Prolog

16 3 0
                                    

Perempuan tua dengan garis kecantikan yang masih jelas tergambar di wajahnya duduk menikmati pemandangan senja di resort Pulau Bidadari --- salah satu kepulauan seribu yang paling indah, dengan desain seperti perkampungan nelayan Minahasa, Sulawesi Utara yang mengapung di atas laut.

Angin senja menyapa tubuh perempuan tua itu, dengan sentuhan yang mampu membuat tubuhnya merinding tatkala angin berembus dan menari melewati tengkuk tuanya. Menarik phasmina dengan motif batik, mentupi leher dan tubuhnya.

Sayang, kamu masih di sini? sapa suara bariton dari laki-laki tua yang masih terlihat gagah dan garis ketampanan yang sempurna. Melingkarkan tangan pada tubuh perempuan tua yang selalu ia cintai sekadar memberikan kehangatan dengan ungkapan cinta yang selalu tersirat.

Perempuan tua itu hanya tersenyum, memberikan kecupan pada pipi lelaki yang selalu ada untuknya sebelum ia menyandarkan kepalanya pada dada bidang pemberi ketenangan.

Aku selalu suka pemandangan senja, siluet yang diberikan cahaya surya mengingatkanku akan bayangan diri kita, Yang. Kamu tahu itu, kan?

Kali ini laki-laki tua hanya tersenyum, semakin mengeratkan pelukannya seakan takut ditinggal pergi belahan jiwanya yang telah mengisi hari-hari selama hampir setengah hidupnya. Melepaskan apa yang seharusnya bisa perempuan tua itu miliki sewaktu muda, untuk mengabdi penuh pada biduk rumah tangga yang belum tentu bisa memberikan kebahagiaan utuh padanya.

Lelaki tua itu tidak tahu apa yang ada dibenak kekasih hatinya. Dengan senyum yang mengembang, tiada sedikit pun perempuan tua itu lupa. Begitu indah cara lelaki yang berada di sampingnya ini tersenyum, tertawa, bicara. Bagi perempuan tua itu, lelakinya adalah suami yang sempurna, seorang suami yang penuh cinta dan kehangatan. Seorang papa yang sangat dicintai dan dihormati anak-anaknya. Empat puluh tahun hidup bersama kekasih hatinya dengan penuh perjuangan dibalik bayang-bayang kisah lalu. Namun, bukan cinta jika tidak ada perjuangan dan rasa yang sama untuk melewati itu semua. Sosok lelaki yang tangguh, pekerja keras, ulet dan taat beribadah di tengah kesibukannya yang luar biasa. Ada semburat merah di wajah perempuan itu ketika mengingat betapa naifnya ia dulu.

Pasangan itu pun memilih duduk sambil menikmati matahari yang mulai turun perlahan. Sesekali menyesap coklat hangat kesukaan mereka. Pandangan penuh cinta terpancar dari mata tua mereka ketika beradu. Ciuman dalam yang tetap bergairah pun sesekali mereka lakukan, tak peduli beberapa mata mencibir entah iri atau tidak suka pada kelakuan mereka.

Cinta mereka abadi. Mengisahkan sejarah pada masanya untuk diri mereka sendiri, sahabat dan anak-anaknya. Sebuah persahabatan yang berakhir pada pernikahan bukan hal yang mudah sebagaimana orang membalikkan tangan. Namun, mereka menunjukkan pada dunia bahwa mereka mampu melakukannya, melewati rintangan besar di depan mata. Mempertaruhkan semuanya untuk keutuhan janji yang terpatri.

Aku mencintaimu, Mas. Akan selalu mencintaimu. Bahkan sampai matahari yang di depan sana terbenam atau tak akan muncul kembali, aku akan tetap mencintaimu, bisik perempuan tua itu lembut. Menyesap lembut bibir lelaki tua dengan penuh gairah.

I love you too, Darl. Love you much more than you love me. Terima kasih atas segala cinta dan pengorbananmu sampai detik ini, Hanum.

Tidak, Mas. Aku yang lebih berterima kasih padamu, atas segala pengertianmu. Menunjukkan arah jalan aku kembali dan sungguh, menepati janji yang aku sendiri lupa akan hal itu.

Mata tua mereka kembali beradu, memancarkan cinta yang begitu besar dan dalam. Melekatkan bibir tua, menyatukan hati dan pikiran dalam sebuah siluet yang terbentuk dari pantulan matahari senja. Siluet itu pada akhirnya menghilang seiring tenggelamnya matahari.

The ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang