Bab 3 | Danika

281 13 0
                                    

Sama seperti kebanyakan orang, aku juga benci hari senin. Kalo bahasa sundanya i hate monday. Hari senin biasanya jadi salah satu hari tersibuk dalam sepekan.

Kalau mau jujur, aku sebenarnya lebih memilih bergelung di bawah selimut tartan kesayanganku ketimbang bangun lalu mandi air dingin. Tapi kesemuanya itu jelas tidak mungkin. Aku punya kewajiban dan tanggung jawab yang harus ku emban dengan sebaik-baiknya. Kata orang menjadi dokter itu menyenangkan, tapi nyatanya tidak juga. Sama seperti pekerjaan lain, menjadi dokter itu banyak suka dan dukanya. Tapi kalau kau mencintai apa pun profesimu dengan sepenuh hati, maka akan lebih banyak sukanya dibandingkan duka.

Aku sudah siap dengan atasan berupa kemeja siffon berwarna kuning pucat dan rok span hitam yang ujungnya menyentu lututku. Berdiri di depan cermin seringgi hampir 2.5 kaki, aku mematu ulang penampilanku, memeriksa kalau-kalau ada yang kurang rapi. Setelah kurasa pas, aku mengenakan wedges berwarna coklat lalu menyambar tas selempang yang kutaruh di atas meja rias. Menjadi dokter bukan berarti tidak bisa tampil fashionable, dong.

***

"Pagi ma, pa." Sapaku saat tiba dimeja makan. Mama tengah serius menuangkan segelas jus jeruk ke dalam gelas milik papa dan papa, beliau begitu asik membaca koran paginya.

Ah, pasti politik lagi. Yah, yah, yah. Papa selalu mengikuti perkembangan politik dalam negeri walaupun nyatanya dia adalah seorang pengusaha bukannya politikus. Aneh bukan? Yang terbaru, papa bahkan begitu antusias mengikuti perkembangan berita perseteruan terkait 'Dana Siluman' antara Gubernur Jakarta dan segelintir anggota dewan yang duduk di kursi DPRD.

Pandanganku kemudian jatuh pada kak Arga. Kakakku yang tampan itu terlihat sibuk sendiri dengan sarapannya. "Pagi Kak." Sapaku saat aku sudah berada persis di sampingnya. Tak berselang beberapa lama, satu kecupan dariku langsung mendarat mulus di pipi kiri kak Arga.

"Pagi." Balasnya tanpa basa-basi. Pelit bicara sekali kakakku ini. Pantas saja diusianya yang sudah menginjak 33 tahun dia belum juga menikah. Jangankan menikah, dia bahkan tidak perna membawa teman perempuannya ke rumah. Entalah hubungan asmarah seperti apa yang ia miliki. Hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.Tapi yang paling penting, semoga kakaku tidak mengalami kelainan pada orientasi seksualinya. Hanya membayangkan kakakku menjadi gay, sudah membuat bulu kudukku meremang.

"Ervan mana, ma?" tanyaku pada mama begitu aku duduk. Terang saja, aku belum melihat batang hidungnya sejak tadi. "Adikmu itu masih tidur. Sekolahnya libur. Ada rapat guru katanya." Ck anak itu.

Berbeda dengan kak Arga, Ervan itu casanova. Playboy lebih tepatnya. Dia selalu membawa anak perempuan berbeda tiap bulannya. Saat ditanya, dia dengan enteng menjawab kalau anak perempuan yang dia bawa ke rumah adalah pacar barunya. Mengganti pacar buat Ervan sama saja seperti mengganti celana dalam. Belum mendapatkan karma saja anak itu.

"Pulangnya jam berapa?" tanya papa.

"Kaya biasanya, Pa. Habis dari rumah sakit, Danika harus ke tempat praktek. Tapi pulang ke rumah dulu sih." Jawabku seraya mengoles selai kacang ke atas roti tawar yang kupegang. Papa hanya mengangguk. Beliau melihatku sebentar dari balik kaca mata minusnya, lalu kembali memusatkan penglihatannya pada koran pagi yang tengah dipegangnya. Papa telah kembali ke dunianya, saudara-saudara.

"Mama dengar dari bi Asih, kemarin katanya kamu ketemu sama ibu-ibu sosialita gitu pas di supermarket."

"Oh itu. Itu omnya Kinar, pasien Danika. Namanya bu Rianti, ma. Seumuran mama gitu. Emang iya sih, penampilannya kaya ibu-ibu sosialita. Tapi orangnya baik kok ma. Ramah lagi." Aku mulai menggigit rotiku secara perlahan.

"Kinar, bu Rianti? Kok kamu nggak perna cerita sama mama sih." Aku bisa menangkap sedikit nada protes dalam kalimat yang keluar dari mulut mama.

"Masa Danika harus ceritain semua pasien Danika sama mama. Ada-ada aja sih, ma." Aku menghentikan kalimatku sebentar menunggu sampai bi Asih mengisi penuh gelasku dengan jus, kemudian kembali buka suara. "Jadi gini, bu Rianti perna nganter cucunya -Kinar- ke tempat praktekku buat diperiksa. Kinar demam, ma. Biasa mau tumbuh gigi."

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang