3

799 66 14
                                    

Tay pergi dengan mobil hitamnya sementara New masih sibuk mengenakan jaketnya di kursi belakang kemudi.

"Apa yang membuat remaja sepertimu datang ke club? Atau bisa ku bilang kau memang mengincar bar?"

New hanya diam beberapa saat sambil menatap jalan. Ia menyadari orientasinya sudah sangat lama. Hanya saja baru beberapa bulan ini Ia memiliki keberanian lebih.

"Ikutan trend?" lanjut Tay.

New menggeleng pelan. Tangannya terangkat ke udara.

"I don't know.. hanya saja aku merasa ini saatnya."

Hanya music yang mengisi keheningan di keduanya. New sendiri tidak benar-benar tahu apa yang ia cari. Teman? Seks? Pengalaman? Atau cinta? Ia bahkan tidak yakin yang mana.

Mobil hitam Tay berhenti di sebuah rumah besar. Seorang pemuda berdiri di halaman dengan tangan di pinggang. "Apakah itu pacarmu?"

"Pacar?" Tanya Tay dengan sudut bibir miring.

"Kau bercanda. Ia hanya temanku." Lanjut Tay. ia membuka pintu untuk sesosok pemuda dengan rambut oranye. "Kau pasti bercinta terlalu lama." Dari suaranya New tahu pria oranye itu sedang kesal.

"Tidak ada waktu Arm. Aku akan menurunkannya di caffe Godji."

"Kau gila?"

"Akan lebih gila jika aku membawa pemuda di bawah tahun ke bar."

Pria oranye bernama Arm itu menoleh pada New. "Kau masih di bawah umur?"

"Ya."

"Siapa namanya?" Tanya Arm.

Namun Tay hanya menggeleng. Ia bahkan tidak pernah repot-repot menanyai nama partner sexnya.

"New Thitipoom. namaku New Thitipoom."

"Nice name."

Tidak perlu waktu lama mereka sampai pada sebuah caffe sederhana. Yang pastinya masih tutup. Hei, jam berapa sekarang.

New turun.

"Bilang pada Godji, aku menitipkan anak burung yang tersesat. Jika pagi tiba kau akan menemukan bus menuju rumahmu."

Belum sempat New menjawab kaca itu telah tertutup, Tay mengemudikan mobilnya secepat mungkin.

Sial. Niatnya yang ingin having sex hilang sudah.

Ia menoleh mendapati seorang wanita cantik dengan apron di badannya. "Tay memang selalu berengsek. Ia selalu meninggalkan mainannya di sini."

"Sorry?"

Wanita cantik itu menggeleng pelan.

"Oh tidak nak. Kau terlalu manis untuk menjadi mainan brengsek itu. Siapa namamu?"

"New. New thitipoom."

"Oh dear, manis sekali. Bisakah aku memanggilmu Newwie?"

New memiringkan kepalanya. Ia belum lama di sini dan ia sudah bertemu dengan wanita aneh yang cantik, dan sok akrab. Memanggilnya Newwie. "Ya, terserahmu saja."

Keduanya tersenyum.

.

.

.

"Kau suka padanya? Jangan gila New Thitipoom."

Janhae, perempuan nyentrik yang menjadi sahabat New. "Kau menyukai Tay Tawan yang berbeda sepuluh tahun denganmu? Fuck shit New."

"Aku tidak gila, Bitch. Siapa yang tidak menyukai Tay?"

"Tapi Tay adalah hak milik Chiangmai. Kaum gay Chiangmai. Dan Tay tidak percaya cinta. Kau akan menyesal."

"How do you know, Janhae? Aku tidak peduli. Aku akan mengubahnya dan membuatnya percaya cinta."

Janhae tertawa. Kakinya terlipat di atas kasur. "fuck off Newshit."

Begitu mereka tertawa, suara ketukan pintu menyapa. Itu ibu New.

"Aku harus pulang New. ku harap malam ini kau tidur nyenyak di kasurmu. Bukan di kasur om-om."

"Shut up Janhae."

Pintu terbuka ke dalam. Ibu New menampakan sedikit kepalanya. "Apa kalian sudah selesai?"

"Tentu saja bibi. Dan aku akan pulang. Aku pamit." Janhae mengambil tasnya dekat meja lalu menyambar jaketnya.

Ibu New menatap kamar anaknya sejenak. Semua dinding ditutupi oleh gambar pria telanjang. Tanpa busana dan menonjolkan pantat bulat berisi. Suaminya akan pulang beberapa saat lagi. Dan bisa dipastikan ia akan mengamuk jika mendapati gambar tak senonoh di dalam kamar anaknya. Anak laki-laki satu-satunya.

Sementara New sibuk membereskan buku miliknya. "New, apa kau tidak pergi ke klub seni?"

"Aku keluar ibu."

"Kenapa? Kau bahkan mengambar pria-pria telanjang ini dengan baik. New?"

New menatap beberapa gambar yang ia pajang. "Ya, tapi aku sudah merubah semuanya."

Ibunya duduk tak jauh dari New, memainkan beberapa kertas gambar New.

"Bakat senimu tidak main-main New. Dan kau kerap menggambar pria ini. Apa kau... sudah punya pacar?"

New mengikuti arah pandang ibunya. Ia melihat ibunya menatap tubuh pria telanjang. "Maksudmu? Pacar laki-laki?"

"Aku tidak akan memberitahukan ayah." Ibunya bangkit. Mengapai bahu anaknya. Namun New tepis perlahan. "Tidak bu. Aku tidak punya."

New tahu, orang tuanya pasti akan menyadari orientasi yang ia miliki.

Ia menggapai pundak ibunya. Memeluknya dan meletakkan kepalanya di curuk leher ibunya. Menghirup dalam aroma ibunya. Hanya ibunya yang mengerti. bahwa bukan kehendaknya ia seperti ini.

Ruangan itu masih senyap, Sebelum suara dobrakan menggelegar.

Ayah New berdiri dengan tongkat kayu di sana. Menatap New dengan amarah. Tangannya gemetar.

Sementara ibu New hanya menangis. Membiarkan anaknya ditarik oleh sang suami.

"Ayah." Isak New.

Rintihannya penuh dengan kesakitan. Teriakannya penuh dengan penderitaan. "Pergi dari rumah ini! Aku tidak pernah menganggap kau sebagai anak, sampah!"

Tubuh New terhuyung-huyung ke belakang. Menambrak tembok.

"AKH!"

"Aku tidak akan segan membunuhmu. Jadi pergi sekarang!"

Dan begitu ayahnya berteriak kencang. New bangkit berlari menuju pintu yang terbuka. Sedikit pincang karena ayahnya telah memukul tulang kering kaki kanannya.

Poxn Without PlotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang