Part 6

1.3K 15 5
                                    

Hari demi hari berlalu...Alena semakin sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Kehadiran Alena sedikit banyaknya berpengaruh pada penjualan produk yang semakin meningkat walau pun hanya lima persen. Tapi bos Alena tetap menyadari perubahan sekecil apapun itu. Kualitas Alena sebagai karyawan di perusahaan Brata semakin lama semakin diperhitungkan. Dia adalah seorang karyawan yang pintar, sigap dan berani untuk mengambil keputusan. Tak terasa sudah tiga bulan Alena bekerja di perusahaan Brata. Dia cukup menikmati kantor itu dan yang pasti tidak terganggu dengan godaan bos-bosnya lagi. Ups!
Berbicara tentang bos...
Hubungan Alena dan Mexi tidak seperti dulu lagi. Karena kemampuan Alena yang tidak boleh dipandang sebelah mata, perlahan-lahan Mexi mulai melunak dengan Alena. Walau pun dia tidak segalak dulu, tapi sikap dinginnya masih sering muncul saat berhadapan dengan Alena. Membuat Alena bingung dengan sikap bosnya yang berubah-ubah itu. Tapi Alena tidak ambil pusing soal itu, yang penting dia bisa bekerja dan memberikan yang terbaik. Hubungan Alena dengan Romeo juga semakin dekat. Romeo perlahan-lahan sudah melupakan mantan tunangannya itu dan dia mulai jatuh hati pada Alena. Sikap Alena yang tenang dan dewasa membuat Romeo tak berkutik bila di hadapannya. Romeo belum mengatakan perasaannya pada Alena karena dia belum yakin bahwa Alena juga mempunyai perasaan yang sama. Sikap Alena selama ini padanya cenderung biasa saja. Seperti sikap seorang bawahan terhadap atasan. Hal ini membuat Romeo menunggu waktu yang tepat mengutarakan perasaannya.

Pagi ini Alena datang tepat waktu di kantor, mungkin bisa dibilang malah kecepatan sepuluh menit. Yup! Pukul delapan kurang sepuluh menit Alena sudah duduk manis di kursi kerjanya. Alena langsung menghidupkan komputernya dan bersiap memulai bekerja.
" Alena..." panggil seorang karyawan pada Alena.
" Ya? " sahut Alena sambil melihat ke arah sumber suara.
" Ini ada file yang harus ditandatangi Pak Mexi. Tolong kamu antarkan ya." perintah karyawan itu yang jabatannya masih di atas Alena.
" Oh iya." sahut Alena sambil mengambil map berwarna hijau itu. Alena langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruangan Mexi.
" Hai, Je." sapa Alena saat melewati meja Jean. Jean masih sibuk meperbaiki make-up nya.
" Hai, Al." balas Jean sambil tersenyum.
" Pak Mexi udah dateng? " tanya Alena sambil menunjuk ruangan Mexi.
" Udah, baru aja."
" Yaudah, gue masuk dulu ya. Mau ngasih ini." kata Alena sambil menunjukkan map yang dia pegang.
" Oke." balas Jean sambil melanjutkan merapikan make-up nya.
" Tok...Tok...Tok..." Alena mengetuk pintu ruangan Mexi. Namun tidak ada jawaban. Biasanya Mexi langsung menyahut bila mendengar ketukan pintu. Alena mengetuk pintu kembali. Setelah menunggu beberapa detik, tidak ada jawaban juga. Alena mulai curiga kenapa Mexi tidak menjawab. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dengan memberanikan diri Alena membuka pintu ruangan itu.
Kreekkkk...Pintu ruangan Mexi terbuka.
" Permisi, Pak..." kata Alena hati-hati. Tampak Mexi yang sedang berdiri dengan wajah pucat pasi di samping meja. Alena langsung berjalan mendekati Mexi.
" Pak, Bapak kenapa? " tanya Alena panik, dia langsung meletakkan map yang dipegangnya di atas meja. Dia melihat wajah Mexi yang pucat dan keringat dingin.
Bruuukkk...Tubuh Mexi ambruk di pelukan Alena. Alena merasa keberatan menopang tubuh Mexi yang jauh lebih besar dari tubuhnya.
" Pak, Bapak gak papa? " tanya Alena semakin khawatir. Dia membopong tubuh Mexi dan membaringkannya di atas sofa yang ada di ruangan itu. Mexi terbaring lemah di atas sofa. Peluh keringat membasahi tubuhnya. Alena langsung melonggarkan dasi Mexi dan membuka beberapa kancing bajunya agar bisa bernafas lebih lega. Alena memegang dahi Mexi.
" Ya ampuunn...Badan Bapak panas banget!! " seru Alena kaget saat mendapati suhu tubuh Mexi sangat panas dibandingkan suhu telapak tangannya.
" Pak, tunggu bentar ya..." kata Alena bergegas bangkit dari duduknya.
" Alena..." panggil Mexi sambil menarik tangan Alena. Alena pun berhenti dan mengalihkan pandangannya pada Mexi.
" Ya? "
" Kamu mau kemana? Jangan sampai ada yang tahu kalo saya sakit..." kata Mexi memperingatkan Alena.
" Kalo itu saya panggil dokter." kata Alena memberi pilihan lain.
" Gak usah...Kamu disini aja nemenin saya." kata Mexi pelan dengan sisa tenaga yang ada. Rasanya darah Alena berdesir dengan cepat saat mendengar ucapan Mexi itu. Mexi tak melepaskan genggamannya dari tangan Alena. Alena hanya bisa menatap wajah Mexi sambil sesekali mengelus rambutnya dengan tangan satu lagi, karena tangan satunya masih digenggam erat oleh Mexi.
" Dasar...Manusia tergalak dan tersombong yang pernah aku jumpain." gumam Alena pelan sambil mengelus rambut Mexi. Mexi sedang tertidur lelap.
" Walau pun di luar terlihat keras, tapi sebenarnya kamu pria yang baik. Aku tahu itu, aku bisa merasakannya. Kalo saja kamu bisa selembut Romeo...Mungkin aku akan dengan mudah jatuh cinta sama kamu..." lanjut Alena lagi. Kemudian Alena berusaha melepaskan genggaman Mexi dari tangannya dan berhasil. Alena pun pergi ke ruang ganti Mexi dan mencari selimut disana. Mata Mexi terbuka begitu Alena pergi. Sebuah senyuman muncul di wajahnya setelah mendengar semua yang sudah dikatakan Alena. Ternyata Mexi tidak benar-benar tertidur.
Sementara itu di ruang ganti, Alena terus mencari selimut. Walau pun tidak menemukan selimut, tapi Alena menemukan sehelai kain yang bisa dipakai seperti selimut. Alena pun mengambilnya dan bergegas kembali ke tempat Mexi. Mexi yang menyadari kedatangan Alena langsung berpura-pura tidur kembali. Alena menhelimuti tubun Mexi dan mengurangi suhu AC di ruangan itu. Kemudian Alena berjalan mengelilingi ruangan Mexi. Sudah tiga bulan dia bekerja disinicdan mungkin dudah ratusan kali dia memasuki ruangan ini. Tapi, Alena tak pernah sekali pun melihat-lihat isi ruangan itu. Alena berjalan ke meja kerja Mexi. Disana dia menemukan badname " Mexi Geraldy Brata, Direktur" begitulah lebih kurang tulisan yang terpampang disitu. Alena hanya tersenyum tipis melihatnya. Kemudian Alena melihat sebuah bingkai foto. Di foto itu tampak Mexi sedang diapit oleh seorang pria dan wanita setengah baya, sudah bisa ditebak bahwa itu adalah orang tuanya. Sampai sekarang Alena juga tidak pernah tahu orang tua Mexi, bahkan hanya untuk bersalaman pun belum pernah. Alena memperhatikan foto itu, sepertinya Mexi lebih mirip dengan mamanya. Hmmm...
Kemudian Alena melihat sebuah map terselip di bawah tumpukan buku yang ada di meja Mexi. Walau pun ragu karena takut dianggap tidak sopan, Alena memberanikan diri membuka map itu. Rasanya terlalu aneh jika ada selembar map yang di atas meja bos seperti ini. Biasanya kan semua di simpan oleh sekretaris. Alena menarik map itu dari bawah tumpukan buku dan membukanya...Alangkah kagetnya dia saat melihat fotonya ada disana. Tidak, mungkin lebih tepatnya CV Alena saat pertama kali melamar kerja di perusahaan ini.
" Kenapa CV gue ada disini? " gumam Alena bingung. Kalo memang CV karyawan harus ada di meja bos, lalu kemana CV karyawan baru yang lain? Perasaan disitu hanya ada satu map dan isi map itu cuma CV Alena seorang.
" Kok bisa disini sih? " tanya Alena lagi sambil melirik Mexi yang masih tertidur lemah di sofa.
" Haahhhh...Tauk ah! " kata Alena sambil menutup kembali map itu dan meletakkannya di bawah tumpukan buku.
Hampir setengah jam Alena menemani Mexi yang sedang tertidur (pura-pura) di sofa. Untungnya tidak ada karyawan lain yang masuk yang meminta tanda tangan Mexi seperti biasanya. Untungnya lagi, Romeo tidak ke ruangan Mexi hari ini.
Alena duduk di depan Mexi sambil memandangi wajah bosnya yang terlihat pucat itu. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu karena bosnya berpesan agar dia tidak boleh kemana-mana. Tubuh Mexi bergerak menandakan dia sudah bangun. Alena langsung bangkit dan mendekat ke arahnya. Mexi membuka mata dan mengucek-nguceknya.
" Pak..." sapa Alena sambil berjongkok di depan sofa yang ditiduri Mexi. Mexi menoleh ke arah Alena. Dia hanya diam, tidak berkata apa-apa. Mexi menyisihkan kain yang menyelimuti tubuhnya, lalu mencoba untuk bangkit.
" Aduuhh..." erang Mexi sambil memegangi kepalanya yang terasa berat.
" Pelan-pelan, Pak." sambar Alena sambil menahan lengan Mexi. Mexi menatap tangan yang sedang mendarat di lengannya, lalu pandangannya berpindah ke mata Alena. Dia menatap tajam mata wanita yang ada di depannya, penuh ketenangan.
" Eemmm...Maaf..." ucap Alena saat menyadari tangannya memegang lengan Mexi. Ditatap seperti itu membuat Alena merasa akan diterkam oleh bosnya. Mexi tak membalas apa-apa. Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju kursi kerjanya. Alena ingin membantu, tapi dia takut bosnya akan marah. Maka Alena hanya mengawasi di sekitar Mexi, bersiap kalau Mexi akan jatuh. Mexi sampai di kursi kerjanya dengan langkah yang perlahan-lahan. Dia menghempaskan tubuhnya disana lalu menghela nafas panjang.
"Bapak gak papa? " tanya Alena memberanikan diri. Mexi hanya mengangguk pelan.
" Tok...Tok...Tok..." suara pintu ruangan Mexi diketuk seseorang.
" Masuk..." sahut Mexi pelan.
Kreekkkk...Pintu terbuka. Jean masuk sambil membawa sebuah map di tangannya. Jean begitu kaget saat menyadari Alena masih di ruangan itu, padahal sudah hampur setengah jam yang lalu dia masuk. Jean mengira Alena sudah keluar tanpa sepengetahuannya.
" Alena? Lo masih disini? Bukannya dari tadi lo..." tanya Jean kaget.
" Eummm...Pak, ini yang harus ditandatangani." sambar Alena cepat tanpa mempedulikan panggilan Jean. Mexi hanya terlihat santai menanggapi kebingungan Jean, kemudian dia menarik map yang disodorkan Alena dan menandatanganinya.
" Permisi, Pak." pamit Alena sambil mengambil map yang sudah ditandatangani Mexi, lalu berlari keluar menghindari pertanyaan yang masih ingin dilontarkan oleh Jean.
" Ada apa, Jean? " tanya Mexi yang mengagetkan Jean karena masih bingung dengan Alena.
" Oohhh...Euuummm...Ini bahan yang diperlukan untuk rapat besok, Pak. Sudah selesai." jawab Jean gugup sambil menyerahkan map di tangannya. Mexi menerima map itu dan membacanya sekilas.
" Oke, bagus. Terima kasih." balas Mexi sambil menutup map itu kembali. Jean tak bereaksi, pikirannya masih ke Alena.
" Ada lagi yang ingin kamu sampaikan? " tanya Mexi yang lagi-lagi mengagetkan Jean.
" Oohh...Eng...Enggak ada, Pak. Permisi." jawab Jean sambil melangkah berjalan keluar pintu. Jean berniat akan segera menghampiri Alena dan menanyakan semua yang berkecamuk di kepalanya.
" Jean..." panggil Mexi saat Jean membuka pintu. Jean pun membalikkan badannya.
" Ya, Pak? "
" Jangan ngobrol apa pun pada Alena, saya bisa melihat dari sini. Ini sedang jam kerja, Jean." perintah Mexi seolah-olah bisa membaca apa yang akan Jean lakukan setelah keluar dari ruangannya.
" Hmmm...Baik, Pak." jawab Jean mengerti. Kemudian dia pamit sekali lagi dan kembali ke meja kerjanya. Mexi hanya menghela nafas melihat sikap sekretarisnya itu.

I love you, Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang