Bab 1; Secarik Kertas Tua

113 12 0
                                    

Perpustakaan adalah tempat perlindungan kecil dari peradaban. Itu adalah kutipan favorit dari buku yang ku baca semalam. Nyatanya menghabiskan akhir September disini tidak buruk juga. Perpustakaan sekolah ini sunyi seperti tak berpenghuni, hanya terdengar bunyi jam yang berdetak dan perkamen yang kuhempas ke lantai. Aku tidak memiliki ide untuk melanjutkan novelku.

Helaan napas panjang terdengar. Aku merasa malu dengan cerpen-cerpen di sebelah siku kiri ku. Semua orang mendambakan bait-bait mereka, pernah saat itu Mama berkata "Kamu bisa menjadi penulis terkenal suatu saat nanti, ayo lanjutkan tulisanmu."

Tidak Ma, aku lupa caranya merenung sementara jemariku menuliskan isi pikiranku. Aku kembali menutup mata, mencoba membuat ruang realitas menjadi terbatas dan kemudian tanganku mulai mengambil alih semua imajinasi di dalam pikiranku.

"Hey!" Aku memekik.

Mataku terbuka, tiba-tiba radio kecil di tangan ku mati secara paksa.

"Kamu dilarang memainkan musik di dalam perpustakaan, Edelweiss."
"Ini nggak bakal mengganggu siapapun lagipula ini adalah Clair de Lune dan semua orang menyukai Debussy!"

Aku menggerutu sambil memijit pelepisku, rasanya semakin buruk dan buruk. "Kamu lagi nulis apa? Novel ya?" Aku menggeleng.

"Aku lagi ngerjain essai."
"Disitu tertulis Bab. 1 Jika Batu Filsuf Ditemukan—" Aku meraih secarik kertas yang Theo intip, kemudian menjawab kalimatnya.
"Judul yang bagus bukan?"

"Aku menghargai effort mu untuk melanjutkan essai itu tapi sungguh judul yang membosankan." Theo tersenyum mengejek.
"Aku tahu."

Si pengkritik tulisan-tulisan yang ku tulis bernama Theodore Van Walter. Dia sangat kharismatik, orang tuanya seorang pengusaha dan imigran dari Eropa. Dia mahir memainkan piano dan dia seorang ketua organisasi debat. Saat tahun kedua sekolah menengah aku kalah debat tentang Teori Darwin—Evolusi manusia, Dia menyombongkan kemenangannya selama sebulan penuh seolah-olah dia baru saja mengalahkan Lincoln.

Aku merasa terpojok jika mengingat hal itu karena aku memiliki kesulitan untuk berbicara itu sebabnya aku lebih suka menulis isi pikiranku dan menambahkan kalimat fiktif dan fantasi di dalamnya, ah aku suka tenggelam dalam tulisan-tulisanku.

Tapi belakangan ini aku mengalami pertengkaran hebat dengan ayahku. Dia tidak setuju dengan keputusanku mengambil jurusan Sastra, katanya semua orang juga bisa menjadi jurnalis ataupun guru. Kalimat-kalimatnya sangat angkuh seakan-akan dia mengerti tiap bait buku William Shakespeare.

Theo menghela napas, "Ternyata kamu tidak lagi menerima kritikan hebatku ya."

Satu anggukan membuatnya menggaruk surai coklatnya dengan frustasi, kilatan kebingungan dan kekesalan terlihat jelas. Ini salah satu tabiat Theodore yang kukenali, dia tidak suka tanggapan yang singkat dan untuk mengambil sebuah kesimpulan dia telah gagal mengganggu hariku.

Andai saja Theo tahu jika wajahnya seperti badut kerajaan di dongeng-dongeng abad pertengahan.

"Kamu terlihat kesal."
"Apa? Nggak! Menurutku suhu ruangan ini terlalu tinggi."

Bohong. Padahal tepat di atas kepalanya ada termometer yang menunjukan suhu ruangan hari ini berkisaran 24 °C.

"Hey apa ini?" Jemarinya mengambil perkamen yang berada di dekat tanganku.

Gawat.

"Cerpen Lady A. Kamu ingat? Penulis anonim yang belakangan ini muncul di majalah kota!"

"Oh ya, aku ingat. Siapapun sosok di balik kertas ini adalah orang yang hebat. Entah apa yang dia pikirkan saat menulis kalimat-kalimat yang diluar nalar itu. Kalau saja aku bisa berbincang sebentar bersamanya mungkin dia tahu cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan yang terkubur."

EvermoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang