1. mantan calon mertua

30 5 1
                                    

Sama seperti hari-hari kemarin, cuaca nampak mendung menggelap yang pekat. Awan hitam kembali menyelimuti kota Jakarta, yang lantas siap menumpahkan semua isinya.

Pukul tujuh pagi Nandarmaga sudah terjebak macet di tengah jalan bersama Bang Adil--tetangganya yang menjadi ojeknya untuk pergi ke kampus pagi ini.
Bau-bau asap kendaraan dan bisingnya jalanan sebab pengendara yang sedikit tak sabar melaju, berhasil membuat anak itu merengut kesal. Tak cukup sampai situ, sebab ketika ia melihat jauh ke depan, ia mendapatkan padatnya kendaraan memenuhi jalanan raya. Semakin membuat ia dongkol bukan kepalang.
Namun ada yang patut disyukuri, yaitu cuaca mendung dan udara yang sejuk menyelimuti kota itu. Harus disyukuri! Sebab ia tidak harus merasakan panas. Ya walaupun panas pagi, tetep aja Maga gak suka.

Ditengah bisingnya suara kendaraan dan klakson itu tak mengindahkan Maga menikmati perasaan yang mengganjalnya sejak semalam. Pikirannya jauh melayang entah kemana. Meninggalkan sebuah pertanyaan besar di kepala Bang Adil, sebab bocah yang banyak tingkahnya itu kebanyakan diam hari ini, tidak seperti biasanya yang begitu absurd dan membuat dongkol setiap orang. Seperti sekarang, dari kaca spion, Mas Adil dapat leluasa melihat bocah freak itu melamun, matanya sayu seperti tak ada jiwa yang menyertainya.

Tumben, apa sakit ya?

Masa sih sakit? Biasanya juga kayak reog.

Atau kesurupan?

Mas Adil lantas menggeleng kuat-kuat membuang pertanyaan konyol yang begitu konyol. Lalu tak lama kemudian ia menggeser kaca spion agar tidak menampakkan wajah Maga lagi, lantas beralih menunggu macet yang entah sampai kapan mereda, sejenak melupakan Maga yang membuat ia merinding.

Sedangkan Maga, kepalanya penuh dengan kalimat-kalimat tanya sejak semalam.
Semua rentetan kejadian kemarin sore masih saja menguasai ruang kepalanya. Padahal, Maga sudah lelah mencari kesibukan hanya untuk melupakan keping-keping ingatan itu walau hanya untuk waktu yang sesaat. Namun alih-alih hilang dan lupa, kejadian kemarin sore semakin mendekapnya dan kian menyatu pada ingatannya. Sebuah ingatan yang menyiksanya yang kemudian berhasil membuat ia menjadi seperti sekarang ini alih-alih menikmati pagi hari yang segar seperti seharusnya.

Hembusan angin pagi kembali menerpa wajahnya, rasanya dingin namun kembali hangat saat kenangan bersama Sabitah kembali teringat.
Saat-saat dimana sebuah kebahagiaan masih berada pada lingkup mereka berdua, tanpa ada sebuah masalah yang melirik mereka berdua.

Miris.

Sejujurnya ia belum begitu rela melepaskan Sabitah dari sisinya. Masih begitu banyak yang harus ia katakan pada sang kekasih, masih begitu banyak yang harus ia datangi bersama sang kekasih, dan masih begitu banyak yang harus ia tata rapi guna mencapai sebuah hubungan yang sempurna. Namun sayang, angan itu hanya sebatas angan saat Ibu sang kekasih datang padanya dan tersenyum terang padanya.

Tepat satu bulan lalu, Ibu Sabitah menemui dan mendatanginya. Maga kira, Ibu Sabitah hanya akan menitipkan anaknya pada dirinya dan kemudian berlalu pergi membawa harap padanya. Namun kemudian dugaannya harus kandas ketika suara lembut calon ibu mertua mulai berbicara padanya.

Masih ingat, waktu itu begini katanya,
"Kamu tahu kan semua Ibu itu mau anaknya bahagia? Begitu juga dengan Ibu Nak Maga, Ibu pingin Bitah bahagia, ibu kepingin hidupnya makmur tanpa adanya kendala dan masa depannya terjamin tanpa adanya kekurangan, entah kekurangan itu dari segi apapun"

SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang