Bagian yang Hampir

22 2 1
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Tapak kakinya terdengar sedikit lebih pelan dari biasanya. Menjejalkan segala lelah kepada Bumi sore ini yang masih di kelilingi insan manusia yang juga merasakan lelah pada satu hari ini.

Kakinya ia ajak melangkah menuju Jembatan Penyebrangan. Naik menuju bagian tengah jembatan tersebut dan berhenti menghadap arah berlawanan jalur kendaraan. Dirinya melepaskan sedikit beban hari ini lewat hembusan nafasnya. Melepas maskernya dan mulai menghirup udara sore yang sebenarnya agak di penuhi polusi.

Bahunya mulai turun, tak sekaku tadi. Namun tangannya tak berhenti gemetar, masih merasakan lelah dan patahnya. Matanya menelisik kepada setiap orang yang lewat bersama kendaraannya atau bahkan yang sama-sama berjalan kaki seperti dirinya sore itu.

Lima belas menit ia habiskan hanya untuk berdiam diri seperti manusia tak punya arah pulang. Ia biarkan dirinya melepas segala lara yang ia pendam terlalu lama. Dan dua menit dari itu, ada sosok yang belakangan mengusik dirinya yang juga sedikit mematahkan. Hadir pada sore menjelang malam, berdiri persis di sampingnya. Langit jingga sudah mulai terlihat.

"Bandung masih selalu menyenangkan, ya?"

"Iya. Selalu dan akan begitu terus. Bagaimana dengan Jakarta? Atau dengan keadaanmu sendiri?"

"Semuanya baik. Jakarta juga masih baik dan menyenangkan seperti di saat kamu masih menetap disana. Hanya beberapa bagian yang menyesakkan saja."

"Sudah berlalu sedikit lama, ya?"

"Kita? Yeah, sepertinya begitu. Bahkan kamu memilih pergi ke Bandung, daripada memulihkan semuanya di Jakarta yang memang ada aku disana."

Ia terkekeh, percakapan yang tak pernah ia duga selama ini mulai keluar dengan sendirinya. Ia tak kabur, ia tak mencoba untuk menghilang. Ia hanya berusaha mendapatkan kembali apa yang harus ia genggam.

"Darak, aku tidak mencoba untuk pergi ke Bandung tanpa alasan."

"Aku paham. Makanya aku susul kamu kesini, aku mau membawa kembali kamu ke Jakarta. Meneruskan semua yang seharusnya tak tertunda, Meriam."

"Aku selalu merepotkan kamu, ya?"

"Tidak. Untukmu tidak pernah ada fikiran seperti itu. Aku selalu suka direpoti manusia seperti kamu."

"Aku minta maaf, Darak."

"Aku juga, Meriam."

Dan sore itu, Meriam memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta setelah hampir dua minggu menetap di Bandung bersama pekerjaannya yang ia bawa-bawa sampai ke Bandung. Bersama Darak yang pastinya sudah sangat pintar membujuk Meriam agar kembali ke Jakarta, tempat mereka seharusnya berada.

Bandung akan merindukan harum kedatangan dan perbincangan mereka, selalu.

Dan Jakarta akan senantiasa menunggu kembalinya mereka, selalu.

•••

Sedikit banyak scene ini dibuat untuk menggambarkan beberapa hal yang terkadang tak terlihat dengan baik.

Terima kasih sudah membaca bagian milik Darak dan Meriam,

feeDefausta - fR

feeDefaustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang