MATAHARI masih cukup menyengat. Tapi atap dari kain terpal berwarna biru yang sudah lusuh cukup ampuh menahan panasnya. Di bawah pelindung ala kadarnya itu berkumpul sepuluh siswa yang sedang asyik merokok. Semuanya duduk tak beraturan dengan berbagai gaya.
"Sebenarnya lu mau ngapain sih, Vlad? Kayak nggak ada kerjaan aja nyari duit buat ngegratisin perpisahan. Mending duitnya buat kita sendiri aja," ujar
"Lu nggak bosan main gini-gini aja? Gue bosan. Gue pengin nyoba yang lain."
"Terus ngapain cari duit buat satu sekolah? Lu gila?"
"Kalau cuma buat kita senang-senang doang sama sekolah nggak akan diizinkan, Ontohod." Vlad menoyor kasar dahi Vicenzo.
"Dan sejak kapan kita butuh izin sekolah?" ganti yang lain lagi bersuara.
"Sejak gue butuh bantuan lu pada buat jadi lebih gila lagi dari sekarang."
"Lu kesambet apa sih, Vlad? Nggak bakal sekolah ngizinin deh. Sumpah, gue nggak ngarep pas lulus dapet medali kok."
"Ck." Vlad berdecak kesal.
"Memang lu mau ngapain sih, Vlad?"
Itu yang Vlad tidak bisa jawab karena dia belum ada gambaran sama sekali.
Dan diskusi itu berakhir tanpa hasil. Hanya menghasilkan tumpukan abu rokok saja.
***
Di siang yang sama Anna mengendarai motornya lepas mengajar. Dia melewati saja Vlad dan kelompoknya. Tanpa melihat mereka pun Anna sadar, tugasnya mencari tahu apa yang akan Vlad lakukan belum tuntas. Dia tahu Vlad gila, tapi dia juga yakin Vlad tidak segila itu.
Sudah agak jauh dari tempat anak-anak itu berkumpul, tapi masih jauh dari rumah ketika tiba-tiba mesin motor mati. Beberapa kali Anna mencoba men-starter tapi selalu gagal. Dan tetap gagal ketika Anna mencoba starter kaki. Dia yang buta dengan mesin tida ada pilihan lain selain mendorong motornya mencari bengkel terdekat. Menabahkan hati, Anna mulai berjalan. Tak lama peluh pun mulai membasahi tubuhnya.
Sambil mendorong dia berpikir, apa lebih baik dia menitip motor lalu kembali ke sekolah mencari bala bantuan?
"Motornya kenapa, Mbak?" Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar dari arah belakang. Spontan Anna menoleh.
"Nggak tau, Mas. Tau-tau mati aja." Anna terus mendorong sementara orang itu mengatur kecepatan motornya sesuai kecepatan Anna melangkah.
"Bengkel masih jauh, mau saya bantu cek-cek dulu? Siapa tau nyala," tanyanya lagi. "Atau mau saya dorong aja sampai bengkel?"
"Wah, terima kasih, Mas." Wajah Anna bersinar di antara peluh. "Terserah Mas aja. Saya nggak ngerti sama sekali soal mesin." Dia sudah berhenti berjalan.
Dengan matanya lelaki itu menunjuk ke arah sebuah pohon peneduh jalan. Setelah menyandarkan motornya, Anna langsung membanting bokongnya di beton separator jalan. Mendorong motor di siang hari tidak akan menjadi hobinya. Tak sampai lima ratus meter dan dia selelah itu. Dia tak peduli lagi penampakannya seperti apa. Dia hanya berharap motornya bisa digunakan.
Anna hanya melihat saja ketika lelaki itu bersuaha men-starter motor. Dan sama persis seperti Anna. Gagal. Setelah mengambil tool kit dari bawah jok, lelaki itu sudah asyik mengutak atik mesin. Anna melihatnya dengan tatapan malas tapi penuh harap.
"Mbak ada busi cadangan nggak?"
"Dan apakah itu busi?" tanya Anna. "Saya nggak sibuk sih. Jadi nggak perlu dicadangkan."
Lelaki itu terkekeh dan langsung ke arah motornya.
"Dari jawabannya saya tau mbak nggak tau dan nggak punya busi." Dia mengambil busi cadangan lalu memasangnya di motor Anna. Tak lama suara mesin terdengar. Anna melonjak dengan mata berbinar.
![](https://img.wattpad.com/cover/289084748-288-k830010.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembilan Tahun Lagi [16+ Promo]
Romance"DULU aku suruh kamu, tunggu aku sembilan tahun lagi, kenapa kamu nggak sabar? Malah nikah sama Bhaga. Ck." Dia berdecak. Deg. "Aku sudah tunggu kamu sembilan tahun. Ceraikan Bhaga. Ayo kita nikah." "Vlad...." Meski tercekat, aku berhasil berbisik...