"Jalan yuk, ke bukit yang di daerah selatan itu tuh. Mumpung masih ada sehari lagi gue disini."
Maka di sinilah kami sekarang, di tempat yang Bang Ogi katakan. Jika Pealin, Tara, Bang Ogi, Gania dan Luna terlihat antusias sesampainya di sini, maka berbanding terbalik denganku. Mood ku sudah rusak saat akan berangkat kesini, tadinya aku berharap semotor dengan Pealin karena aku rindu dibonceng olehnya. Kebetulan Pealin dipinjami motor temannya Bang Ogi, karena Bang Ogi tidak mau naik mobil dan lebih memilih motor-motoran bareng.
Berkat Luna, keinginanku untuk terkabul sirna sudah, wanita itu yang malah semotor dengan Pealin dan Pealin tidak keberatan. Apa dia tidak rindu berboncengan denganku?
Jadi dengan berat hati dan mood yang buruk, aku berangkat dengan Tara walau seringkali dalam perjalan obrolan Tara tidak kutanggapi dan lebih sering memantau ke arah depan memastikan bahwa wanita itu tidak macam-macam dengan Pealin, maksudnya melakukan hal yang membuatku cemburu.
Sesampainya di tempat tujuan, kami menggelar tikar dan aku langsung duduk dengan badmood, sama sekali tidak antusias walaupun untuk sekedar berfoto sekali saja.
Aku ditinggalkan mereka sendirian di sini, sementara mereka kini menghilang karena sibuk mencari spot foto baru.
Kurogoh ransel yang dibawa Gania, mengambil camilan serta minuman untuk kumakan sendiri. Pealin, apa sudah benar-benar tidak sepeduli itu lagi padaku? Dia berbeda, tidak sering perhatian lagi.
Pikiran-pikiran negatif kini terus melanda, membuatku melamun sambil sibuk mengunyah wafer cokelat.
Sampai sentuhan tangan terasa dipundakku membuatku terperanjat bahkan sampai berteriak saking terkejutnya.
"Sorry sorry." Pealin tiba-tiba datang, duduk disampingku sembari menahan tawa. "Kenapa bengong aja dari tadi, gak seneng jalan lagi bareng gue?"
Aku mendelik kesal, "Gak seneng! Lagian kita jalannya rame-rame bukan berdua,"
"Ohhh, jadi lo maunya jalan berdua aja ya." Pealin meledek.
Saking malunya aku sampai gelagapan, itu sama sekali bukan sikapku. "Gue gak bilang maunya berdua—"
"Ssshhhtttt, banyak alesan lo." Jari telunjuk Pealin mengenai bibirku, menghentikan kalimat yang kulontarkan.
Maka aku pun terdiam, mengalihkan pandangan dari tatapan Pealin yang selalu saja menusuk hatiku.
"Kenapa diem? Omongan gue bener ya?" Karena sedang dalam suasana buruk jadi kudorong saja dirinya supaya menjauh, terlebih Pealin terus-terusan meledekku tanpa memahami alasan ketidaksenanganku hari ini. Dasar tidak peka.
Aku sangat kesal. Bahunya terus kudorong agar dia beranjak dan menjauhiku seperti tadi, membiarkanku sendiri. "Pergi lo!"
Tapi Pealin bertahan, dia menahan kedua tanganku. Menatapku penuh selidik. Kutundukkan kepala agar dia tidak bisa menatap wajahku lebih lama. "Maafin gue ya." Tanpa sebab Pealin berkata demikian, membuatku tambah bersalah saja.
"Kenapa ngomong maaf sih, gak jelas."
"Ya pokoknya maafin gue, gue takut kebanyakan salah sama lo," Dalam hal ini akulah yang telah melakukan banyak kesalahan padanya, terutama dengan sikap dan perasaanku terhadap Pealin.
Maafkan aku sudah menyukaimu.
"Tapi kayaknya elo yang paling banyak salah sama gue, Lu." Sampai Pealin menambahkan perkataannya, membuat suasana hatiku kembali bergejolak kesal.
Kulepas paksa tanganku dari genggamannya. "Ih kesel gue sama lo! Pergi sana!"
"Labil lo giliran gue jauh nanyain mulu kapan ketemuan, untung sayang, eh sabar maksudnya," Tingkah Pealin saat ini sedikit meredakan suasana hatiku yang sedang tidak baik, walaupun sikapnya sangat menyebalkan, tapi aku merindukan sikapnya ini. Segala hal tentangnya selalu membuatku rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pealin [GxG]
Short Story(Sequel of LUKA) Pembahasan hidup setelah terinfeksi oleh Luka. Terlebih mengenai efek samping yang ditimbulkannya. --------- Mengandung unsur LGBT. Copyrights 2020 ⓒ Nachim0. All Rights Reserved.