Bab 1 | Danika

446 18 0
                                    

Sejak kecil aku selalu menganggap bahwa menjadi dewasa itu menyebalkan. Kepala orang dewasa selalu penuh dengan pikiran-pikiran yang tak ayal membuat rambut mereka memutih sebelum waktunya atau kening mereka penuh dengan lipatan-lipatan yang membuat penampilan mereka menjadi tidak menarik.

Seandainya manusia tidak perna bertumbuh, aku akan sanang sekali. Aku pasti menjadi anak-anak selamanya. Anak-anak tidak sama seperti orang dewasa. Mereka bisa dengan bebas melakukan segala hal yang mereka inginkan, mereka bebas mengekspresikan apa yang mereka rasakan dan mereka tidak terikat oleh aturan dalam bentuk apa pun.

Na'asnya, aku tidak bisa melawan kodrat alam bukan? Sebanyak apa pun aku tidak menyukai menjadi dewasa, pada akhirnya aku tetap sampai pada tahap itu.

Berita bagusnya, saat aku mencapai tahap itu (Read : dewasa) kurasa menjadi dewasa tidaklah semenyebalkan seperti yang selalu kubayangkan sewaktu kecil dulu.

Perkenalkan namaku Danika Patricia Hermawan. Usia? Ugh, aku akan selalu menjadi sensitif jika membahas soal usia. Tapi itu dua tahun lalu. Sekarang aku tidak perna mempermasalahkan hal itu lagi.

Tidak, setelah aku mempunyai pacar.

Begini rinciannya. Dua tahun lalu aku selalu membenci jika mereka -keluarga dan teman-temanku- menanyakan berapa usiaku dan saat aku mengatakan aku berusia 27 tahun, mereka akan selalu bereaksi berlebihan seolah aku adalah perawan tua yang nyaris tidak laku karena yang mereka tahu aku tidak perna punya pacar seumur hidupku.

Asal mereka tahu saja, aku perna pacaran, setidaknya saat SMA dulu.Itu sebenarnya rahasia, karena papa tidak perna mengijinku pacaran sebelum aku berhasil menamatkan SMA-ku.

Dulu aku bahkan berpacaran dengan cowok most wanted di sekolahan. Tapi dasar nasibku saja yang sial, karena si cowok most wanted nyatanya tidak perna benar-benar menyukaiku. Itu pukulan yang telak untuk-ku. Dia malah menyukai orang lain yang na'asnya adalah teman baikku. Ah, lupakan soal cinta monyet jaman SMA.

Kembali kepermasalahan awal soal 'usia', aku juga benci jika mama mengajakku ke perkumpulan keluarga. Ini tentu saja ada kaitan dengan usiaku. Kadang aku bertanya kenapa sih setiap kali pergi ke pertemuan keluarga mama tidak perna mengajak kak Arga atau adikku Ervan, tapi malah mengajaku.

Aku selalu sukses menjadi bahan 'cengan' keluarga besarku. Apalagi tante Rima. Ugh, aku ingat sekarang. Dulu aku selalu ingin membekap mulut tante Rima karena disetiap pertemuan dia selalu "nyinyir" menanyakan bagaimana bisa diumurku yang sudah "setua" itu aku bahkan belum menikah atau minimal mempunyai pacar terlebih dahulu.

Bisa-bisanya tante Rima membandingkan aku dengan sepupu-sepupuku di kampung yang menikah diusia muda. Hell, itu jelas tidak relavan sama sekali!

Sepupu-sepupuku tinggal di kampung yang if you know what i mean tentang segala tete bengek norma di sana mengharuskan perempuan untuk menikah muda. Sedangkan aku, aku tinggal di kota yang norma dan kaidahnya jelas jauh berbeda dengan di kampung. Berani bertaruh, mereka mungkin menikah selepas lulus SMA.

Lagi pula, apa tante Rima pikir aku sudah gila! Mana mungkin aku mau saja menukar kebebasan masa mudaku (Read: saat masih berusia belasan tahun) dengan popok bayi, daster butut atau tumpukan perkakas kotor di tempat cuci piring. Pengecualian jika situasinya berbeda semacam aku mengalami MBA atau apalah itu.

Tapi semuanya berubah total seratus delapan puluh derajat saat untuk pertama kalinya aku membawa pacarku ke acara perkumpulan keluarga dua tahun lalu. Aku masih ingat bagaimana ekspresi tante Rima saat itu. Saking terkesimanya menatap pacarku, beliau bahkan tidak mengatupkan mulutnya selama kurang lebih sepuluh detik.

Puas? Sudah pasti.

"Dokter Danika sudah mau pulang?" Aku baru saja menanggalkan snail-ku dan menggantungnya didekat lemari saat suster Mika, suster yang kerap kali menjadi asistenku masuk ke dalam ruangan.

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang