Aku dan beberapa teman kelasku duduk di bawah pohon manggis. Menunggu waktu upacara dimulai.
Aku berdecak kesal, mata mereka bahkan tak henti-hentinya menatap setiap pergerakan kak Batara yang tengah mengatur barisan pelaksana upacara yang bertugas hari ini.
"Kak Batara," sapa Risma teman kelasku ketika kak Batara lewat di hadapan kami.
Kak Batara hanya menoleh sekilas lalu kembali fokus ke depan.
Hahaha ... kasihan deh lo.
"Itu kenapa masih duduk di sana? Teman-temannya sudah pada baris," tegur Pak Rahman.
"Panas, Pak. Entaran aja kalau udah pada ngumpul," ucapku.
"Kalian tidak lihat di sana," tunjuk Pak Rahman.
Kami mengikuti tunjukannya. Mendadak aku spot jantung. Di sana Bu Dina sudah berdiri di dekat barisan paduan suara sembari menatap tajam ke arah kami.
Bu Dina adalah guru killer yang hanya mengajar di kelas ipa saja. Guru dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap. Begitu berwibawa dan tegas dalam berbicara. Beliau masih betah melajang padahal umurnya sudah sangat matang.
Para guru dan kepala sekolah bahkan juga takut padanya. Jika rapat dan menentukan sebuah keputusan maka tak ada yang berani membantah apapun keputusan Bu Dina. Sekali A akan tetap A. Dan keputusannya tak pernah menjadi pertimbangan, itu selalu menjadi jalan yang terbaik dan benar.
Eits! Tapi itu semua hanya gosip-gosip yang aku dengar dari mulut kakak kelas yang setiap harinya bergosip di kantin. Awalnya aku tak mempercayai gosip itu, tapi melihat tatapannya hari ini, aku sepertinya akan mulai mempercayai.
Kami bergegas masuk kelapangan, membentuk barisan dengan teman sekelas.
Aku berada dibarisan paling belakang sejajar dengan Qinan sedangkan Lola berada di barisan kedua.
Aku mencari-cari keberadaan kak Batara. Dimana dia? Padahal baru tadi aku melihatnya dibelakang barisan kelas 10 ipa 2 sedang mengatur bersama anggota osis lainnya, tapi tiba-tiba sudah hilang saja.
Aish!
Senyumku kembali terbit melihatnya berada di sebelah barisan 12 ipa 3. Aku sedikit berjinjit untuk bisa melihat jelas wajah tampannya itu dari sini.
Upacara terus berlangsung hingga memasuki waktu pembacaan doa.
Aku menunduk, memanjatkan doa agar diluluhkan hati kak Batara, agar keberadaanku bukan hanya sekedar angin lalu untuknya. Sangat bertolak belakang dengan doa pelajar.
Hihi.
***
Selepas upacara kami semua berhambur memasuki kelas,
mengambil buku tulis untuk dijadikan kipas."Panas banget ya," ucap Lola sembari mengibaskan kera bajunya.
"Hooh. Beli minum yok," ajakku---Lola mengangguk seraya berdiri.
"Entar dikantin jangan lupa godain kakak kelas lagi ya," sindir Aulia.
Aku menoleh ke tempatnya duduk. Aku tau dia sedang menyindirku, dan kakak kelas yang dia maksud itu adalah kak Batara.
Entah bagaimana bisa aku sekelas dengannya. Murid yang dulunya menjadi sainganku di SMP saat olimpiade sains tingkat sekolah dan kabupaten.
Aku ingat betul dirinya. Dia adalah satu-satunya lawanku yang tak terima dengan kekalahannya saat itu. Dia menuduh sekolah kami curang dengan mengatakan kami telah menyalin bank soal dan jawaban dari olimpiade ini.
Ck! Kalau udah kalah ya terima aja. Jangan malah menghujat yang menang. Kan malu-maluin sekolah dan diri sendiri.
Ups!
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE ME KAK BATARA
Teen Fiction"Jika satu tambah satu sama dengan dua. Maka aku tambah kamu sama dengan kita." Anindi Muzammil.