Prolog.

26 1 2
                                    

***

Vancouver, 2018.

"Apa itu keputusanmu, Adam?" tanya Sabrina menatap tak percaya kepada suaminya, Adam MacMillan.

Laki-laki itu hanya diam tak menjawab. Rahangnya mengeras, menahan diri dan berusaha mengendalikan emosi sejak awal Sabrina melayangkan pertanyaan itu.

"Apa semua ini belum cukup bagimu? Kami? Aku dan anak-anak kita?!" cerca Sabrina dengan suara bergetar.

"Aku bisa membiarkanmu kembali ke duniamu yang dulu, menjadi publik figur dan dipuja penggemarmu dimana saja kau berada," kata Sabrina, "tapi bagaimana bisa aku membiarkan suamiku merendahkan diri tidur bersama pelacur itu?!"

PLAK!

Sabrina terhuyung dengan kepala terbanting ke kanan. Matanya terpejam merasakan pusing yang seketika menghantam isi kepalanya. Langkahnya terjajar ke belakang hampir jatuh jika tangannya tak mendapati meja rias di belakangnya.

"Adam ..." bisiknya tak percaya. Airmatanya mulai menggenang dan meleleh di pipinya.

Adam masih berdiri di hadapannya, namun dengan wajah yang terkejut dan melihat tangannya sendiri. Sesaat kemudian rasa bersalah tampak terekam jelas di matanya.

"Sabrina--!"

"MOM!"

Seketika mereka menoleh ke arah jeritan. Sabrina langsung terkesiap, melihat Anita berdiri di luar ambang pintu kamar yang terbuka. Dengan mengabaikan rasa perih di pipi dan sudut bibirnya yang berdarah, Sabrina berlari menghambur ke arah Anita dan langsung memeluk gadis kecil itu.

"Sayang, sedang apa kau disini? Ini sudah waktunya tidur, Cantik." ucap Sabrina dengan suara bergetar, dengan senyum getir menahan tangis.

Anita tak menjawab. Wajahnya pucat dengan mata membelalak nyalang menatap ayahnya. Sabrina segera menghalangi pandangannya, dan kedua tangannya menangkup wajah Anita.

"Sayang, Anita ... ayo ... kita ke kamarmu, Nak!" ajaknya lembut membelai rambutnya. Namun gadis kecil ini tak bergeming. Hingga Sabrina menarik wajah mungil itu, berusaha mendapatkan mata Anita untuk menatap kepadanya.

"Sayang ... ayo ..." pinta Sabrina lirih. Bibirnya bergetar menahan tangis.

Mata Anita menatap ibunya dengan sorot mata sulit diartikan. Cepat Sabrina mengusap air mata di pipinya, hingga ia tertegun saat melihat ada campuran warna merah membasahi telapak tangannya. Dan itu membuatnya semakin merasakan perih di dalam hatinya.

Margareth berdiri di ujung tangga, menatap Sabrina dengan khawatir.

"Margie ..." ucap Sabrina berusaha menarik bibir untuk tersenyum, meski akhirnya tetap airmata yang keluar.

Sabrina memberi tatapan memelas ke arah Margareth, meminta agar membawa Anita pergi ke kamarnya. Wanita yang sudah seperti ibu nagi Sabrina itu pun segera menghampiri.

"Ayo, Sayang ..." ucap Margareth lembut, sedikit menarik bahu Anita.

Anita menurut, meski dia tampak masih terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya.

Sepeninggal mereka pergi, air mata Sabrina pun langsung tumpah. Dia menutup mulutnya meredam suara tangisnya.

Sebuah sentuhan mendarat di bahunya, dan secepat itu pula Sabrina menarik diri untuk menghindar.

"Sabrina ... maaf ..." ucap Adam lirih.

Sabrina memejamkan mata, suara bariton Adam yang sejak dulu selalu menggodanya, membangkitkan gairah setiap kali mereka bercinta, membuatnya merasa dipuja, kini itu terasa menyakitkan dan terasa menusuk jantungnya. Membayangkan suara itu juga berbisik dan mendesah di pelukan wanita lain.

Meant To Me ( Lanjut Di Dreame - END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang