Semenjak kembalinya mas Darren, hari-hari gue mendadak jadi suram. Gimana engga, hampir tiap hari gue ketemu dia di sekolah. Bahkan gak jarang dia minta gue dateng ke ruangannya karena dia juga merangkap sebagai laboran, jadi ada fasilitas ruangan buat dia.
Gak cuma itu, dia juga jadi rajin ke rumah. Mamah sama papah ya seneng-seneng aja menyambut anaknya yang lama hilang. Rumah terasa lebih lengkap katanya.
Tapi di gue, bukan lengkap. Suram yang ada.
"Selamat pagi, semuanya." Nah itu dia tuh, dengan riangnya dateng ke rumah orang pagi-pagi.
"Pagi, Darren. Ayo duduk sarapan." Jawab mamah dengan sama riangnya. Maklum, kepengen punya anak pertama cowok, yang nongol malah gue.
"Bang Darren, anterin Sevya ke sekolah ya." Ucap adek gue, Sevya Elmeyta yang sekarang kelas 3 SMP.
"Boleh. Kakak mau bareng juga gak?" Jawabnya lalu menoleh ke arah gue.
Gue hanya meliriknya singkat lalu lanjut melahap nasi goreng gue. Biar aja yang lain sadar ada hawa permusuhan antara gue sama dia.
Sekarang pukul 6.30 dan gue telah menyelesaikan sarapan gue, begitu pun dengan yang lainnya. Tapi tiba-tiba,
"Om Iyan anter papah ke kantor. Mang Din anter mamah ke resto." Ucap papah yang sudah bersiap dan hendak berangkat.
"Bentar, bentar. Om Iyan sama mang Din nganter papah sama mamah. Aku?" Tanya gue kebingungan.
"Bareng Darren sayang." Jawab mamah dengan santai.
"Kenapa gak bilang dari awal sih, mah?" Keluhku memelas.
"Lho, kenapa emangnya?" Tanya papah.
"Kan aku bisa pesen ojol. Kalo sekarang ya, telat yang ada."
"Sama aku aja, Sa." Sahut mas Darren dengan santai.
"Nah, itu. Sama Darren aja, ya. Mamah sama papah berangkat." Ujar mamah lalu mau tak mau gue menyalami mereka dan ya, papah dan mamah berangkat sementara gue harus bersama dia.
"Ayo, bang." Ucap Sevya yang sudah berjalan lebih dulu ke arah mobil mas Darren.
"Kamu didepan." Titah gue pada Sevya saat dia membuka pintu belakang. Tanpa mendengar jawabannya gue langsung masuk kedalam dan menutup pintu.
"Sudah?"
"Udah, bang. Ayo."
"Oke." Lalu mas Darren melajukan mobilnya menembus jalanan ibu kota.
Setelah 10 menit perjalanan, kami tiba di sekolah Sevya. Setelah berpamitan, Sevya turun dan segera masuk ke area sekolahnya. Tapi, mas Darren belum juga melajukan mobilnya.
"Bapak mau terlambat ngajar?" Tanya gue mengingat hari ini jadwal kelas dia pertama dan itu di kelas gue.
"Aku bukan driver kamu, Sa." Jawabnya dengan menatap gue sementara gue menghembuskan napas kasar.
"Terus? Saya juga gak minta bapak jadi driver saya." Sahut gue datar.
"Pindah ke depan, Sa." Titahnya selembut kapas. Tapi, duh udah gak mempan, shay.
"Saya sendiri aja." Ucap gue lalu segera keluar dari mobilnya. Tapi, ternyata tidak semudah itu. Dia langsung menarik gue dan mendudukan gue di kursi depan dan memasangkan seatbelt.
"Done. Kita berangkat." Ucapnya lalu mobil ini mulai berjalan.
"Hati bapak tuh terbuat dari apa sih? Bisa dengan santainya bertindak kayak gini."
"Sa. Aku buat kesalahan besar waktu itu. Kesalahan yang mungkin kalau aku jelasin dulu pun kamu akan sulit pahamin itu." Jawabnya pelan.
"Iyalah salah. Orang setelah 6 bulan bapak nikah tiba-tiba mamah nunjukkin foto bayi laki-laki ke saya. Gede lagi bayi nya, gak didalam inkubator." Sahut gue ketus. Agak emosi ya pagi-pagi gini.