Part 8

52 1 0
                                    

12.00

“Dhit? Dhito?”
“Iya apa, Van? Gak sekalian tidur sampe besok?”
“Kamu di mana?”
“Lah ini abis dari dapur.” Aku berjalan mendekati Vania dengan membawa segelas es kopi buatanku sendiri.

Aku menjatuhkan badanku di sofa. Vania langsung menyambutku dengan sebuah pelukan. Dia melingkarkan tangannya di perutku. Dia bermanja. Mukanya dibenamkan di perutku.

“Kenapa sih, Van?”
“Jalan yuk, Dhit. Atau gak nongkrong aja deh. Di tempat biasa kamu nongkrong.”
“Yaudah sana cuci muka.”
“Bentar”
“Ya terserah sih kalo mau berangkat nanti.” Aku menyeruput es dari gelasku.
“Iya, sih. Agak nanti aja deh, Dhit.”

Vania hanya memandangiku. Dia tersenyum. Senyumnya seakan mengisyaratkan sesuatu.
Aku tersentak dan sedikit menyemburkan minuman yang masih belum sampai di tenggorokan. Karena tanpa aba aba dia membuka bokserku, tanpa ada sedikitpun perlawanan dari ku.

“Van, orang orang tuh bangun tidur nyari minum. Ini kamu malah nyari adek.”
“Hihihihihi kan aku minum dari yang ini.”

Bokserku sudah terlepas. Adikku kini bebas.
Dia membangunkan adikku yang masih lemas. Dan bermain main dengannya hingga ia puas.

“Iiiih masih belum bangun. Lucu deh.” Vania mulai memijatnya. Membiarkan tangannya bergerak bebas naik dan ke bawah.
“Terserah kamu, Van.” Tanganku sudah berpindah ke rambutnya dan mulai mengelusnya.
“Adek, bangun, yuk. Tante mandiin.” Wanita cantik ini sudah tak jelas arahnya.

Adikku mulai mengeras. Tangan Vania mulai beringas.
Kecepatan tangannya tak beraturan. Sedang aku masih menahan segala kenikmatan.

“Van, Van. Bentar. Pake kacamata dong hehe.” Aku menghentikan Vania.
“Ngapain, Dhit?”
“Please, yaa? Nanti aku kasih tau.” Aku memelas.

Dia diam lalu berjalan menuju kamarku. Tak lama dia sudah kembali dengan kacamata yang sudah terpasang di wajahnya. Melihatnya, adikku makin terbangun.

“Duh, cantik banget sih.” Godaanku hanya dibalas dengan tatapan sinis.
“Dhit, basahin bibirku, dong.” Vania menatapku. Dia menawarkan bibirnya.

Tak perlu waktu lama bibir kami langsung bertemu.
Setelah cukup puas, bibirnya pun didekatkan ke adikku. Dikecupnya lembut. Tidak ada sedetik, adikku sudah berada di dalam mulutnya.

“Engh!” Gerakkan tiba tiba itu membuatku sedikit menjambak rambutnya.
“Ehnggg. Aaaaah. Bentar ya, Dhit.”
“Terserah, Van. Mau sampe besok juga gapapa.”

Vania melanjutkan aktifitasnya. Tangan kiriku masih mengelus elus rambutnya. Sedang tangan kananku mulai meraba raba punggungnya. Aku ingin bermain dengan bola bola kesayanganku.
Tapi belum sampai aku menyentuhnya, tangan Vania langsung menepisnya.

“Tangannya bisa diem, gak?” Dia setengah membentakku. Matanya melotot. Aku tak berkutik.

Meskipun dalam tempo yang tak beraturan, tapi kelembutan dan kehangatan rongga mulut itu membuat adikku nyaman.
Vania kadang bergerak cepat, kadang lambat, kadang mendiamkan mulutnya. Selamat lima menit dia melakukan kegiatannya. Dalam lima menit itu juga aku merasakan kenikmatan sesaat.

“Emmmmm. Sluuurp. Aaaah. Engnggggggg.”

Dengan menambah suara erangan, secara tak sadar Vania mempercepat aku ejakulasi.

“Van. Aaahhhhh. Aku keluarin, ya.”
“Hee ngh. Eehhh.”

Aku melepas adikku dari mulutnya dan mengarahkannya ke wajah Vania.

*crot*

Wajah seksi Vania kini kotor dengan spermaku. Beberapa masih menempel di kacamatanya.
Nafasku masih tak teratur, tapi lega. Karena akhirnya aku ada kesempatan untuk mengotori wajah berkacamata seorang perempuan dengan spermaku.
Vania mencari cari tisu lalu membersihkan wajahnya. Setelah dirasa bersih, dia duduk di sampingku.

“Aku cuci muka aja, ya. Gausah mandi. Kelamaan.”
“Iyaudah terserah.”

Aku beranjak dari sofa dan berjalan ke kamarku untuk bersiap siap. Tak perlu menunggu Vania selesai, aku langsung mempersiapkan mobilku.

12.30

Kami sudah berada di dalam mobil. Kali ini Vania memakai legging hitamnya yang ketat, tanktop hitam, yang akan menunjukkan belahan dadanya ketika dia menunduk, dan cardigan.
Lalu satu hal yang paling aku senangi: Kacamata. Di mataku, hari ini Vania nampak lebih sexy.

“Van, there is something you have to know”
“What?”
“Fetishku itu cewek berkaca mata. Aku bakal gampang turn on kalo liat cewe berkaca mata.”
Vania menatapku keheranan, “Ah, itu dasarnya kamu gampang turn on aja.”
“Kamu juga godain terus.” Godaku dengan tiba tiba meremas payudaranya.
“UDAH FOKUS NYETIR!” Lagi lagi dia membentakku. Membuat aku kehilangan fokus untuk sesaat.

13.00

Kami sampai di sebuah café kecil di kotaku. Tempat untuk mencurahkan semua isi kepalaku. Dari ide ide pekerjaan, ide ide pembuatan lagu, tempat untuk menjadi penenang, serta tempat untuk ku mengadakan “reuni” dadakan dengan teman teman SMA ku. Terlebih lagi, pemilik café ini adalah Olive, seorang wanita imut, teman SMA ku sendiri, serta fuck buddy ku ketika jaman kuliah dulu.

Aku langsung mengajak Vania untuk memesan terlebih dahulu. Penjaga kasir yang sedang berjaga hari ini seorang pria muda normal. Darimana aku bisa tahu dia pria normal?
Karena dia tidak berkedip ketika Vania mendekati meja kasir. Dia masih tak bergerak meskipun aku dan Vania sudah di depannya.
Memang tak bisa dipungkiri. Pesona kecantikan Vania bisa membuat semua orang kehilangan fokusnya untuk sesaat.

“Mas?” Sapaanku mengembalikan pikirannya yang sempat hilang.
“Eh. Enggg. Iya, mas, mbak. Mau pesan apa?” Dia sekarang jadi salah tingkah.
“Van, pesen duluan.”

Aku mengamati gerak gerik dan mata anak ini ini. Dia keliatan gugup. Tapi, matanya, matanya tidak bisa berhenti melihat ke arah Vania.

Saat ini Vania sedang memesan. Untuk memilih pesanan, dia harus menunduk agar bisa membaca menu makanan yang sudah tertempel rapi di meja. Ditambah meja itu tidak terlalu tinggi.
Dengan sangat yakin, aku berasumsi bahwa pegawai ini sedang memperhatikan belahan dada Vania.
Vania tidak sadar, bahwa ada sepasang bola mata yang memperhatikan harta karunnya yang terpendam.

Sebagai sesama pria, aku paham bahwa anak ini tidak mau melewatkan rezeki yang berada di depan matanya. Tapi aku tak bisa tinggal diam.

“Eh, si Olive udah dateng?”
“Enggh. Itu, mbak Olive datengnya nanti sore.” Pertanyaan singkatku mengagetkannya.
Kulihat Vania sudah berdiri tegak kembali. Menyembunyikan lagi harta karunnya.

“Udah pesennya, Van?”
“Udah, Dhit.”

Café ini cukup ramai. Mengingat hari ini Minggu, dan besok masih tanggal merah. Kendati demikian, tidak sulit bagiku menemukan kursi bagi kami. Ada satu tempat yang masih kosong di balik rak buku di sudut café. Kulihat di sekitarnya banyak anak anak usia sekolah.

“Eh, btw tadi papa mama ngechat, Dhit. Katanya besok pagi mereka landing jam 6 pagi, trus langsung ke rumahmu.”
“Oh, yaudah syukur deh. Gak ada yang ngerepotin aku lagi.”
“Gak ada yang ngerepotin kamu atau gak ada yang ngerepotin adekmu hah?” Seketika perutku dicubit.
“Aduh, dua duanya!”

Kami melanjutkan obrolan kami. Obrolan obrolan tak penting, tapi sangat berarti. Dari obrolan ini kami bisa mengenal satu sama lain. Meskipun kami sudah kenal dari lama, tapi ketika beranjak dewasa kami sudah jarang bertemu.
Aku berusaha keras untuk tidak membahas kehidupannya ketika bertugas. Aku membiarkan Vania sendiri yang bercerita.

Bidadari MimpikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang