“Num, Bah! Aku paling tak suka lihat wajah perempuan seperti kau sekarang,” gerutu Togar saat mengendarai mobil melirik Hanum dari kaca spion. Tidak menyadari mata sipit Kayla melotot indah ke arahnya, memberi isyarat untuk diam.“Kita tengok itu bunda Rasya di penjara dan kita korek habis informasi di mana pejantan itu pergi. Jangan kau putus asa, Num, seperti pepatah emmm … apa itu aku lupa-lupa dikit,” seloroh Togar sembari mengedipkan sebelah matanya ke arah Kayla membuat mata gadis itu semakin melebar seperti hendak keluar.
“Banyak jalan menuju Roma, maksudmu, Togar!” jawab Kayla ketus menahan kesal ingin memukul lelaki di belakang kemudi itu.
“Nah, iya, itu yang ku maksud, pintar kali kiranya teman kau ini, Num. Bagaimana? Kalau kau setuju, kita cabut ke sana.”
Hanum semakin erat memeluk Kayla, tangisnya pecahmewakili suasana hati yang kalut penuh dengan sesak yang tidak tertumpahkan.
Togar berdeham, menarik napas panjang, mengacak rambut hitam ikalnya, dan mencoba tenang melajukan mobil civic Kayla. Memakai kaca mata hitam bukan karena silau, hatinya pun tidak tega melihat keadaan Hanum saat ini.
Kayla yang sedari tadi menahan agar air matanya tidak jatuh untuk menguatkan Hanum, menyerah. Membalas pelukan erat Hanum dengan lebih erat. Merasakan betapa hancur hati sahabatnya itu. Membiarkan Hanum menangis hingga lelah dan tertidur.“Togar, kita balik kampus. Biarkan Hanum tenang dulu, nanti kita bicarakan Langkah selanjutnya,” perintah Kayla setengah berbisik takut Hanum terbangun. Togar hanya memberi isyarat dengan menyatukan jari tengah dengan telunjuk.
***
Hanum mengeliat, membuka matanya perlahan, dan mencoba mengingat semua kejadian hari ini. Buliran bening itu kembali keluar dari sudut mata bulat indahnya yang kini sembab tiada cahaya. Mengusap lembut pelipisnya kemudian berangsur duduk di jok belakang mendapati dua orang sahabatnya sedang duduk di atas kap mobil menikmati air mineral dan roti yang entah mereka dapat dari mana. Hanum tersenyum melihat mereka, teringat bagaimana tingkah Togar maupun Kayla seperti Tom dan Jerry film kartun yang menjadi salah satu kesukaannya. Perlahan Hanum membuka pintu, serempak Togar dan Kayla memanggil namanya.
“Hai, maafkan aku ya, jadi merepotkan kalian dan ….”
“Tidak, Num, kami senang bisa membantu kamu, kok. Iya, kan, Batak?”
“Bah! Cam mana pula kau ini panggil aku dengan suku. Aku punya nama, Togar … Togar Hasibuan. Panggil aku Togar, bukan Batak, Nenek Lampir!” protes Togar dengan mulut yang masih sibuk mengunyah roti membuat Hanum menahan tawa.
“Apa, kamu bilang? Nenek Lampir? Aku juga punya nama, Batak! Kayla … Mikayla Sastra Soecipto, catat itu!” seloroh Kayla kesal akan panggilan yang selalu Togar sematkan untuknya. Kali ini berhasil membuat Hanum tertawa lepas, tetapi tidak dengan Kayla, sahabatnya itu masih kesal dan terdengar beberapa kali mencebik.
“Sudah, sudah, kalian itu persis Tom dan Jerry. Togar, kamu serius mau antar aku ke tempat bunda Anti?”
“Aku serius, Num, aku juga pengin tahu kemana Rasya itu pergi.”
“Oke, besok kita ketemu di kantin, bicara lanjut semuanya. Sekarang sudah sore, kita pulang dulu. Sekali lagi, makasih untuk kalian,” ucap Hanum dengan senyum menghiasi bibir mungilnya.
***
Langkah Hanum terhenti, sekadar memandangi rumah megah di mana ia tinggal selama ini. Rumah yang jauh dari kehangatan. Papa dan mama sibuk dengan bisnis yang mereka bangun sehingga melupakan tugas utama sebagai orang tua. Mengembuskan napas dengan kasar dan melangkah gontai menuju teras.
“Hanum,” sapa suara yang tidak asing di telinganya. Terkesiap dan matanya menuju ke arah suara itu berada. Kakinya tertahan di anak tangga terakhir. Suara yang dulu kedatangannya selalu bisa membuat ia senang di tengah sepi yang ia rasakan di rumah ini. Namun, tidak sekarang, Hanum membencinya. Mata sembab Hanum kembali berkaca, bergegas menuju pintu ingin menghindari lelaki itu.
“Hanum, tunggu dulu, dengarkan aku! Sama sepertimu, Num, aku pun terkejut mendengar permintaan papi dan mamiku.”
“Lantas kamu menerima begitu saja, Van? Kamu tahu bagaimana aku dengan Rasya, ‘kan?” sergah Hanum penuh amarah. Matanya tajam menatap penuh kebencian pada Devan kemudian berlalu meninggalkan Devan, tetapi tangan kokoh Devan menahan jemari Hanum lembut. Ada getar halus di dada Hanum, dahinya mengernyit.
“Damn! Apa lagi ini?” gumam Hanum dalam hati.
“Apakah kamu juga menolak permintaan mereka, Num? tolong jawab aku,” ucap Devan lembut. Hanum hanya bisa menggeleng pelan, meremas erat jemari Devan dan membenamkan diri dalam pelukannya.
“Mengapa kita, Van …. Mengapa?” tanya Hanum tergugu. Devan ragu untuk memeluk Hanum, walau ingin seperti biasa yang ia lakukan setiap Hanum bermanja padanya. Hanya bahu Devan mengendik kemudian membiarkan Hanum menumpahkan semua gundahnya dalam tangisan.
“Kalau boleh aku jujur, Num, sungguh aku cemburu pada Rasya selama ini. Mampu merebut hati dan cintamu. Apa dayaku sebagai seorang yang kamu anggap sebagai sahabat. Apa ini takdir? Aku pun tidak tahu,” gumam Devan dalam hati. Kali ini ia beranikan diri untuk memeluk Hanum walau terlihat kaku.
***
Hanum menceritakan semua dari awal penolakan pinangan Rasya. Devan mendengarkan tanpa menjeda sedikit pun. Seperti biasa, di ayunan teras Hanum tumpahkan segalanya pada Devan sejak mereka masih kecil. Tidak ada yang mereka tutupi kecuali saat Devan menyadari dirinya jatuh hati pada sahabatnya itu. Entah mulai kapan rasa itu tumbuh, Devan sendiri tidak tahu.
“Jadi besok kamu akan menemui bundanya Rasya di bui, Num?” tanya Devan perlahan. Gemuruh dalam dadanya semakin bergejolak. Namun, ia harus menekannya seperti biasa.
Hanum mengangguk, kemudian mengangkat kepalanya dari bahu Devan. Menatap lekat wajah sahabat dari kecil itu, entah apa yang Hanum cari. Hatinya tidak bisa ingkar, desiran halus semakin menyapa relung hati dan selalu ia pungkiri. Devan membalas tatapan Hanum, tersenyum menutupi degupan jantung yang bertabuh tak beraturan.
“Van, kita tidak bisa menolak perjodohan ini,” ucap Hanum bersemu merah pipinya membuat Devan tersentak mendengarnya. Berusaha tenang walau banyak pertanyaan dalam hatinya.
“Ijinkan aku mencari Rasya, Van. Aku ingin meminta maaf padanya, pada ayah dan bunda atas sikap papa mama kemarin. Aku ingin belajar membuka hati untukmu. Mungkin ini yang terbaik.”
“Num, kita bisa menolak keinginan orang tua kita. Ungkapkan semuanya berdua di hadapan mereka. Aku tidak ingin perempuan yang menjadi istriku mencinta dengan setengah hati,” ujar Devan bijak.
Hanum menggeleng dengan senyuman hambar tersungging dari sudut bibirnya lalu berkata, “Kamu seperti tidak mengenal papa mamaku, Van. Usaha yang sia-sia.”
Kembali Hanum menyandarkan kepanya pada bahu Devan, napasnya berat terlihat jelas saat Hanum mengembuskan dengan kasar. Devan merengkuh kepala sahabatnya itu sekadar memberi kekuatan padanya.
“Aku janji, Van, hanya sekadar meminta maaf pada Rasya dan keluarganya. Setelah itu, aku akan melepas semua tentang Rasya dan belajar mencintaimu,” bisik Hanum sebelum semua menjadi senyap.
Devan mengenal watak Hanum, menyimpan gejolak api cemburu dalam hatinya. Percaya akan apa yang Hanum ungkapkan tanpa sedikit pun ragu. Berjanji dalam hati, membantu Hanum menemukan Rasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shadow
RomanceHanum Rahayu Soetopo, berdiri di antara puing cinta masa lalu yang semu dan sebuah kepastian cinta yang ditawarkan Yudhistira Devan Sasongko. Mencintai bukan hanya tentang kata, tapi juga perbuatan. Yang tulus akan tetap tinggal, sementara yang tida...