# 9 : RUMAH BAGAI MONSTER

348 24 1
                                    

Tepat jam enam sore Chandra tiba dikediaman rumah milik Nararya--selaku Ayah sambung Chandra, rumah yang sekarang ia tinggali bersama enam orang anaknya. Laki-laki itu menghempaskan tubuhnya ke kursi ruang tamu, bola matanya bertemu pandang dengan bola mata milik Natha, “Natha”

Laki-laki yang disebut namanya hanya berdehem, masih asik sibuk membersihkan peralatan tempur di dapur, diantara anak laki-laki Nararya cuman Natha doang yang jago masak. Jadi, dapur adalah singgasana miliknya, gak boleh ada seorangpun yang boleh memasuki area dapur, sudah menjadi hak paten. Kecuali bibi.

“ Biru mana?”

Natha menarik napas dalam-dalam, mukanya kembali kusut seperti orang sedang depresi, “BILANG NOH SAMA ADIK KESAYANGAN LO ITU, GAK USAH SOK CARI MUKA DI DEPAN GUE!!” mendadak suara Natha naik dua oktaf, macam motor setelah di isi bensin, nge gas bukan main.

“ Lo apaan, sih, gue tanya baik-baik lo jawabnya sewot!” Chandra tak mau kalah.

Bang Rajen membuka pintu kamar setelah mendengar kegaduhan dari suara Chandra dan Natha, “ Udah maghrib bukannya pada sholat malah gelut wae!” cibir bang Rajendra kerap dipanggil Rajen.

“ Lagian juga si Natha kek cewek pms, hawanya nge-gas mulu kalau sama gue, Bang.” sunggut Chandra menggadu pada Rajendra.

“ Biru mana, Bang?” lanjut Chandra.

“ Lah, abang, kan, dari tadi di kamar. Mana tau si curut kemana?”

“ Taman, noh! Palingan juga lagi ngobrol sama pohon.” Kata Natha masih dengan nada sengak.

“ Oke, thanks.”

Chandra segera melesat menemui Biru yang berada di taman, melihat anak kecil itu sedang berdiri didepan pohon sembari mengamati semut-semut kecil yang asyik bercengkrama dan menyatukan sungutnya.

Chandra mengambil ancang-ancang duduk di bangku kayu reyot, matanya teralihkan pada sebuah buku yang terbuka oleh terpaan angin. Laki-laki itu mengeja kalimat demi kalimat, hingga suatu kalimat membuat hatinya mencelos nyeri tak karuan.

Sebuha tulisan dengan pena hitam pekat terukir rapi di lembar kertas putih berseri, Pada bait pertama sang pelaku menuliskan, “ 1. Tuhan, kenapa Ayah tidak memberiku akhiran nama Putra Nararya seperti kakak-kakaku?”

Ada jeda setelah bait pertama, tetesan air mata meninggalkan jejak pada kertas yang ia tulis.

“ 2. Biru nggak suka kalau Ayah terus banding-bandingin nilai akademis Biru sama kakak, apalagi sama Goldi. Omongan dan perlakuan ayah ke Biru membuat Biru merasakan sakit hati, kadang Biru juga sedih dan nangis, mau cerita tapi nggak tahu sama siapa? Karena nggak ada yang sayang sama Biru.”

“ 3. Kalau boleh Biru mengadu pada Ayah, sebenarnya Biru nggak suka tidur di ruang bawah tanah yang enggap, bahkan mataharipun seolah membenci Biru. Beda kayak Goldi yang selalu dimanja sama Ayah, selalu dapat fasilitas yang sangat mudah didapatkan, kamar yang rapi, ada komputernya, ada jendelanya, semua serba ada. Tuhan, sifat iri emang nggak boleh, tapi kapan Biru bisa punya kamar kayak Goldi?”

“ 4. Ayah, tiap kali ayah pukulin Biru rasanya tubuh Biru kayak mau mati, nggak ada rasanya. Padahal, kan, bisa dibicarain baik-baik tanpa harus ada kekerasan kayak tadi pagi. Bang Natha, maaf, ya, Biru nggak sengaja mecahin piring karena tadi niatnya Biru mau bantuin abang biar bang Natha nggak capek. Tapi, malah piringnya Biru jatuhin.”

Tulisan tangan Biru pada sebuah buku diary miliknya. Tidak terasa bulir bening Chandra mengalir deras tanpa sang empu sadari.

“Bang..” Panggil Biru sembari berjalan mendekati Biru.

BETTER DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang