Beta

7 2 0
                                    

Jakarta, 2019

Kalau ada yang mengatakan perempuan yang mengungkapkan perasaannya duluan seperti Khotijah kepada Nabi Muhammad, dia perempuan yang hebat, Enda setuju. Sebuah pesan panjang telah dia kirimkan kepada seseorang yang dia kenal cukup lama. Jejak pendidikan dan karir yang sangat dia hafal. Setelah lulus dari SMA Taruna Magelang, dia memilih status sarjananya di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Setelah lulus dia bekerja di BUMN, Jakarta. Meski satu kota, Enda tidak berani bertemu langsung untuk mengucapkan isi pesan ini. Bisa gagu dan salah kata jika harus bertemu orang yang disuka.

[Assalamualaikum, mas, seperti yang kamu tahu, saya bukan perempuan yang sesholihah Khatijah ataupun setaat Mutiah. Saya masih perempuan yang punya banyak kekurangan, kelemahan, ketidakberdayaan. Tapi InsyaAllah saya akan bertahan di sampingmu di banyak keadaan, di badai yang mengamuk, atau ombak yang sangat tinggi. Saya menyukaimu, mas. Saya siap mendampingimu.]

Enda juga sudah membacanya berulang kali sebelum mengirim via akun WhatsApp. Bahkan ketika pesan itu tak kunjung dibaca, dia masih menatap layar ponsel pintarnya. Kebiasaannya mencari tahu lewat internet tentang apa saja yang laki-laki itu lakukan semakin membuatnya tidak sabaran.

Diteleponnya nomer yang terlihat online tetapi mengacuhkan pesannya tersebut. Hanya dering panjang yang menyapa, tidak juga diterima.

Bahkan kini Enda mondar-mandir di kamar kosnya yang sempit sambil sesekali mengecek notifikasi pesan. Dia sudah merubah pengaturan penerimaan pesannya dengan getar dan suara. Tidak lupa memaksimalkan pengeras suaranya.

Sampai beberapa jam setelahnya, pesannya masih belum dibalas. Karena mulai berkeringat dingin, Enda mencari kesibukan dengan mengotak-atik program baru untuk kantornya. Rencana pembuatan aplikasi baru yang siap diluncurkan beberapa bulan ke depan dengan profit yang naik terus cukup membuat dia sibuk di depan beberapa layar komputer.

Tepat jam pulang lembur, Enda mendapat balasa.

[Maaf ya, tadi ada briefing agak lama.]

Baru saja Enda mengetik balasan, pesan susulan membuatnya berhenti mengetik.

[Terima kasih sudah menyukai saya.]

[Maaf, dek. Saya menyukai seseorang.]

[InsyaAllah beberapa bulan lagi saya akan melamarnya.]

Enda yang gugup segera melihat-lihat jejak percakapan di akun sosial media milik laki-laki tersebut. Tidak ada percakapannya dengan perempuan yang berlebihan atau mengandung kode keras atau semacamnya. Sampai lelah Enda memikirkannya, dia tidak punya jawaban untuk pesan tersebut.

[Bagi saya, kamu partner dan sahabat baik. Meski begini, saya berharap kita masih berteman seperti sebelumnya. Jika butuh bantuan bilang saja, jangan sungkan.]

Pesan darinya semakin memperburuk suasana hati Enda.

--------------------

Dia malas jika harus lembur dan pulang sendirian melewati lorong kantor yang sepi. Maka alih-alih merampungkan angka-angka yang merumitkannya jika sudah mengantuk, dia mematikan komputernya, lalu merapikan meja, dan menyiapkan tasnya.

"Loh lembur?" tanya manajernya yang baru keluar dari ruangannya.

"Nggak pak, saya hanya menyelesaikan sedikit hitungan Excel."

Manajernya mengangguk mengerti. Dia bergegas pamit sebab sudah rindu betul pada anak dan istri di rumah. "Saya duluan ya," sapanya sambil berlalu.

"Silahkan, pak."

Setelah selesai beberes, Aditi melihat pantulannya di cermin kecil. Sekiranya masih rapi, dia menyambar tasnya dan keluar.

Kantor Aditi termasuk berada di bilangan elit, meski gajinya UMR dengan tunjangan senormalnya. Itu sudah cukup memenuhi kebutuhannya yang hanya ngekos di gang sempit pinggir Jakarta. Paling tidak biaya transJakarta atau KRL masih terjangkau. Sejauh ini dia tidak begitu suka naik ojek online jika tidak mendesak betul.

[Sudah makan?]

Dikirimnya pesan tersebut pada Enda. Mereka memutuskan ngekos di daerah yang sama sejak bertemu lagi dua tahun lalu selepas janji pertemanan mereka saat SMA. Bahkan sampai hari ini Enda tidak pernah mau menjawab bagaimana dia dan Tammi sampai ke alamat yang tepat.

[Belum. Aku lagi tidak sanggup untuk makan. Ada sesuatu yang masih kutunggu.]

Membaca balasan Enda, Aditi bergegas menyeberang jalan di depan kantornya. Sebab ada angkringan yang masih buka dengan menu pecel lele. Bau harum ayam bakarnya juga tercium beberapa meter sebelum dia sampai di tendanya.

[Aku pesenin pecel lele ya.]

[Ayam bakar, minta sambelnya yang banyak, timunnya juga banyak.]

Aditi tersenyum menanggapinya.

[Yakin satu porsi doang? Gorengan mau nggak?]

[Satu aja, sama kopi ya kalau lewat warung depan gang.]

Sambil menunggu pesanan, Aditi duduk lesehan di samping tenda. Dilihatnya langit yang gelap dengan titik-titik bintang. Dulu dia percaya apa yang dia impikan, lalu dia usahai dan doai, itu akan tercapai. Tapi kecelakaan tujuh tahun lalu seulangnya dia dari les persiapan ujian nasional, membuat kakinya patah dan tidak lagi sekuat sebelumnya untuk pasang kuda-kuda meski secara normal dia sehat.

Tidak pernah terpikir akan menjadi akuntan. Angka-angka yang penuh pertanggungjawaban kini bagian dari hal menyenangkan karena bisa mendapat uang dan bertahan di tempat yang jauh dari pengawasan kedua orang tuanya.

"Memang siapa yang peduli mimpi kita?" suatu ketika Enda pernah mendebat impian Aditi di perjumpaan mereka yang kedua pasca kecelakaan.

"Aku peduli!" Aditi berteriak putus asa. Tangisnya pecah.

"Bahkan jika bukan menjadi pemain utama, kamu masih bisa jadi pelatih atau pengamat," ucap Enda lamat-lamat karena takut Aditi berteriak lagi.

Aditi menatap Enda sungguh-sungguh. "Aku tidak akan berhenti hanya karena aku sedang diuji."

"Baiklah nona impian, waktunya bangun dan memulai yang lebih cocok untuk kamu." Enda tidak bisa menghentikan komentar-komentarnya berucap sinis, tapi dia tidak ingin Aditi menyerah.

Bukannya membalas, Aditi malah menangis. Tammi segera memeluknya. Ayah dan ibu Aditi hanya bisa meninggalkan mereka bertiga dalam kecamuknya masing-masing.

"Aku hanya mencoba tidak menyalahkan diriku sendiri. Aku sedang menerima keadaanku hari ini, dengan tanpa sesuatu terlihat dan dirasa sempurna," ucap Aditi di sela-sela isaknya.

"I know ...," bisik Tammi. Ditepuk-tepuknya pundak Aditi secara berlahan.

Enda ikut menangis, dia berdiri di samping ranjang. "Aku takut kamu tidak bersemangat lagi untuk hidup. Jangan merasa berat sendirian. Kamu punya kami berdua untuk berbagi beban, tawa, rencana, dan banyak hal lainnya."

Akhirnya mereka bertiga menangis bersama. Rasanya kaki yang kebas tidak begitu diingat saat beban itu dibagi bersama. Mereka menangis cukup lama.

"Aditi! Pemesan atas nama Aditi!"

Aditi tergagap ketika namanya disebut. Dia segera menemui pelayan tersebut. Setelah membayar, dia segera berburu transJakarta terakhir yang sampai dekat perumahannya.

Sebuah panggilan dari Enda sempat dia abaikan ketika perjalanan menuju halte bus.

"Hallo ...," sapa Aditi di percobaan kedua Enda menghubunginya.

Hanya suara isakan kecil. Lalu hening.

"Segera pulang."

Aditi jadi tidak sabaran. Dia sedikit gusar ketika bis yang akan dia naiki tidak kunjung datang.

'Enda, bertahanlah,' bisiknya pada diri sendiri.

-------------------

Bersambung ....

Like dan komen ya untuk dapat buku gratis dan terima kasih atas apresiasi para pembaca.

PEJUANG VIRTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang