Part 7

50 2 0
                                    

Lalu sampai giliran Vania bercerita.
Dia menatap keluar. Tatapannya kosong. Dia menarik nafas panjang.

Berawal dari 2 tahun lalu. Saat itu dia didekati oleh Aparat pria berpangkat tinggi yang sudah menduda. Seorang duda yang selama hidupnya tidak mempunyai anak karena takdir harus mereka dikaruniai seorang anak. Menurutnya, pria itu ganteng dan berwibawa. Vania terpikat. Ditambah dengan sikap pria itu yang sangat mengayomi Vania. Tidak hanya sebatas senior ke junior, tapi lebih ke ayah dan anak. Vania akhirnya luluh. Terlebih sedari SMP Vania sudah kehilangan kasih sayang seorang Ayah.
Dia bercerita bahwa kali itu dia benar benar merasakan sosok Ayah yang sebenarnya. Ayah yang mengayomi, yang selalu ada di sampingnya, sesuatu yang tidak bisa didapatkan dari Ayah kandungnya sendiri.

Kini dia merebahkan diri di sofa. Dengan menggunakan pahaku sebagai bantalnya. Dengan lembut aku mengelus elus rambutnya. Lalu dia melanjutkan ceritanya.

Long story short, mereka berkencan. Mereka backstreet. Tidak membiarkan seorang pun tahu. Niatnya, mereka akan mengejutkan rekan rekannya dengan langsung menggelar acara lamaran.
Pada suatu malam, mereka memutuskan untuk menginap di sebuah hotel. Niat awalnya hanya cuddling. Namun apadaya. Nafsu mereka liar, tidak bisa dikontrol. Vania nurut saja. Pikirnya ketika itu, dia akan dinikahi oleh seniornya ini.

Malam itu, Vania melepas keperawanannya.

Vania bercerita, malam itu tidak ada rasa penyesalan dalam dirinya. Yang ada hanya rasa nikmat, puas, dan makin mendalam perasaannya ke duda itu. Pada ronde pertama, mereka tidak melakukannya lama. Karena itu pertama kali untuk Vania, dia masih merasa kesakitan. Ketika sudah mereda, mereka melanjutkan kegiatannya lagi. Sampai beberapa ronde, bapak Aparat ini keceplosan. Dia menanam benih benih ke dalam tubuh Vania.

Awalnya Vania takut. Tapi karena tahu mereka akan menikah, rasa kaget dan takut itu menghilang. Setelah itu, Vania hanya menunggu gejala gejala kehamilan. Karena ketika dia sudah ada gejala hamil, maka dia akan minta segera dilamar.
Sehari, dua hari, seminggu, hingga akhirnya satu bulan. Tidak ada gejala gejala yang nampak. Vania keheranan. Tak menunggu lama, dia bercerita pada pria itu. Vania yang awam, serta pria yang tidak pernah mempunyai anak itu tidak menemukan jawaban. Hingga akhirnya mereka pergi ke dokter kandungan. Menutupi titel aparat yang tersemat, mereka mengaku bahwa mereka adalah ayah dan anak.

Setelah dokter selesai memeriksa, mereka akhirnya mendapat jawaban yang pasti.
Namun, hidup mereka tidak akan sama lagi.

Vania dinyatakan mandul.

Mereka lemas. Tak tahu harus bereaksi seperti apa. Vania hancur. Dia menangis sejadi jadinya. Kemungkinan kuat kegiatan fisik yang dilakukannya di markas menjadi alasan dibalik semua itu.

Pria itu berusaha menguatkan Vania. Meskipun dalam hatinya dia menangis. Mereka tetap bertekad untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.

Sebuah kabar buruk datang lagi bagi pasangan ini. Secara mendadak, pria ini ditugaskan ke luar pulau selama satu bulan. Pada perpisahan malam itu, Vania diberikan kenang kenangan. Sebuah cincin yang sangat indah. Dia berpesan untuk menjaga cincin itu. Cukup disimpan dan dijaga, tidak untuk dipakai terlebih dulu. Sampai dia kembali pulang dan melamarnya. Vania menjaga pesan tersebut. Cincin itu tidak pernah dipakai olehnya. Hanya disimpan dan dijaga.

Tepat seminggu setelah kepergian calon suaminya, markas Vania berkabung. Rombongan yang membawa pria itu mengalami kecelakaan parah. Aparat senior itu harus menyusul mantan istrinya di surga.

Vania makin kalut. Dia berusaha kuat. Dalam acara berkabung itu, dia hanya bersedih sekenanya. Menunjukkan bahwa dia hanya kehilangan kolega, tidak seseorang yang namanya sudah tertanam rapi di hatinya.

Cincin itu, cincin yang tidak pernah mempunyai jari untuk menempatkan dirinya, masih tersimpan rapi di dalam kotaknya. Selalu dibawa kemanapun Vania pergi.

“Ya gitu, Dhit. Jadi ya malem itu pertama kali dan terakhir aku main.” Suara Vania memberat
“2 tahun ya, Van. Emang selama itu kamu gak pernah deket sama yang lain?”
“Dhit, pilihanku sekarang cuman ada dua. Yang lebih tua dan yang bisa mengayomi. Sering, Dhit. Sering. Berapa kali aku deket sama cowok lain, tapi aku gak pernah dapet yang punya keduanya.”
“Hidup itu memang selalu ada pilihan ya, Van. Ada pilihan untuk move on, tapi kamu lebih milih sebaliknya. Jangan gitu, dong. Kamu harus bisa keluar dari lubang hitam itu.” Tanganku mengelus halus rambutnya.
“Kamu kenapa jadi puitis gitu?”
“Enggh. Eh? Haha.”
“Kamu tau gak sih, Dhit. Aku udah mulai lupain dia. Tapi malem itu, pertama kalinya kita tidur bareng lagi, aku langsung inget dia.” Pernyataan Vania mengagetkanku. “Pertama kali aku lihat dia, aku inget kamu, Dhit. Dia mirip banget sama kamu.”
“Lah perasaan setiap lebaran kita ketemu tapi kok kamu baru ingetnya sekarang?”
“Karena pas itu aku hanya liat kalian mirip di tampilan dan wajah aja. Pas itu aku belum ngerasain ‘sentuhan’ mu. Terus malem itu, kamu berusaha ngerebut gulingku. Sedikit banyak tanganmu nyentuh nyentuh badanku. Tau kenapa aku langsung narik tanganmu buat meluk? Itu karna. Karn-“

Tangis Vania meledak. Dia menangis di pahaku. Anak ini membuatku kebingungan lagi. Lagi lagi aku harus menenangkannya.

“Pas itu aku langsung inget dia, Dhit. Kejadiannya sama. Pertama kali aku main sama dia kondisinya sama kayak gitu. Tapi pas itu dia yang mulai.” Tangisnya makin menderu. Mukanya dibekapkan ke perutku.

Aku melamun. Pandangan kosongku mengarah ke luar taman. Sesaat aku bisa merasakan rasa rindu itu. Rindu yang teramat dalam membuatnya hampir kehilangan arah.

“Van, udah dong. Dia udah di surga. Kamu mau nangis sambil kayang ya dia gak bakal bisa balik. Udah ya, jangan nangis.” Pelukanku ke kepalanya makin erat. Dia hanya menangis sambil memeluk pinggangku.

Berbagai cara tak bisa menghentikan tangis sepupuku ini. Aku pasrah. Berdiam diri sambil mengelus elus rambutnya. Berharap hujan di sudut gelap matanya berhenti.

“You know I’ve seen a lot of what the world can do
And it’s breaking my heart in two
‘Cause I never want to see you sad girl
Don’t be a bad girl”

Sepenggal lirik lagu Wild World keluar dari mulutku. Sekarang tangis Vania sudah berhenti, tapi dia masih sesenggukan.
Dia menatapku. Matanya sayu. Terlihat kenangan kenangan indah bersama pria itu di ke dua matanya.

Sejenak bibir kami bertemu. Kami berciuman sebentar. Meskipun masih menunjukkan wajah sedih, kini Vania sudah tersenyum. Dan aku masih saja mengelus rambutnya.

Hingga akhirnya dia terlelap tidur. Kurasa ceritanya tadi menguras tenaganya. Kenangan indah dan pahit itu menyuruh dia untuk memejamkan matanya untuk beberapa saat.

Bidadari MimpikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang