Bab 6; Days Before I knew Lady Armstrong

24 3 0
                                    

Cigarettes? Even more addictive than that. Dia menidurkan biola di lekukan bahu dan memainkannya. Nada lembut yang berlalu-lalang bersama angin itu memiliki efek abadi pada pikirannya. Komposisi yang berima itu memang ditakdirkan untuk satu sama lain, seperti pantomim, dia tidak bisa melihatnya tapi dia bisa merasakannya hingga berabad-abad lebih.

Gesekan jemari dan senar terdengar begitu merunjam. Gadis batinnya berbisik untuk menyelesaikan permainannya dan kembali kepada realitas tapi dia menggeleng tak mau.

   "Karya mu tidak pantas, yang kamu representasikan seorang wanita telanjang ditengah-tengah kegelapan ini apa River? Lagipula kamu itu pemuda, bukan siapa-siapa di dunia sastra!" Seseorang di dalam pikirannya mendengus kesal, membuat lawan bicaranya menunduk marah, tidak terima.
   "Memangnya ada 'kepantasan' dalam sebuah karya seni?" Kakek, dia bisa mendengarnya, berbicara dengan suara yang menggemakan bumantara.
"Sejak kapan hal tersebut tidak ada?" Wanita itu menjawab dengan bingung.
"Works of art are beyond common sense—while appropriateness is common sense."

Surai tebalnya terhempas seiring tempo permainannya yang semakin cepat dan memanas. Suara-suara itu seperti putaran radio yang terus berputar dikepalanya. Paganini pun akan tertegun dengan penampilannya yang kacau namun luar biasa.

"Sejak abad Renaisans hingga abad ini apa menurutmu karya Michaelangelo itu pantas? Mereka bahkan ditampilkan diberbagai tempat sakral. Bagaimana menurutmu tentang Agnolo Bronzino?"
Si lawan bicara menjawab, tanpa keraguan.
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu pantas. Mereka semua adalah mahakarya!"
"Begitupun karya River, memiliki ruang kepantasannya sendiri. Nanti ada saatnya orang-orang itu bertanya padamu bagaimana rasanya memiliki seorang putra seniman yang hebat, Isa."

Tak lama terdengar suara nyaring diiringi hembusan napas yang tergesa-gesa. Matanya yang semula tertutup rapat terbuka dan menyadari kedua senar biolanya putus. Dia terduduk di kursinya, meletakkan benda itu disebelahnya dan mengusak rambutnya kasar.

Setiap kali kalimat itu muncul dikepalanya, River tidak bisa mengontrol temper yang tertahan di dalam dirinya. Diam adalah pilihan terakhir untuk meredakan panas di relung jiwanya.

"Everything gets difficult when you go, grandpa."

Dia berbisik lirih sambil menatap atap-atap loteng yang gelap. Tempat ini tidak diketahui oleh Ibunya, terletak jauh dan terdistorsi dari suaranya yang menikam. Matanya teralih dengan poster-poster yang dia pajang bahkan saat umurnya 10 tahun. Van Gogh, Oscar Wilde, Nirvana, Kurt Cobain idolanya dan sebuah poster komik Detektif Conan.

Matanya teralih pada kanvas besar berlukiskan wanita tak berbusana yang tengah merengkuh dirinya sendiri di dasar lautan yang segelap Palung Mariana. Ia terlihat dikelilingi ancaman, misteri, dan ketakutan. Seperti yang dirasa sang pelukis. River meraba kanvas itu, merasakan koneksi dengan lukisannya, kemudian dia menghela napasnya lagi.

Pemuda itu berhasil keluar dari tempat mencekam yang sayangnya adalah rumah satu-satunya yang dia miliki. Menggenggam tas biolanya dan memutuskan untuk pergi mengganti senarnya yang putus.

Sesekali banyak mata yang melintas singkat untuk memperhatikan keelokan wajahnya. River memiliki aura yang menakjubkan, membuat orang-orang menyimpulkan pemuda ini adalah seniman romansa kuno yang datang dari era Victoria. Berlebihan memang, tapi kecantikannya tidak terasa datang dari masa ini saja. Kecantikan yang tidak manusiawi.

Dia melangkah lebih jauh dari keramaian dan berhenti sesaat untuk menyebrang, sesekali menaikkan lengannya untuk memeriksa jam. River menekukkan wajahnya geram menunggu lampu yang tak kunjung menghijau. Suara bel toko kelontong disebrangnya berbunyi dan seorang perempuan keluar membawa majalah yang ia yakin sedang ia promosikan secara anonim.

Sebuah senyum hangat kini terukir di wajah pemuda itu saat menyadari keberadaannya. Tak lama seseorang dibelakang mendorong River untuk menyadarkannya soal lampu jalan sudah berganti hijau. Lantas pria itu buru-buru berjalan sambil bergumam dalam hatinya.

"I couldn't even explain to you how good it feels to look up across the road and see you standing there."

River hendak menyapanya namun terhentikan oleh rasa malu-nya yang tinggi. Dia memutuskan untuk berjalan ke dalam toko instrumen, bertemu dengan penjaga kasir yang familiar. Henry Longbangs—karena poninya yang panjang.

"Ingin mengganti biola baru?" Pemuda itu menggeleng, "Aku bangkrut." Henry menyisikan poninya untuk memperhatikan biola dengan dua senar yang pegat. Batinnya bertanya-tanya apa yang bocah ini lakukan.

"Ini buruk!" Dia meraba senar-senar tajam yang menjulang diantara jarinya sambil menggeleng. River terdiam kemudian membuka suaranya lagi dengan canggung.
"Aku tahu! Seharusnya aku menjauhkan benda ini dari penglihatan Ibu-ku."

Sementara Henry mengomel, mata pemuda itu teralih pada Pak Tua Louis yang menundukkan kacamatanya kewalahan membaca majalah yang baru ia bawa dari luar toko. "Andaikan aku mengerti kisah ini lebih dari petualangan Dorothy dan ketiga temannya."

"Apa yang kau baca Tuan?" River bertanya, pria itu berjalan menghampirinya dan menggeletakkan sebuah majalah dan diujung kertas tersebut tertulis cerita pendek baru dengan seseorang berinisial Lady A. "Lebih rumit dari Penyihir Oz yang ternyata seorang pria manipulatif biasa." Timpal Henry—memasangkan senar barunya dengan jeli.

Pemuda itu merasa bingung, memilih membacanya untuk menghilangkan rasa penasarannya.

   The lady at The Museum. What a perfect sentence to explain who she was. She came everyday to see an art about the portrait tragic death of a great knight he sacrificed his entire breath to save the lady he loved from the great dark arts.
    When her shiny eyes stared at the painting as if the glimmer of light pierced the vast black void and a tremor ran down her spine. It was unbelievable feelings. "I remember how he appears in once upon a dream, he had promised to meet me in the next life." The lady whispered in unison.
    No one truly understand its shabby portrait beneath the wall but her. Because art wasn't supposed to look nice. It was supposed to make you feel something. —Lady A

Percakapan si Pak Tua dan Pengganti Senar Biola Handal itu terdengar lebih jauh, hanya dia dan kalimat-kalimat cantik yang berbuah senyuman hangat milik sang pembaca. "Benar, seni tidak harus terlihat sempurna tapi harus membuatmu merasakan sesuatu."

Dia meraih majalah tersebut lalu membawanya ke dekat jendela yang menghubungkannya dengan dunia luar. Disanalah retina pemuda itu tersihir oleh Edelweiss Armstrong—yang diyakini seorang penulis amatir yang berhasil menyelamatkan hari River yang buruk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EvermoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang