Bab 1 = Bertemu di Cafe

201 48 8
                                    

Cora Darcy
{location at hospital}

Vikcy kalau sakit pasti minta yang aneh-aneh. Dimulai dari minta makanan pedas sampai ingin memakan eskrim mint choco. Aku menolak permintaan Vicky bukan karena dia sedang sakit tetapi karena dia meminta makanan yang buat dirinya sakit.

"Gak boleh makan pedas, gak ada mie, gak ada lagi junk food sebelum kamu sehat," ujarku yang lagi melipatkan kedua tanganku di bawah dada. Vicky cemberut mendengarnya. "Yaudah kalau gitu aku telpon Bang Asa bawain burger king,"

"Gak boleh ribetin adek tingkat ku, dia bukan siapa-siapa kita," jelasku. Aku dan Asa berteman karena kami satu divisi klub debat. Karena aku (dengan jujur kubilang) ini kurang ajar, biasanya aku menyuruh Asa buat mengambil buku-buku untuk jadi bahan referensi kami. Makanya Vicky merasa Asa itu bisa diandalkan.

Tapi masalahnya aku tidak akan meminta bantuan Asa dalam situasi seperti ini. Asa jadi pembantu disaat terpenting saja. Kalau masalah begini, aku masih bisa mengatasinya.

"Selain junk food coba, atau mau aku ambilkan makanan di cafe rumah sakit? Pasti dijamin empat sehat lima sempurna, kamu disini aja nonton teserah yang jelas aku bakal balik ngambil makanan," mendengar ajuan dariku, Vicky berpikir  lagi. Adikku ini tidak suka kesepian, apalagi dia sekarang sedang tidak bisa melihat ponsel karena perutnya masih tidak nyaman (meskipun tidak ada hubungannya).

"Boleh telpon Bang Asa?"

Huh, dasar Vicky gadis remaja yang suka sama adik tingkatku yang ganteng.

"Aku suruh Asa ke sini tapi ingat, jangan suruh Asa yang berlebihan ya. Dia bukan babu,"

"Iya kakak ku sayang, makasih karena udah ambil makanan," senyumnya kepadaku membuat diriku yang lebih tua ini keluar dari kamar inap Vicky. Aku turun melalui lift menuju cafe yang aku ceritakan kepada Vicky.

Tidak mungkin kan cafe rumah sakit diisi dengan makanan yang tidak sehat?

Aku masuk ke dalam cafe mencari makanan yang bisa dimakan Vicky dan tidak lupa juga buat diriku karena waktu Aku melihat makanan, perutku langsung berbunyi. Untung saja aku menyuruh Asa untuk menemani Vicky karena jujur aku  ingin makan di cafe ini meskipun sebentar saja.

Ku ambil tiga roti buat Vicky dan dua roti buatku. Aku membayar roti ini ke kasir sembari memesan teh panas untuk kuseduh di tempat dudukku nanti. Setelah memesan minuman, aku mencari tempat duduk yang kebetulan ada seorang lelaki di sebrang sana.

Aku heran melihat lelaki yang sedang membaca koran, ya semua orang pasti sudah membaca berita melalui ponsel dan yang lain-lain oleh sebab itu penjualan koran udah tidak sepopuler dulu lagi. Tapi lelaki ini tetap membuka halaman koran satu persatu yang artinya dia tidak main-main membaca korannya.

"Permisi," ucapku pelan. Sebenarnya aku tidak berani menyapanya tapi karena aku penasaran, gerakan ku ini berjalan lancar. Lelaki yang sedang baca koran (lelaki yang kumaksud) menoleh ke arahku. Aku terkejut melihat aura lelaki dengan balutan jas coklat melihat ke arahku dengan tatapan kosong.

Seketika aku tidak berani bertanya tapi sudah terlanjur memanggilnya.

"Itu koran lama atau baru?" tanyaku random.

"Koran baru," jawab lelaki tersebut. Nadanya tidak cuek dan juga tidak ramah. Tapi untuk menjawab pertanyaan dari orang asing, Aku bisa mentoleransi nadanya menjawab pertanyaanku.

"Ooh, biasanya orang baca berita udah di hp tapi kamu di koran, padahal tulisan koran kecil tapi kamu tetap baca ya," ucapku. Lelaki itu menyeringai sembari melihat korannya. "Aku lebih milih beli buku dibanding baca di web, mau duduk bareng?" jawabnya sembari mengajakku untuk duduk satu meja dengannya.

SEVEN 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang