mulai bicara pada lea setelah jake pergi, lea membuang nafas, harusnya wanita tua ini tahu ia sedang tidak ingin diganggu, namun karena tak pernah diajarkan jadi tak sopan, lea memilih mengangkat kepalanya, perempuan itu mengusap pipi yang sudah dibasahi aliran air mata dengan kedua jempolnya, "iya, bu?" jawabnya dengan suara serak, terdengar jelas habis menangis. perempuan itu tersenyum saat lea merespon, ia memilih mendudukkan diri di hadapan lea tanpa permisi, "mengapa kau sedih, padahal seluruh kebahagiaan yang kau butuhkan dalam hidupmu sedang ada bersamamu saat ini?" ia berujar, kedua alis lea menyatu, ia tak mengerti ucapan wanita aneh di hadapannya ini, "maksudnya, bu?" lea balik bertanya sambil menarik sisa ingus di hidungnya. "memang, memang aku bisa dengar kau akan menangis sangat putus asa, tapi bukan sekarang. kau harus menghargai setiap saat yang kau habiskan bersamanya, karena saat waktunya tiba, ia akan hilang dan yang tersisa di hidupmu hanya penyesalan" ucap perempuan itu lagi, lea malah tambah bingung, apa ibu ini sedang melantur? gadis itu menggelengkan kepala tak paham, lalu memilih menundukkan kepala lagi, jake lama sekali, bicara dengan ibu ini hanya membuang waktunya.

"aku tak sering melakukan ini secara cuma-cuma, tapi sepertinya kau sedang sangat membutuhkannya" usai curi pandang pada jake yang terlihat masih sibuk menerima panggilan di ponselnya, ibu itu bicara tak jelas lagi, lea tak ingin peduli, sampai perempuan itu mengeluarkan jam pasir dari kantungnya dan meletakkannya di atas meja. kepala lea sedikit terangkat, dalam diam memperhatikan butiran pasir yang jatuh dari sisi atas ke sisi yang lain. namun entah kenapa, butiran pasir di benda kecil itu jatuhnya sangat lambat. "maukah kau melihat ke jendela?" permintaan perempuan itu membuat kepala lea terangkat sepenuhnya, gadis dengan penampilan kacau itu menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan bertanya, si lawan bicara menunjuk jendela kaca di samping tempat duduk mereka. lea menurut, kepalanya menoleh ke samping, jalanan sangat sepi. "saat bus merah itu melintas tepat di depan matamu, kau akan melewati hamparan bintang, dan kau akan tiba pada waktu di mana beribu juta detik sudah berlalu setelah detik ini. saat kau melihat objek yang sama, kau akan kembali ke sini dengan selamat" terangnya sambil menunjuk bus merah yang bisa lea lihat dengan jelas, "selamat melakukan perjalanan, hati-hati" perempuan itu berpesan lagi saat bus sudah makin dekat, dan begitu kendaraan besar itu lewat tepat di depan mata lea, seluruh pandangan gadis itu jadi hitam.

-

kring kring. suara alarm membuat tidur lea terganggu, padahal gadis itu sudah sangat nyaman, perempuan itu memperbaiki posisi kepalanya dengan mata yang masih terpejam. nafasnya keluar dengan teratur saat sebuah tangan yang sudah pasti bukan tangannya mematikan ponsel yang sejak tadi berbunyi. geraman seorang pria dewasa terdengar, diiringi dengan pelukan pada pinggang lea yang semakin mengerat, lea mendusel-dusel kepalanya nyaman di sebuah daerah bidang. tunggu, kenapa sedikit lengket? perlahan kesadaran gadis itu kembali. ia mencoba membuka mata, lalu dada telanjang ditangkap pandangannya. nafas lea tercekat, jantungnya berdebar kencang, ia mulai takut. kepala lea mendongak, disambut wajah seorang pria yang melukis sebuah senyum cerah, "selamat pagi, sayang" sapanya lantas mengecup dahi lea, yang dikecup berkedip tak percaya berulang kali, "apa yang kamu lakukan, jake? kurang ajar!" lea mendorong dada pria itu sangat kuat sampai jake terjatuh dari tempat tidur mereka. lea geram, jake tidak tahu diri, apa saja yang terjadi semalam sampai jake bisa menidurinya seperti ini? gadis itu menutupi seluruh badannya yang untungnya masih lengkap dibungkus pakaian dengan selimut tebal.

saat itu juga, saat lea terduduk, ia dihadapkan pada foto pernikahan yang terpampang tepat di dinding depan kasur mereka. itu adalah jake dan dirinya sendiri. tunggu, kenapa lea bisa ada di foto itu? ia tak pernah mengambil foto pernikahan, ia belum menikah, mulut puan itu menganga selebar-lebarnya tak percaya. ia shock sampai kesulitan bernafas, "aw, sayang, kamu kenapa sih?" suara jake yang kini terduduk di sisi kasur kosong di samping lea membuat gadis itu menolehkan pandangan menatap jake masih dengan bibir yang menganga lebar, sayang? kenapa jake memanggilnya sayang? sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?

love theory | jakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang