Ini adalah hari terakhir ujian, yang berarti setelah ini seluruh siswa akan berpisah. Ya walaupun mungkin ada yang nanti satu univ lagi atau apalah, tapi buat gue ini udah selesai dan gue akan pergi.
"Lo jadi, Nan?"
"Jadilah anjir. Yakali tiba-tiba gue daftar apaan." Gue menjawab pertanyaan Arian yang kini duduk disebelah gue.
Gue dan Arian duduk diluar kelas, hm lebih tepatnya kursi yang ada di bawah pohon. Kebetulan juga, gue dan Arian ujian di ruang kelas kami selama 3 tahun disini. Jadi, meluangkan waktu itu berada disini sedikit lebih lama, gak masalah.
"Makasih ya udah mau jadi temen gue selama 3 tahun ini. Padahal setahun ke belakang gue sering ngacangin lo kalo lagi nongkrong dan lebih milih nyambi belajar." Ucap Arian tiba-tiba saat kami tengah menikmati pemandangan lapangan dan kelas lainnya.
"Tiba-tiba banget lo hahaha."
"Serius gue, Nan. Dulu temen gue akhirnya ninggalin gue gara-gara gue lebih milih ngabisin waktu sama buku padahal lagi nongkrong sama mereka. Tapi lo engga."
"Tapi akhirnya lo disini kan? Bahkan udah siap jadi calon dokter. Nah mereka? Lagian temen lo aneh banget sih, Yan." Jawab gue mendengar penjelasan Arian.
"Kalo gue, lebih milih dikacangin sama lo atau lo nyambil belajar pas kita lagi nongkrong tapi lo berhasil jadi apa yang lo mau, Yan. Siapa sih yang gak mau punya temen dokter? Banyak yang mau. Tapi gak banyak yang mau nemenin dia gila-gilaan belajar."
"Gue mau terharu sambil meluk lo, Nan. Tapi ngeri gitu." Ujar Arian yang justru mendorong pelan kepala gue.
"Gak perlu anjir. Iyuhh." Sahut gue dengan geli.
"Btw, Nan. Lo beneran gak mau ngomong soal itu? Ini udah mau graduation." Tanya Arian membuat gue sedikit berpikir mengenai suatu hal.
"Ah, itu. Kayaknya skip deh. Gue gak tau harus mulainya gimana. Lo tau sendiri kita gak sebaik itu."
"Cara lo abnormal sih." Ejek Arian
"Daripada lo diem diem aja."
Saat gue dan Arian masih setia duduk dibawah pohon ini, di depan kelas seberang gue melihat sedikit kerumunan. Atau lebih tepatnya sebuah cikal bakal keributan.
Dengan santai gue berjalan mendekat. Dua meter dari posisi sekarang, gue bisa melihat Nevya dan Bianca. Ah, masalah dengan wanita itu lagi.
"Lo!"
"Tangan lo bisa diem gak sih? Gatel banget." Gue menginterupsi teriakan dan tangan Kamila yang hendak mendarat di wajah Nevya.
"Reynan. Kenapa sih selalu belain dia?" Ujar Kamila dengan nada yang membuat gue cukup jijik.
"Dia kasih service ya sampe kamu belain terus?" Ujarnya membuat gue menyerengit bingung. Service apaan anjir, gila kali.
"Kamila, jangan karena lo anak pak Danuarta lo jadi bisa seenaknya. Inget ya, inget nih baik-baik, atau nanti sekalian lo crosscheck ke bokap lo. Gue cucu pertama pak Pradana, bisa aja bikin lo diblacklist dimana-mana setelah ini." Jelas gue lalu melepas kasar tangan nya yang tadi gue tahan.
"Lo berdua mau pergi kan?" Tanya gue menatap Nevya dan Bianca bergantian.
"Yaudah jalan sana." Lalu tanpa babibu mereka pergi. Setelah memastikan Nevya dan Bianca menjauh, gue juga langsung meninggalkan Kamila yang masih diam terpaku.
Heran gue, perkara cowo aja sampe segitunya. Udah mana cowo yang diributin gak peduli juga. Aneh.
"Gaenak ya Nan liatnya?" Tanya Arian saat gue sudah kembali duduk disebelahnya.