Dua

149 41 19
                                    

Bukan Melayani
|
Cerita ini hanya fiksi belaka.
Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

[*******]

"Uhhh, dingiinnn." Nazmi keluar dari kamar mandi dengan berlari kecil. Kedua tangan mengeratkan pelukan handuk di tubuhnya.

Padahal dia sudah mandi menggunakan air hangat. Tapi masih saja terasa dinginnya. Udara pagi yang begitu sejuk membuat dia tak kuasa untuk sekedar menyentuh air di dalam ember. Untunglah papihnya melengkapi kamar mandi dengan water heater. (alat pemanas air)

"Baju, bajuuu." Nazmi beralih ke dekat lemari. Mengacak-acaknya, mencari baju yang nyaman dipakainya saat ini.

Setelah mendapat apa yang dicari, Nazmi memakaikan dengan cepat pakaian tersebut ke tubuhnya. Lalu menggantung handuk di pengait belakang pintu.

Emm. Nazmi membayangkan apa yang mamihnya masak saat ini. Dia tak sabar untuk turun ke bawah, dan mengisi perut keroncongannya.

Namun di saat kakinya baru melangkah dua kali, dia tertegun. Baru ingat jika mamih dan papihnya sudah tak ada lagi di vila. Terlebih ketika melihat di bawah sana keempat laki-laki sedang mondar mandir, tak tahu apa yang mereka lakukan. Yang Nazmi tahu, mereka adalah bodyguard yang dikirim papihnya sejak hari ini.

Nazmi menggeleng. Dia tak boleh seperti ini. Dia harus menanyakan lagi kejelasan yang sebenarnya. Dia harus menelepon mamih. Iya, kali ini mamihnya.

Kembali melangkah mundur menjadi pilihan. Lalu menutup pintu sepelan mungkin. Berusaha tidak menimbulkan suara. Dia tidak mau jika para lelaki itu meyadari kehadirannya.

"Ih, HP aku mana sih?" tanya Nazmi bingung. Bertanya-tanya pada diri sendiri. Celingak-celinguk mencari keberadaan benda persegi panjang tersebut.

"Aishh, ternyata di sini." Nazmi mengambil benda berharganya dari gantungan kamar mandi. Ia tadi menggunakannya untuk mendengarkan musik sembari mandi.

Tak perlu pikir lama. Nazmi menekan agak lama angka 2 di ikon pemanggil. Nomor sang mamih langsung tersambung otomatis.

TUTT ... TUUTT.

Sekali lagi.

TUTT ... TUUTT.

"Ih, kok gak nyambung?" Sekali lagi dia melakukan panggilan. Namun hasilnya sama. Jangankan diangkat, nyambung saja tidak. Nomor mamihnya benar-benar mati total.

"Ishhh, ngeselin banget. Masa iya Mamih matiin HP." Nazmi mendudukkan diri di pinggir kasur. Beralih memanggil ke nomor telepon papihnya.

"HALO?! PAPIHHH!" ujar Nazmi antusias. Dia kembali berdiri dari tempatnya.

"Ishh! Berisik! Kuping Papih sakit, nih." Di seberang sana sang papih terdengar berteriak. Namun suaranya agak kecil. Mungkin sambil menjauhkan ponselnya.

"Ihhh, si Papih mahh, kumaha sihh?! Masa aku dibiarin tinggal sama laki-laki gituuu.. tujuh loh Pih, tujuhhh! Satu aja bahaya, gimana tujuh?! Papih bener-bener yaa," Nazmi merengek sejadi-jadinya. Dia juga mencak-mencak tak karuan, seakan-akan sang papih berada di hadapannya. (gimana)

"Iya--" belum juga selesai berbicara, Nazmi sudah memotongnya.

"Ih, dasar si Papih, jahat pisan ih. Gimana lamun mereka macem-macem ke aku? Aku cuma cewek sendirian di sini." Nazmi kembali duduk, lalu meneruskan cerocosannya. "Gimana kalau nanti aku takut? Gimana kalau aku gak bisa tidur sendiri? Gimana kalau aku mau ini, mau itu? Di sini fasilitanya gak lengkap. Gak kayak di rumah. (kalau)

BODYGUARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang