Bang Ogi yang sedang nongkrong di teras rumah sambil mengelap si koko langsung menghentikan aktivitasnya begitu melihat kedatangan kami bertiga, dia menyambut walaupun kuyakin bahwa Bang Ogi tidak tau Pealin akan datang jam segini.
"Wih elo siapa ya? Ada apaan dateng kesini?" Bang Ogi bertanya pada Pealin sambil memeluknya singkat.
"Mau ngasih hutang sama lo Bang."
"Traktir? Banyak duit lo?" Dan mereka berdua tertawa. "Bawa siapa, Lin?" Kini pandangan Bang Ogi tertuju pada Luna yang berdiri di samping Pealin.
"Luna, gue bawa liburan kesini."
Ingin memberikan kesan baik, Bang Ogi berlaga ramah dengan menyuruh mereka masuk dan berniat memesan makanan untuk mereka. Sementara aku disuruhnya untuk menjadi tuan rumah yang baik.
Aku bingung, kamar kosong hanya ada satu, maksudnya kamar yang benar-benar tidak diisi oleh siapapun di rumah ini. Di sisi lain aku tidak mau Pealin satu kamar dengan Luna. Kamar Bang Ogi sebentar lagi akan kosong, mungkin bisa ditempati oleh Pealin. Tapi kamar pria itu tidak layak dihuni.
Sedari tadi aku berdiam diri di ambang pintu kamar yang tadinya diperuntukan untuk Pealin seorang. "Lulu? Kenapa diem?" Pealin menyadarkanku dari kebingungan.
"Em Luna, lo bisa pake kamar ini, kasurnya cuma buat seorang jadi Pealin di kamar gue aja." Untuk saat itu aku tidak memikirkan Tara yang selalu menginap bersamaku. Lagipula kapan lagi waktu yang dulu biasa aku dan Pealin lakukan akan terulang kembali.
Pealin langsung berbalik pergi sambil tersenyum tengil, tanpa izin memasuki kamarku lebih dulu, tak jauh dari kamar yang akan ditempati oleh temannya itu.
Ransel dan kopernya langsung ia taruh dimana saja untuk setelah itu berbaring di kasur seolah merindukan kasur itu dan bukan pemiliknya. "Akhirnya bisa tidur di sini lagi."
"Lebay lo."
Pealin beranjak duduk sambil menepuk sisi tempat tidur, menyuruhku secara tidak langsung untuk duduk di sampingnya. Maka kuturuti saja. Tara rupanya sudah keluar, seperti biasa tidak pernah memberitahuku, layaknya tamu tak diundang pulang tak diantar. Dia selalu pergi dan muncul kapan saja. Aku selalu dibuat bingung dengan kepribadiannya.
Pealin sedari tadi hanya menatapku sambil tersenyum. Merasa malu dan risih terus ditatapnya, maka aku berdecak sedikit sebal. "Apa sih dari tadi liat gue mulu, mau ngomong? Ngomong aja."
"Yang punya mata kan gue, jadi terserah gue dong mau liat apaan."
Aku berniat pergi dari hadapannya, tapi Pealin menarik tanganku, tidak memperbolehkanku untuk menyingkir dari pandangannya. "Lo sebenernya kangen gak sih sama gue?"
Jika dipikir kembali, aku jarang dan bahkan tidak pernah mengatakan secara langsung bahwa aku rindu kepadanya. Entahlah, aku terlalu gengsi.
"Kalo gak jawab kangen gak bakal gue lepasin tangan lo."
"Mana bisa gitu, Pea!" Tanganku mulai memberontak mencoba melepaskan diri dari cengkeraman eratnya. Tapi Pealin malah semakin menarik tanganku sehingga tubuhku lebih mendekat kepadanya. Dia menatapku intens, menunggu jawaban yang sesuai keinginannya. "Iya kangen, dulu, cuma sekali."
Tapi jawabanku tidak sesuai dengan yang diharapkannya. "Yah sia-sia dong gue kesini."
"Tuh kan lo emang gak ada niatan kesini! Kalo gak niat gak usah bikin gue nunggu!"
Ucapanku barusan membuat senyuman Pealin yang tadinya pudar kini mengembang kembali. "Cie nungguin gue, tandanya kangen dong."
"Maksud gue tuh jangan bikin nunggu di Bandara." Tapi alasanku barusan tidak diterima oleh Pealin. Wanita itu tetap tersenyum sumringah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pealin [GxG]
Short Story(Sequel of LUKA) Pembahasan hidup setelah terinfeksi oleh Luka. Terlebih mengenai efek samping yang ditimbulkannya. --------- Mengandung unsur LGBT. Copyrights 2020 ⓒ Nachim0. All Rights Reserved.