3. Salah arah

638 96 8
                                    

Melupakan atau mempertahankan perasaan? Yang mana yang lebih baik?

Ternyata seseorang bisa berubah seiring berjalannya waktu. Seperti halnya dengan Pealin, entah kenapa dia terasa berbeda, atau mungkin perubahan ini terjadi karena keadaan di antara kami yang sudah lama tidak bersama terlebih dua tahun lalu kami berdua tidak saling berkomunikasi sama sekali. Apa karena itu, Pealin menjadi pribadi yang berbeda di mataku? Aku layaknya baru mengenal kembali seorang Pealin.

"Semalem elo kemana?" Aku bertanya sinis, mulai mengintrogasi Tara. Wanita itu pergi sebelum aku bangun, dia menghindar karena tau aku akan melontarkan berpuluh-puluh pertanyaan yang harus siap ia jawab.

Kini aku menemukannya sedang makan ketoprak di depan kampus dengan wajah kusut seperti belum mandi, bahkan kini tidak ada sedikitpun polesan makeup tipis yang selalu menghiasi wajahnya.

Karena Tara tidak kunjung menjawab seolah tidak mendengar ucapanku, maka kusingkirkan saja piring ketoprak dihadapannya sehingga pergerakannya terhenti. "Gue laper Lulu, makan dulu ya, nanti gue cerita."

"Jawab sekarang."

Maka Tara berdecak kesal. "Kemarin gue mampir ke tempat temen,"

"Temen yang mana?"

"Elo gak bakal tau." Benar, aku tidak sepenuhnya tau tentang Tara, dia seolah tidak mau terlalu terbuka terhadapku. Aku ini sebenarnya ia anggap teman atau tidak? Ingin rasanya melontarkan pertanyaan itu.

Masih kutatap dirinya tajam, memancarkan kekesalan dan kekecewaan disaat yang bersamaan. "Gue gak mau hal kayak kemaren terulang lagi, awas aja lo." 

"Iya iya engga. Gak janji maksudnya." Tara menjulurkan lidah seolah meledek omonganku, kata-kataku tidak berarti untuknya.

Sempat akan memulai adu mulut karena tidak terima dengan sikap ngeyelnya, kekesalanku akhirnya tertahan oleh adanya video call dari Pealin.

"Wih lagi nongkrong di kang ketoprak nih, langganan gue tuh, jangan bilang elo baru sarapan?" Tanpa basa basi Pealin selalu memulai panggilan dengan celotehannya.

Melihat adanya kesempatan karena tidak lagi diinterogasi olehku, Tara kembali melahap ketopraknya sambil berucap. "Si Lulu nemenin gue Pea. Dia mana doyan makan ketoprak."

Pealin terdiam sejenak seolah teringat sesuatu yang ia lewatkan. "Terus kenapa lo makan disana kalo si lulu gak suka, malah makan sendiri dih."

"Arahin ke gue kameranya Lu," Maka aku menurut saja. "Gue gak ngajak dia Alin, Lulu nya sendiri yang nyamperin gue. Terus aja salahin gue, padahal gue yang selalu ada buat dia, gak kayak elo cuma bacot di telpon doang."

"Yang penting gue ngasih perhatian, gak kayak elo yang selalu ada tapi gak merhatiin dia ya percuma!"

Tunggu, kenapa malah jadi mereka berdua yang adu mulut. Memang Pealin selalu sensi terhadap Tara, tapi Tara menjadikan setiap perdebatan mereka sebagai lelucon untuknya, katanya berdebat dengan Pealin itu seru.

"Omong doang digedein lo, dasar." Tara menyeringai dengan mulut penuh makanan.

"Lulu jauh-jauh sana dari si Tara, gue males ngeladeninnya, ganggu mulu itu orang."

Sedari tadi aku mencoba menahan senyum mendengar obrolan mereka yang seperti bocah.

Maka aku beranjak berdiri, "Gue tunggu pas pulang." tegasku ditujukan pada Tara.

"Iya bawel lo, sana jangan ganggu gue makan."

Kini aku berjalan pergi meninggalkannya untuk menuju kelas, sepuluh menit lagi mata kuliah dimulai, masih ada waktu bagiku untuk mengobrol dengan Pealin, seperti menjadi rutinitas kami untuk menyempatkan waktu mengobrol walau hanya beberapa menit.

Pealin [GxG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang