[Chapter 2] Slap in the day.

711 75 33
                                    

"Soobin, aku keluar dulu ya."

"Mau kemana?"

"Beli minyak kayu putih di Apotek depan."

"Hm, udah sholat?"

"Eung... aku pergi dulu."

Soobin menghela nafas jengah, tak lagi berfikir bagaimana istri keduanya ini selalu meninggalkan ibadah.

Bukan karena tak beragama, tapi karena Arin acuh tak acuh terhadap pentingnya kewajiban. Soobin tlah menganggap hal ini sudah biasa sejak awal menikah.

Soobin menyimpan sajadah diatas lemari lalu keluar dari tempat ia sholat menuju ruang utama.

"Arin mau kemana, Mas?" Lia bertanya dari kamarnya, sembari melepas mukena putih yang baru usai digunakan.

"Katanya mau beli minyak kayu putih."

"Emangnya habis?"

"Habis." Soobin terduduk di sofa, mengintip jam dinding sekilas yang menunjukan pukul 12.05.

Seusai sholat dzuhur keluarga kecil Soobin berencana pergi kesebuah tempat makan disebelah kantor kerja.

Rencana ini ada karena Minhyuk mengundang seluruh pekerjanya makan bersama diakhir pekan, Minhyuk mengajak putrinya bersama Soobin kesana.

"Kamu jadi pergi ke Cafe yang deket tempat kerja kamu bareng Arin?" Tetiba Lia terduduk disebelah Soobin, menengok dengan tatapan biasa penuh kesunyian.

"Jadi, kamu juga harus ikut."

"Gak usah, aku sibuk banyak kerjaan dirumah." Lia mengalihkan pandangan, bersikap acuh tak acuh lagi sembari menyalakan Televisi tanpa ditonton.

"Lia." Soobin menghadap istrinya, menghela nafas jengah lagi dadanya terasa begitu sesak.

Melihat, mendengar, merasakan sikap Lia yang berangsur-angsur menghilang dari sikap Lia yang Soobin kenal.

Soobin benci melihat Lia yang lebih pendiam.

Tau pasti Lia merasa terasingkan selama Arin hadir dalam dunianya menjadi pembagi antara Soobin dan Lia.

"Kamu juga istri aku, kamu harus ikut juga."

"Kalau aku ganggu?"

"Enggak Lia, kamu bukan pengganggu."

Soobin menangkup dua pipi Lia, berkontak mata sedalam mungkin selama Arin tiada dirumah, bukan mengincar kesempatan namun hanya memuaskan rasa rindu.

"Coba senyum." Soobin ikut mengikuti arah ucapan, tersenyum demi bisa melihat Lia ikut tersenyum.

Sudah lama Soobin merindu, bagaimana manisnya wajah Lia yang selalu terlihat bahagia mewarnai hari-harinya seperti dahulu.

Sekarang tak ada lagi sejak keadaan mulai tak lagi berkompromi.

"Apa sih Mas? Udah sana siap siap, kalau Arin udah dateng kamu harus udah siap."

"Lia, aku kangen."

"Udah sana."

"Lia, Masnya kangen." Soobin semakin memaksa, masih menangkup pipi Lia dengan senyuman ciri khasnya.

Lia menghela nafas sarkas, tersenyum beberapa detik secara paksa lalu menepis kedua tangan suaminya dari wajah.

"Kok begitu? Gak ikhlas senyumnya?"

"Hm."

"Senyum ke suami itu berkah lho, dapet pahala."

"Mas, inget hutang kita banyak." Lia menginterupsi sikap manis Soobin yang mencoba menghibur suasana diantara keduanya.

POLIGAMI | SooliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang