Senyum Langka Resti

8 1 0
                                    

Mentari mulai menampakan dirinya. Semburat sinarnya lekas memberi kehangatan, suara bising burung pipit yang terbang berkeliaran di luar jendela kamar, membuat Resti terbangun.
Beranjak dari tampat tidur, matanya terbelalak, kakinya seolah kaku tak mau melangkah. "Ya Tuhan.. Lelaki yang selama ini aku tunggu kedatangannya yang ku nanti pelukan hangatnya.. Yang tiada henti kerinduanku padanya, apakah aku tengah bermimpi?. " Gumam batin Resti. Lamunan lesti seketika bubar, ialari memeluk sosok lelaki gagah berdiri di depan pintu kamarnya. "Aayyaaahhh.. " Lelaki itu menyambut hangat pelukan Resti.
Resti sudah kehilangan ibunya ketika ia berusia 3 bulan, tiada yang tau apa penyebab kepergian ibunya. Ia dirawat dan dibesarkan oleh ayahnya. Satu tahun lalu Ayahnya harus pergi ke Luar negeri Karena utusan dari perusahaan tempatnya bekerja. Selama itu mereka berkomunikasi melalui telpon atau video call saja. Namun pagi itu menjadi pagi paling indah dalam hidup Resti, kejutan terbesar ia dapatkan dengan kedatangan ayahnya. Ia Seketika lupa dengan lukanya. Remukkan hatinya  seolah kembali utuh.
"Bagaimana sayang.. Bukankah semua baik-baik saja?" Lelaki bernama Herman itu mengelus kepala putri kesayangannya. "Tentu saja Ayah. Jika kau disini semua pasti membaik dan akan baik." Resti berusaha menutupi apa yang telah terjadi padanya selama menanti Ayahnya pulang. "Ayah percaya pada mu nak. Sekarang bersiaplah, kamu harus pergi kuliah kan pagi ini? ". " Rasanya aku ingin disini saja melepaskan kerinduan ini, dan bercerita banyak hal kepada Ayah."
Bukan hanya sebagai Ayah. Selama ini pak Herman juga bisa berperan layaknya seorang ibu. Menempatkan posisinya sebagai Ayah sekaligus Ibu untuk Resti.
"Hati-hati nak.. Langsung pulang Ayah punya kejutan buat kamu". Resti mencium tangan ayahnya dan berangkat kuliah.

" Sebentar lagi putri ku pulang. Kenali dia dengan baik ren. " Ucap Pak Herman sambil menuangkan jus ke dalam gelas wanita yang duduk di depan TV. Wanita itu namanya Renata perempuan berhati baik, tutur katanya lembut dan yang jelas ia sangat peduli dan penyayang. "Apa dia bisa menerima ku mas? " Renata meletakkan gelasnya dan memandang Herman dengan tatapan khawatir. Belum sempat menjawab tiba-tiba, "Ayah aku pulang" Matanya berbinar tanda bahagia, senyuman yang lama ia pendam kini mulai ia tunjukan.
"Ayah?? " Resti bertanya-tanya batunya bergumam "Siapa wanita ini? Dia saudara ayah? Atau temannya, atau mungkin.. Tidak. Tidak mungkin! ".
" Kenalin Res, ini Bu Renata dan Ren, ini resti putri ku" Pak Herman mulai mencairkan suasana kaku mereka. "Halo, Resti sayang kenalin saya Renata, mau jadi teman baik ibu? " Kelembutan tutur kata Renata sedikit meredam gejolak hati Resti. "Iya.. Tentu saja", "Ayo kita makan dulu, keburu dingin masakannya, tadi ibu Renata lo yang masak Res, kamu harus cobain." Bertiga menuju meja makan. Mereka terus berbicara hingga seolah Resti lupa akan jutaan tanya yang ada difikir nya.
Jendela sudah tertutup rapat, lampu sudah Resti matikan, bahkan selimutnya sudah ia tarik. Tok.. Tok.. Tok.. "Resti kamu udah tidur? " Suara lembut bu Renata sampai pada telinga Resti, ia bergegas bangun dari rebahnya dan membuka pintu. "Baru mau tidur bu, ada apa? ", " Boleh ibu masuk?", "iya bu, silahkan" Sebenarnya dalam batin, Resti heran mengapa wanita asing ini datang padanya malam-malam. "Wah kamu suka menulis di buku diary Res?" Renata menyingkap halaman depan buku tua itu. "Iya, jangan dibuka. Dia bukan sekedar buku, dia sahabat ku." Resti mengambil dan meletakkan buku dan pena sahabatnya di laci. "Resti ibu mau bicara sama kamu" "Iya bu silahkan, aku akan mendengarkan mu".

Pena Dan Lembar TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang