2 (Dua)

2 0 0
                                    

"Gue ngga mau tau, pokoknya hari ini harus selesai tuh laporannya, gue ngga mau diomelin lagi Pak Bagus. Dari dua hari yang lalu gue kasih, sampe sekarang belum selesai juga. Siang ini gue tunggu." Reza menutup sambungan telepon di ponselnya dengan muka masam, pagi-pagi sudah ada yang membuatnya jengkel.

Reza meninggalkan semua tugasnya pagi itu, bahkan ini belum jam sebelas tapi dia sudah meninggalkan ruangannya karena mood yang tidak stabil. Ia berjalan menuju kedai kopi yang berada di lantai bawah kantornya, sepertinya meminum kopi sebelum makan siang adalah waktu yang tepat untuk mengembalikan moodnya.

"Hoi," bahunya ditepuk oleh salah seorang temannya. "Tumben banget muka lo garang banget masih pagi, pacar lo minta putus lagi?"

Reza menjatuhkan tangan Jeevan dari bahunya, "bukan, bawahan gue bikin kesel pagi-pagi."

"Nyebat aja yuk, gue bawa sebungkus nih." Jeevan mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam sakunya.

Reza menggelengkan kepala, "gue cuma butuh kopi, belum butuh rokok." Ia masuk kedalam kedai kopi dan langsung menyebutkan pesanannya. Sambil menunggu pesanannya dan Jeevan siap, Reza mengeluarkan ponselnya untuk melihat-lihat sesuatu yang menarik.

"Tenggat waktu buat calon karyawan sampe kapan, Za? Sebulan atau dua minggu lagi?"

"Sebulan."

Jeevan melirik Reza, "lo yang bakal interview mereka kan?"

Reza bergumam. Tepat setelah itu pesanannya siap, mereka langsung menuju tempat duduk yang berada diluar ruangan karena Jeevan akan merokok. Selama Jeevan merokok, Reza masih terus melihat-lihat ponselnya.

Reza adalah seseorang yang akan melakukan apapun demi sang pacar, apalagi sekarang ia sedang dituntut oleh orang tuanya untuk mencari pacar yang serius, maksudnya serius akan melanjutkan hubungan mereka kearah yang lebih serius daripada pacaran. Menikah. Dia ingin membicarakan keinginannya ini kepada sang pacar, Artika, tapi selalu tidak ada waktu yang tepat.

Artika selalu sibuk dengan kehidupan karirnya, yaitu menjadi aktris. Dan juga Reza yakin seribu persen kalau Artika belum mau menikah dulu untuk sekarang. Inilah yang membuat Reza menjadi bingung dan sangat mengganggu pikirannya beberapa hari lalu. Ditambah lagi masalah ditempat kerjanya yang tidak ada habisnya.

Jeevan mematikan rokoknya, "lo kapan mau ke tempat syuting Artika?"

Reza menggeleng. "Gue ngga mau kesana, lo tau gue ngga pernah mau ke ekspos media sama sekali."

"Emang lo ngga kangen? Bukannya udah hampir dua bulan lo ngga ketemu dia?"

"Ya mau gimana lagi, gue harus ngertiin dia, Je."

Jeevan berdecih. "Persetan sama ngertiin. Dia aja ngga pernah ngertiin lo. Gue bakal beliin lo americano sampe lo kembung, kalo lo putusin dia, dia bakalan fine-fine aja."

"Pacar gue bukan barang."

Jeevan tersenyum miring. "Gue ngga ngerti sama lo, baik banget jadi orang. Mending jadi pacar gue aja, daripada Artika."

"Geli banget, Je." Reza melirik jam tangannya, "gue cabut dulu, ada janji sama sepupu gue di kampusnya."

Reza meninggalkan Jeevan, sebenarnya apa yang keluar dari mulut Jeevan ada benarnya juga. Selama tiga tahun berpacaran dengan Artika, dia sama sekali belum pernah merasakan pengorbanan Artika. Yang Reza lakukan hanya menunggu dan menunggu Artika sampai ia punya waktu.

Semua kata-kata Jeevan terngiang di kepalanya tanpa henti, membuat Reza mendesah kesal. Kembali teringat kenangan-kenangan kecil bersama Artika yang hanya bisa dihitung jari.

Mobilnya berjalan menuju kampus Hendra, sepupu Reza yang membuat janji dengannya. Karena kampus Hendra dengan kantor Reza tidak terlalu jauh, dia hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit saja.

Hendra si sepupu : *share location*

Hendra si sepupu : Gue di kantin fakultas, pake baju biru dongker

Mau tidak mau, Reza mengikuti maps dengan berjalan kaki karena tidak memungkinkan untuk naik mobil. Sambil menyusuri fakultas seni, Reza melihat-lihat lukisan yang sengaja di pajang di setiap dinding.

"Maksud lo apa pegang-pegang temen gue? Lo tau itu namanya pelecehan?"

Kerumunan di tengah gedung membuat Reza tertarik.

"Ngga usah bilang pelecehan kalo temen lo setuju-setuju aja."

Sesampainya di kerumunan, Reza menerobos masuk kedalamnya. Dahinya mengerut, seperti tahu siapa cewek yang berteriak didepan sekelompok laki-laki.

Laki-laki yang duduk paling depan mendapat satu tamparan di pipinya. "Brengsek."

"Kenapa sih, lo, Thir? Lo mau juga gue pegang? Atau lo mau lebih dari teman lo?" Tanya laki-laki itu dengan seringainya.

Dari tempatnya berdiri, Reza langsung berjalan kearah laki-laki yang mendapat tamparan sambil mengepalkan tangannya. Tanpa berkata apapun, Reza melayangkan tangannya kearah muka laki-laki tersebut. Reza memegang kerah bajunya, "ngga pantes hidup lo, bangsat!"

Athira, nama cewek yang numpahin popcorn dan cappucino di baju gue. Ternyata se-pemberani itu.

***

Hope u enjoy this story!

Winwin: Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang