4. Perihal Gincu

631 108 8
                                    

Tara mendiamiku sepulangnya dari hotel. Dia langsung mengajakku pulang setelah melihat tingkahku tadi. Aku membuatnya kecewa barangkali, tapi dia juga sempat membuatku kecewa. Maka sekarang kita impas, sama-sama mengecewakan.

"Dek, kalo mau kabur tuh bilang, gue dari tadi nunggu di tukang sate eh lo gak balik-balik, disusul ke minimarket juga gak ada. Kenapa bisa sama lo?" Bang Ogi memarahiku sekaligus bertanya pada Tara. Baru saja kami berdua masuk ke rumah, sudah diceramahi.

"Bang, mending lo suruh dia gak usah banyak keluyuran deh,"

"Lah kok gitu?" protesku terhadap perkataan Tara.

"Lagian lo kayak anakan ayam ngikutin induknya, ngintilin gue mulu."

Tak terima dengan ucapannya, aku membela diri. "Tadi kan elo yang ngajak mau ngikut lo apa engga, salah gue dimana? Kalo ada yang ngajak masa gue tolak."

"Kalo ada yang ngajak lo terjun dari pesawat lo gak akan nolak gitu?"

"Ya kalo pake parasut ga masalah."

Tara kalah. Tanpa berucap apapun lagi dia beranjak pergi menuju kamarku.

Maka kususul saja, sudah persis layaknya anak ayam yang mengikuti induknya.

Jika sedang marah, Tara tak akan banyak bicara padaku, seolah keberadaanku tidak ada di matanya. Sampai kini sudah malam pun dia tetap saja menganggapku layaknya orang asing yang tidak dikenal. "Lulu, mau masak mie?" Gania bertanya menawarkan. Dia sedang masak mie instan, untuknya dan bang Ogi.

"Minta dikit aja dari lo nanti." jawabku santai sebelum minum air putih yang baru kutuangkan ke gelas.

Gania berdecak sebal karena selalu saja makanannya ku minta. "Tumben gak mau dimasakin mie."

"Lagi ngurangin makan mie."

"Ya udah gak usah minta berarti."

"Kalo makannya dikit ya gak apa-apa."

Kulihat Tara sedang sibuk dengan ponselnya sedari tadi tanpa mempedulikan layar televisi yang selalu tidak menarik baginya untuk ditonton. "Tara, lo mau mie gak?" Kali ini aku menurunkan ego dengan terlebih dulu mengajaknya bicara.

Tara menoleh, "Mie kuah, pedes."

Aku berbalik menatap Gania yang ternyata sedang menatapku. "Gue yang masakin?" dan aku terkekeh sambil mengangguk.

Kami berempat makan mie bersama, diselimuti obrolan bang Ogi yang membahas perihal keberangkatannya ke Sumba. Dia terlihat sangat excited.

Suara telpon terdengar, orang-orang yang ada disekitarku sudah menduga bahwa itu panggilan dari Pealin.

Ku angkat video call-nya, menyandarkan ponsel pada tempat tissu. "Pea sombong banget lo!" Gania yang pertama membuka suara.

"Kesini woy, lo hutang traktir sama gue." Dan Bang Ogi yang berucap demikian.

"Pada gak ada akhlak, harusnya tanyain kabar dulu gitu basa basi." Pealin menanggapi, terlihat tidak fokus menatap layar hp sebab dia sedang berada diluar.

"Ogah, ngapain gue nanya kabar lo, kesini buru, gue bakal pergi jauh nih. Mau pamitan gak?" Sepertinya saat ini aku tidak bisa banyak mengobrol dengan Pealin, aku mengalah saja.

"Lo mau kemana Bang? Kayak gak bakal balik lagi aja." Pealin tertawa di sebrang sana.

"Ada proyek ke Sumba,"

"Wih mantap tuh, si Lulu diajak gak?"

"Buat apaan ngajak si Lulu, ntar nyusahin."

Aku yang sedang meminta mie dari Tara langsung memberikan tatapan sinis pada Bang Ogi.

Pealin [GxG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang