Blindfolded

19 4 3
                                    

"Dalam hitungan ketiga, kau bisa bangun dan membuka mata. Satu … dua … tiga."

Pemuda itu terbangun dari tidurnya. Lagi-lagi, ia berada di tempat yang asing. 

"Apa itu tadi?" Ia mengingat-ingat ucapan orang asing yang seakan mempersilakan dirinya untuk sadar. Sesaat ia termenung, sebelum mulai memperhatikan setiap jengkal bagian tubuhnya. Tangan, badan, dan tempat-tempat lain. Lalu, ia berjalan dan mencari cermin. 

"Sial. Apa aku masih bermimpi?" keluhnya lagi sambil memperhatikan cermin yang ia temukan di salah satu sisi ruangan. Ia pun mencubit pipi. Namun, pemuda jangkung itu segera mengaduh dan mengusap-usapnya. 

"Bukan mimpi? Beneran?"

"Ini terlalu aneh untuk dianggap sebagai kenyataan."

Plak!

Kembali, ia mengusap pipi kanannya. "Sakit!"

Ia perhatikan lagi pantulan cermin yang ada di depannya. Jelas-jelas ini bukan wajahnya.

"Ia menunjuk dirinya sendiri, dan berkata "Aku, Jinu." Kemudian, ia menunjuk ke arah kaca. "Dia, Ahngyeol."

"Mau dipikir bagaimanapun, aku tetap tidak bisa mempercayai ini." Ia mengacak rambutnya. 

Ia akhirnya mulai memandangi sekeliling. Menyadari matanya yang terasa rabun, ia mengangguk. "Ini mata Ahngyeol. Baiklah, satu hal lagi."

Ia berjalan menuju kamar mandi sekaligus toilet yang kebetulan ada di ruangan itu. "Dipikir-pikir, kamar ini benar-benar luas." Pemuda itu berucap sambil menutup pintu.

"Waaaa!!"

Pintu terbuka dengan kasar, lalu kepala pemuda itu menyembul di baliknya. Tampak ekspresi panik di wajahnya. "Ini sungguhan?"

"Ini benar-benar tubuh Ahngyeol!"

Tak lama, aktivitas pemuda itu terhenti karena suara kode akses dan ketukan pintu. Seorang laki-laki berpakaian formal muncul diiringi beberapa pelayan dan seorang dokter.

Diantara rombongan itu, tentu ia mengenal lelaki yang berjalan paling depan. Itu adalah ayah dari Ahngyeol, sahabatnya. 

"Tuan muda," sapa salah satu pelayan sambil memberi isyarat untuk meminta pemuda yang masih kebingungan itu duduk ke kasurnya.

Ia hanya bisa menurut ketika sang dokter melakukan pemeriksaan yang tidak terlalu ia mengerti. Setelah itu, ia memberanikan diri untuk bertanya. 

"Permisi … bolehkah saya bertanya?"

Sepersekian detik suasana hening. Beberapa pelayan menoleh ragu ke arah tuannya.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" sahut tuan Ahn, akhirnya.

"Kenapa saya bisa ada di sini?"

"Karena ini rumahmu." Tuan Ahn menjawab, mantap.

"Tidak … ini bukan tempatku." 

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Anda mengenalku? Sejujurnya, kita belum pernah bertemu sebelumnya."

"Kau–" ucapan tuan Ahn terhenti, karena tubuhnya tiba-tiba goyah. Tak menjawab pertanyaan sebelumnya, ia justru meraih tangan dokter. "Dokter, apa yang terjadi padanya?" tanyanya dengan suara bergetar. 

Anak yang dimaksud hanya diam, tidak tahu harus merespon seperti apa kejadian di depannya. Meskipun ia tahu mungkin dirinya adalah penyebabnya.

Tuan Ahn dibawa keluar untuk beristirahat di ruangannya. Sedangkan dokter dan dua orang berjas yang penampilannya sama seperti pria-pria semalam, tetap di kamar itu.

"Apa kau ingat siapa namamu?" Dokter bertanya.

Remaja itu mengangguk. "Aku ingat semua hal tentang diriku."

"Namamu …." pancing sang dokter.

"Hwang Jinu."

Dahi semua orang yang mendengar mulai berkerut, selain pemuda yang mengaku bernama Jinu, itu. Saling berpandangan satu sama lain sebelum selanjutnya memandangi remaja itu dengan tatapan prihatin.

Dokter itu mengusap wajah. Rautnya terlihat panik. "Aku mengerti."

Kemudian, tanpa pamit atau apapun, lelaki itu mendorong yang lainnya untuk keluar dari ruangan itu. 

"Aneh, bukan? Aku tidak tahu mengapa aku ada di tubuh Ahngyeol, sekarang. Yang pasti, aku Jinu. Aku teman sekolah Gyeol. Dokter … apakah kau bisa membantuku? Aku tahu ini aneh, tapi aku bersungguh-sungguh!" Remaja itu mencoba menjelaskan setelah dokter kembali, seorang diri.

"Dengar. Kau … adalah Ahngyeol. Kau adalah anak semata wayang CEO HL Group. Kau bukan Hwang Jinu atau siapapun itu."

"Tapi kenyataannya begini! Aku adalah Hwang Jinu." 

"Aku akan menjadwalkan terapi lagi, untukmu. Setelah itu, jika kau masih menganggap dirimu Hwang Jinu, aku akan percaya kepadamu. Sampai saat itu tiba, kau harus menerima kenyataan bahwa kau adalah Ahngyeol." 

"Tapi–"

Dengan cepat dokter itu meraih pundak pasiennya. Dua pasang mata bertatapan intens. "Anggap saja kau sedang bermain peran. Dan peranmu kali ini adalah Ahngyeol. Ahngyeol, Ahngyeol, Ahngyeol." Kalimat dokter itu terdengar seperti sebuah paksaan.

Pemuda itu menelan ludah dengan tekanan yang ia hadapi saat ini. Baiklah, mulai sekarang ia adalah Jin-Gyeol. Ia tidak bisa menganggap dirinya sendiri sebagai Gyeol, sedangkan ia juga tidak bisa menganggap dirinya Jinu karena secara fisik, ia bukan.

Jin-Gyeol merasakan krisis identitas yang tidak bisa ia kendalikan. Sebenarnya dia adalah siapa? Bahkan ia juga masih bertanya-tanya apakah ini memang kehidupan nyata. Selama berhari-hari ia dikurung, selama itu pula ia masih berusaha memahami kondisinya saat ini. Namun, hasilnya nihil. Hingga malam ini ketika ia tertidur, ia mulai bermimpi aneh.

Ia, -jinu, berjalan di ruangan yang seakan tanpa batas dan tanpa dinding. Begitu gelap, namun anehnya ia bisa melihat dirinya sendirian saat ini.

"Ahngyeol! Kau di sini?" panggilnya. Suaranya bergema. Tak lama, terdengar jawaban dari kejauhan. 

"Iya ... kau mengenalku?"

"Kau ada di mana?" tanya Jinu dengan berteriak. 

"Aku ada di sini."

"Di sini." 

"Di sini."

"Di sini

"..."

Jawaban yang sama muncul dari segala arah, memenuhi ruangan itu. Jinu terus memutar tubuhnya ke sana kemari, mencari keberadaan suara sahabatnya yang sebenarnya. 

Setitik cahaya yang terlihat begitu kecil dan samar, menarik perhatian pemuda itu. Ia berjalan dengan berhati-hati dan mendekatinya. Semakin dekat, semakin jelas bahwa itu adalah kepingan fluorescent berbentuk bintang berwarna pendar hijau neon.

"Ini sama seperti yang ada di kamar Nina. Kami memasangnya bersama, saat itu." 

Sesaat kemudian, dengungan suara muncul memenuhi ruangan dan isi kepala Jinu. Pemuda itu meringkuk dan menutup telinganya rapat-rapat. Meski begitu, suara itu tidak mereda. Bahkah sepertinya mulai mempengaruhi pandangan matanya. Dengan cepat, sebuah visual muncul di pikiran Jinu. Kenangan yang entah milik siapa, yang membuat mimpinya kali ini akan terasa panjang, dan melelahkan.

910 kata

bougenvilleap_bekasi
_queennzaaa
Lyviajkm
Silvaqueen__

Segitiga Pe(r)mudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang