Zahira 3

693 49 7
                                    

#Biarkan_Aku_Pergi
Ranjang Perawan 3

"Lagi pula, Bapak Fadil tidak usah bersikap baik pada saya. Jangan menampilkan diri sebagai sosok suami yang bertanggungjawab. Bukankah sebentar lagi, Anda akan menjatuhkan talak? Jadi, cukup persiapkan itu! Dan saya, akan menunggu saat itu tiba! Jangan lama-lama!"

Zahira menantangnya? Apa Fadil tidak salah dengar? Kalimat demi kalimat mengalir lancar dari bibir yang masih terlihat pucat itu. Sementara, tidak sedikit pun Zahira terlihat gentar.

"Kamu ...." Mengeram menahan kesal, Fadil mencengkram bahu Zahira.

"Apa?" Satu kata yang berhasil membuat Fadil merasa tertantang.

Manik elang Fadil menatap tajam bola mata yang menenangkan. Seketika, amarahnya seperti tersurut! Namun, ego yang terluka membuat lelaki itu kian mengencangkan tekanan jari-jarinya. Mendapati rangka tulang dengan daging yang tipis, seketika Fadil tersentak. Dengan raut sesal, ia memandang Zahira. "Ma—maaf!"

Mengabaikan permintaan Fadil, gadis yang belum berpakaian lengkap itu membalikkan tubuh. Terlambat! Pergerakan yang terbaca, membuat Fadil kembali meraih pergelangan tangan Zahira.

Zahira meringis!

Fadil yang belum menyadari kesalahannya, mengencangkan cengkraman. Membatasi gerak Zahira yang hendak meninggalkannya.

"Lepas!" Menahan ngilu, Zahira meredam suaranya. Gadis muda itu berontak. Tenaga yang tidak sebanding dengan kekuatan Fadil membuat ia menyerah kalah. "Sakit!" Zahira merintih pelan. Kabut yang menebal, akhirnya runtuh dan menetes di sudut mata.

Fadil terpana! Sesak! Dadanya sakit melihat pipi nan tirus itu banjir airmata. Dia telah menyakiti Zahira. Bukankah ini yang Fadil mau? Melukai gadis yang tanpa perlawanan, mengikuti semua keinginan sang paman. Dan dengan jalan ini, Zahira akan pergi dengan sendirinya tanpa ia bersusah payah mengikrarkan talak. Yang tentunya akan ditentang oleh kedua orangtuanya.

Zahira mengangkat tangan. Menatap nanar pada pergelangan yang memerah. Meninggalkan jejak jari-jari lelaki yang terpaku di hadapannya.

"Ra! I—itu!" Bola mata Fadil terkunci pada kulit putih pucat yang meninggalkan jejak perbuatannya.

Menyeka kasar aliran airmata, Zahira melengos—memalingkan wajah demi menyembunyikan tangis yang tak dapat ditahan. Tanpa suara, segera ia berlari ke kamar mandi dan mengunci dari dalam. Zahira tergugu! Bahunya berguncang hebat! Airmata pun mengalir semakin deras. Sakit! Meredam isak, Zahira menyalakan shower.

Tidak ada yang dapat Zahira lakukan. Haruskah ia bertahan dan menerima semua perbuatan Fadil? Sepertinya, hal tersebut bukanlah pilihan yang tepat.

"Ira baru tujuh belas tahun. Setelah menikah nanti, Kamu boleh kembali ke Padang. Melanjutkan rencana untuk kuliah di sana! Setelah lulus, kembali ke Jakarta dan bersiap menjadi menantu adang, seutuhnya."

Kata-kata Adang Bashir terngiang di telinga Zahira. Kuliah di universitas negeri ternama yang ada di kota kelahiran. Dimana, namanya telah terdaftar sebagai salah satu siswa penerima undangan di fakultas yang cukup bergengsi, kedokteran.

Tidak ada pilihan lain bagi Zahira. Menuntut janji Adang Bashir, sepertinya menjadi satu-satunya kesempatan. Melipir dan menjauh sejenak dari kehidupan rumahtangganya bersama Fadil. Untuk ke depan, bagaimana nanti. Masih ada waktu empat atau lima tahun lagi bagi Zahira untuk merancang nasib selanjutnya.

Usai berganti pakaian, dengan mengendap, Zahira keluar dari tempat persembunyian. Nada sumbang dari perut, cukup memberikan bukti bahwa ia kelaparan. Lima menit lagi menuju pukul dua belas siang. Gema adzan zhuhur pun telah berkumandang dari pengeras suara masjid perumahan. Dan hingga detik ini, belum satu butir nasi pun yang berhasil mengisi lambungnya.

Biarkan Aku PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang