02

172 33 204
                                    

Semua orang sudah berada di meja makan. Namun suasananya tidak hangat. Harry tidak banyak bicara. Dia hanya menerima makanan yang diberikan Liora. Sesekali dia membuka suara ketika cucu pertamanya -Nate- bercerita tentang dirinya yang menjadi juara menyusun puzzle di sekolahnya. Liora sesekali menimpali perkataan Lily dan Dave. Sementara Martin berusaha mendengarkan ocehan si kecil Neil. Terasa canggung dan asing. Sibuk masing-masing.

"Oh ya, Martin. Kau bermain sangat baik saat final kemarin. Meskipun sangat disayangkan England belum bisa membawa kemenangan," kata Dave ditengah-tengah acara makan mereka.

"Ya, aku setuju. Jangan tersinggung ya, Martin, tapi Italia terlihat seperti banteng yang hebat," timpal Liora.

"Banteng kan dari Spanyol, mum, bukan Italia," sahut Nate yang mendengarkan pembicaraan orang tuanya.

Liora memutar matanya. "Whatsoever. However, England played really well. Dan aku sangat bangga. Jadi, terima kasih."

Martin tersenyum sebaik mungkin. Memori tentang kekalahan timnya saat tanding kemarin masih membekas di ingatannya. Sangat menyakitkan dan terkadang ia merasa bersalah pada penggemar yang mungkin merasa kecewa. Ia khawatir kalau kekalahan kemarin adalah karenanya. Untung dia memiliki keluarga, teman-teman, dan Lily yang akan mendukungnya apapun yang terjadi. Luka kemarin terobati sedikit ketika ia menghampiri Lily dan memeluknya. Wanita itu terus mengucapkan kata-kata yang menenangkannya.

"Terima kasih," katanya. "Kami sudah berusaha menampilkan yang terbaik, tapi kau benar Liora, Italia memang sehebat itu. Aku tidak memprotesnya jika mereka menjadi juara."

Lily tersenyum mendengar ucapan Martin. Tangan kirinya mengusap paha Martin pelan, bermaksud menenangkannya. Martin menoleh dan membalas senyum sang kekasih.

"That's okay, Martin. Namanya permainan, pasti ada yang menang dan kalah. Mungkin sekarang bukan hari beruntung bagi England, tapi aku yakin, someday England will win the game." kata Dave.

"Aku menonton uncle Martin di stadion kemarin!" beritahu Neil.

Martin tersenyum. "Did you?"

"Ya! Aku menonton bersama mummy, daddy, Nate, uncle Bratt, uncle Simon, dan aunty Shylla, dan ... dan ... banyak orang!" katanya bersemangat. "Dan aku berteriak saat Luke Shaw mencetak gol pertama! Dan oh! Aku melihatmu dan aku meneriakan namamu. Apa kau mendengarnya?"

Martin tersenyum semakin lebar. "Ya, aku mendengar teriakan anak kecil tapi aku tidak tahu itu siapa. Rupanya itu dirimu. Thank you, Neil."

Neil tersenyum lebar. "Aku ingin menjadi pemain bola seperti uncle ketika sudah besar! Aku akan mengalahkan Italia agar uncle bangga padaku!"

Lily, Liora, Dave, dan Martin terkekeh gemas. Nate terlihat acuh tak acuh pada ocehan adiknya itu karena dia terlalu lapar dan dia harus cepat menyelesaikan makannya agar dia bisa melanjutkan kembali menyusun mainan lego yang baru ia beli kemarin bersama sang ayah.

"Kau harus masuk sekolah sepak bola agar dilatih menjadi pemain bola yang hebat seperti uncle Martin," kata Lily sama semangatnya dengan Neil.

"Benarkah?" mata Neil berbinar.

Martin tersenyum, lalu mengangguk membuat si kecil mengepalkan kedua tangannya ke atas.

"Untuk apa menjadi pemain bola? Lebih baik seperti kakakmu Nate yang pintar, dia bercita-cita menjadi seorang ilmuwan yang berguna membantu orang lain," kata Harry. Semua perhatian tertuju padanya.

"He's just a kid, dad," kata Liora.

"Justru mumpung dia masih kecil, harusnya kau ajarkan dia ilmu-ilmu pengetahuan alam agar nantinya terbiasa. Seperti Nate," Harry tidak mau kalah. Matanya menatap tajam Martin yang mendadak menunduk. "Orang-orang bilang kau adalah the greatest player of England, The Pride of London, tapi buktinya apa? Melawan Italia saja tidak bisa. Orang-orang terlalu membesar-besarkan perkara."

Reflection ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang