Epsilon

3 1 0
                                    

"Setiap hal perlu dimulai untuk memastikan hasilnya."

---------------

Aplikasi buatan Enda sudah lebih cepat dan akurat dalam menampilkan hasil pencarian dibandingkan sepuluh tahun lalu. Hanya dengan mengetik kata Rayi dan memilih satu foto yang diinginkan, maka jejak digital yang berkaitan dengan email-nomer ponsel-imei bahkan aktivitas di semua sosial media yang pernah dia instal akan tercantum. Kalimat yang pernah Rayi tulis di berbagai kolom komentar, blog yang pernah dia kunjungi, destinasi yang pernah dicantumkan, maps di google, detailnya lagi siapa saja yang pernah bersinggungan dengannya pun akan tampil di layar komputer begitu Enda mengeklik tombol 'cari'.

Selama ini Enda hanya terus mengembangkannya tanpa berpikir akan menggunakannya suatu hari nanti. Ini akan menjadi pelanggaran ITE kalau ia nekat mengembangkannya lebih jauh terkait data pribadi yang ada di website sekelas dukcapil bocor ke masyarakat. Tapi siapa tahu dia bisa menjualnya ke negara kalau keuangannya mulai menipis.

Tidak sampai lima menit hasilnya akan tersusun di layar komputer berdasarkan subjek yang Enda susun. Mengingat aplikasi ini bisa dijual dan menghasilkan uang, sedang negara bisa saja mempunyai sistem yang lebih cepat, ini malah menantang naluri Enda untuk mempercepat proses penemuan data.

Panggilan Tammi memutus lamunannya tentang aplikasi yang sudah ia rawat cukup lama itu.

Belum juga Enda mengucap salam, Tammi sudah menjelaskan situasi. "Aku dan Bima resmi pacaran!" pekik Tammi.

Enda buru-buru menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Kami akan memulai kembali dengan tujuan," terang Tammi tanpa memberi kesempatan Enda mengomentarimya.

"Kenapa tidak langsung menikah saja? Toh kalian sudah kenal, apa gunanya pacaran?" omel Tammi, tangannya sibuk memainkan pulpen dengan mengetuknya pada buku yang terbuka halamannya.

"Hei, tidak semudah itu ferguso. Kami sudah LDR bertahun-tahun, sudah pernah putus nyambung sebelumnya, tapi menikah? Dia belum membicarakan itu secara terbuka." Suara Tammi mulai mengecil ketika membahas menikah.

"Aku gak pernah percaya sama hubungan yang katanya ada tujuan tapi mengulur untuk menentukan tanggal hati sah," cibir Enda. Ia mulai kesal, pasalnya Tammi selalu terjebak pada Bima. Lelaki yang mengencaninya sejak SMA tapi tidak kunjung melamar di usia mereka yang hampir 28 tahun. Meski tidak ada jejak Bima mempunyai hubungan dengan wanita lain atau pria lain kalau ternyata dia gay.

"Dia pasti sedang kesusahan memikirkan itu."

"Kamu kali yang kesulitan meminta itu," ucap Enda.

"Hei, wanita itu dikejar. Sesulit apapun harus menunggu dan bertahan, laki-laki tak suka dikejar. Kalau dia mau, maka akan bertahan. Kalau dia memang sudha tak ada rasa, maka akan pergi."

Enda hanya menghela nafas, sahabatnya terlalu kolot. "Bukan kodrat wanita dikejar dan laki-laki mengejar. Tidak ada dalilnya. Kalau kamu suka, katakan, terlepas dia menyukaimu balik atau tidak. Menurutku tidak berdosa dan tetap terhormat wanita yang menyampaikan niatnya pada laki-laki. Serta, wanita tidak punya kewajiban menjaga wibawa laki-laki hanya karena siapa yang berhak melamar duluan atau siapa yang berhak menyukai terlebih dahulu," terang Enda.

Tammi masih mencerna penjelasan Enda dengan seksama. Ini sangat bertentangan dengan prinsip yang ia anut. Tugas wanita baginya adalah menerima, dan laki-laki memberi. Itu seperti harga mati. Tapi pernyataan Enda jelas kontra dengan apa yang selama ini ia yakini.

"Aku hanya ingin bilang, bahwa jika kamu menginginkan pernikahan dalam hubungan kalian, katakan. Kamu tidak perlu menunggu untuk waktu yang lebih lama lagi tanpa kepastian. Kalau dia tidak ada itikat ke sana, kamu juga berhak mendapatkan seseorang yang mau menemanimu untuk waktu yang lama dalam kepastian."

Percakapan mereka selesai di situ, Tammi mengatakan akan memikirkannya lagi. Rasanya sepuluh tahun tidak cukup untuk mengenal seseorang, tapi siapa yang betul-betul mengenal orang lain?

Enda tidak jadi mencari tentang Rayi, ia membiarkan semua mengalir apa adanya sampai Rayi memutuskan akan menetap atau tidak. Meski ini bertentangan dengan nasehatnya pada Tammi, sebab di sini Enda merasa dia belum tertarik dengan Rayi. Hanya orang yang penasaran yang heboh mencari tahu kesukaan dan apa saja yang ia kerjakan seharian tanpa kabar.

------------------

"Oh ya, what's your name again?"

Bryan yang mendapat pertanyaan random dari Sari nampak kebingungan di video mereka. Mereka sudah kenal hampir dua tahun dan Sari menanyakan namanya, seakan ia mengalami amnesia.

"What's going on?" Kali ini wajah khawatir  Bryan sangat jelas terlihat di layar monitor. Dia nampak mendekatkan wajahnya ke kamera untuk mengecek wajah Sari yang mungkin terlihat sakit.

"Nope. Hmm btw, can I call you mine?"

Bryan segera tersipu mendengar jawaban Sari. "You got me," katanya dengan senyum kecilnya yang berlesung pipi.

Sari melihat daftar gombalannya di buku catatan untuk membantunya tetap menghidupkan obrolan mereka.

"You know what."

"Yeah?" Wajah Bryan membuat Sari ingin membatalkan jurus lanjutan.

"Mamaku bilang bahwa aku harus mengejar impianku."

"That's good. So what your dreams?"

"So ..., can I follow you?" Sari menampilkan senyumnya begitu Bryan kembali tersipu.

"So ..., that's all the icebreaking today. Now, ayo kita lanjutkan diskusi tentang peluang terjemahan yang kamu bilang tempo hari," ucap Sari menghentikan candaan mereka.

"You always got me then throw me back to the earth, damn!" keluh Bryan, tak urung dia membuka ponselnya juga. Lantas mengirim peluang kerjasama tersebut pada Sari via email.

"Sorry," sahut Sari pendek dengan tawanya.

"Di situ kamu bisa memilih buku mana yang akan diterjemahkan, nanti aku rekomendasikan buku yang sedang diminati. Untuk penerbit Indonesia yang sesuai aku serahkan sama kamu. Untuk budget iklan bisa dibicarakan begitu deal honor kamu dan honor mencarikan penerbit kompeten," terang Bryan yang kembali ke mode serius.

"Akan aku pertimbangkan," sahut Sari sambil membaca slide demi slide yang dia terima.

"Kalau pandemi telah berakhir aku pastikan kamu bisa jadi tour guide dengan bayaran lumayan di sini."

Sari berhenti sebentar membaca berkasnya. Dipandanginya Bryan dengan seksama. Agama mereka saja yang berbeda. Pola pikir, motto hidup, dan beberapa hal lainnya meski tidak bertentangan, mereka saling melengkapi. Memulai hal serius dengan Bryan di luar kerjaan sepertinya bukan hal yang semestinya. Bagaimanapun hubungan dengan Tuhan bukan sesuatu yang bisa ditukar dengan cinta antara manusia.

"Ada sesuatu di wajahku?" Bryan mulai mengusap bagian-bagian wajahnya.

"Yeah, handsome as always," kata Sari yang langsung mendapat tawa Bryan.

"Kamu ngagetin aja," ucapnya.

"Oh ya, untuk tenggat waktunya apakah bisa ditambah beberapa hari? Aku musti riset beberapa hal sebelum mulai menerjemahkan."

"Tentu, paling lama seminggu."

"Bisakah aku mendapat uang muka?"

"Yeah, tentu. Kami akan mengirimkan uang muka ke rekeningmu begitu kita sama-sama setuju," sahut Bryan.

Ini ekspansi pasar internasional bagi perusahaan cabang milik keluarga Bryan. Dia ingin mencoba market Indonesia, karena menurut beberapa sumber yang ia terima meski minat bacanya dilaporkan rendah, tapi minat pembelian buku terjemahan dari bahasa Korea cukup banyak, dan masih bisa menutup biaya produksi serta lainnya. Paling tidak mereka masih mendapat untung.

Lagi pula siapa tahu hubungannya dengan Sari bisa saja berjalan lebih baik. Bryan begitu tertarik pada kepribadian Sari yang unik, selain independent, kebiasaanya mencari teman ngobrol dari berbagai negara termasuk unik dan menarik.

------------------

Bersambung ...

Like, comments yuk untuk dapet buku gratis, gratis ongkir juga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PEJUANG VIRTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang