2. Sandyakala

22 4 1
                                    

        Namanya Sandyakala, artinya cahaya merah saat senja. Yaa, menurut Aras nama itu sesuai dengan orangnya.

        Sandy itu unik, punya caranya sendiri agar terlihat. Sering awkward kalo bicara sama orang lain, tapi tetep mengusahakan yang terbaik. Orangnya sederhana, punya karismanya sendiri.

        Suatu waktu, Sandy pernah nanya ke Aras. "Ras, diangkatan kakak ada gak yang kamu suka, atau kagum gitu?"

        "Wajib Aras jawab nih?" tanya Aras balik, padahal jantung Aras udah dagdigdug.

        "Kalo gamau, gapapa kok, Ras."

        "Hehe, ada kok. Gak suka, kagum aja." jawab Aras.

         "Siapa?"

         "Duh, Aras malu. Orangnya itu yaa, kakaklah." jawab Aras, buang muka.

         "Loh, kenapa kakak? Kenapa gak yang lain?" tanya Sandy, rautnya bingung.

        "Karena, apa ya. Mungkin karena Aras baru kenal sama Kakak aja. Kakak juga baik, ada gitu ya kakel yang ngesave nomer dekel gitu. Terus dari hal-hal kecil yang Aras perhatiin, Kakak mau sharing ke kami-kami yang padahal waktu itu belum tentu keterima seleksi osis, Kak." jelas Aras, Sandy tersenyum mendengarnya.

Oh, tolong. Aras ingin menghilang saja dari bumi.

        "Kalo Aras udah kenal sama temen-temen Kakak yang lain, Aras pasti bakal kagum juga sama mereka. Kalo dibandingin sama mereka, Kakak mah gak ada apa-apanya." ucap Sandy, Aras hanya tersenyum. Yang kaya Sandy emang langka deh kayaknya.

🏡

        Setelah selesai makan malam dengan keluarganya, Aras kembali ke kamar dan merebahkan diri di kasurnya. Di luar mendung, beberapa kali terdengar gemuruh pertanda hujan akan turun. Aras membuka whatsapp, membaca beberapa pesan yang masuk.

        Ternyata grup kelas yang tengah sibuk membahas tugas bahasa yang diberikan tadi. Aras lupa mengerjakannya, kemudian segera saja ia mengambil buku dan penanya untuk kemudian mengerjakan tugas tersebut.

        Ketika banyak temannya yang mengeluh bahwa mapel bahasa itu membosankan dan merasa mengantuk saat mapel bahasa, Aras tidak. Aras suka mapel bahasa, entah karena apa. Mungkin saja karena ia suka membaca. Kalo ada yang bilang Aras kutu buku, Aras menyetujuinya. Karena kalo di sekolah, kemana-mana Aras bawa novel. Entah itu ke kantin, nemenin Kanya ke toilet, atau duduk di pinggir lapangan, Aras tetep bawa novel. Yaa, meskipun tak terlalu sering begitu si.

        Oh iya, Kanya. Pasti kalian belum kenal sama Kanya. Namanya Kanya Anastasya, gatau deh artinya apaan. Dia murid pindahan dari kelas IPS 2, waktu mpls di IPS 2 tapi dipindahin. Nyasar katanya, maklum anak akselerasi eskul. Anak IPA 1 bilang, Kanya mirip sama Aras, padahal mana ada mirip-miripnya.

        Setengah jam berlalu, akhirnya tugas itu selesai. Rintik-rintik kecil mulai membasahi jendela kamar Aras, yang kemudian menjadi hujan deras. Aras berdiri di samping jendela, menatap ke luar. Udara yang seharian ini panas mulai menyejuk, rasanya tenang.

        Aras jadi bertanya-tanya, bagaimana rasanya menjadi seseorang yang memiliki kenangan dengan hujan? Apakah semenyenangkan yang diceritakan di novel? Apakah memang rasanya seperti terdapat kupu-kupu berterbangan di dalam perut?

        'Coba aja kali yaa,' benak Aras.

        Aras membuka aplikasi whatsapp, kemudian mencari satu nama. Sandyakala, kebetulan lagi online.

Arasatya
Kak?

        Tak lebih dari lima menit, ternyata Sandy membalasnya.

Kak Sandy
Iyaa

Arasatya
Di tempat kakak hujan ya?

Kak Sandy
Ya iyalah, Aras

Arasatya
Mana tau beda yakan

Kak Sandy
Orang satu daerah mana bisa beda

Arasatya
Ih,'kan manatau daerahnya Aras sama Kakak lagi musuhan gitu

Kak Sandy
Bisa musuhan gitu yaa? Wkwk

Arasatya
Bisa tau, Kak. Kaya waktu itu, Aras kewarung, pas di rumah ga ujan, eh pas di warungnya gerimis

Kak Sandy
Nah, berarti rumah sama warung yang musuhan

Arasatya
Lah iyaa, wkwk

        Balon obrolan berhenti di Aras, tidak dibaca sama sekali, padahal masih online. Ya sudahlah, Aras menutup wa tersebut kemudian membuka notes di hp-nya. Yaa, obrolan yang sangat tidak jelas memang, tapi mampu membuat Aras senyum-senyum ga jelas.

Apa banget sih lo, Ras. Batinnya.

          Yaa, bukan punya momen dengan hujan yang kaya orang lain rasain sih. Tapi akhirnya, Aras bisa sedikit paham lah yaa. Aras mulai mengetikkan satu per satu kata yang kemudian menjadi sebuah kalimat, lalu akhirnya menjadi empat paragraf singkat. Tak lupa Aras simpan tulisan itu, kemudian membagikannya di snapgramnya.

Setelah berhasil diposting, Aras membaca kembali tulisan itu, lalu tersenyum karenanya. Aras kemudian mematikan ponselnya, dan merebahkan diri di kasur. Masih dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, Aras menutup matanya. Menuruti permintaan dari matanya untuk beristirahat.

Tidur yang nyenyak yaa.

🏡

Ah, jadi begini rasanya memiliki kenangan dengan hujan?

Senyummu akan terbit hanya karena mendengar suara rintikan hujan yang mengingatkanmu tentangnya.

Hujan masih air sebelum kuberikan pertanyaan konyol kepadamu untuk memulai sebuah percakapan.

Saat ini juga, hujan masih air, hanya saja ia datang bersama kenangan kecil tentangmu.

—Senandika.

—To be continue...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumah [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang