Bab 2; Northanger Abbey

32 7 1
                                    

Hari ini tanggal 29 September Tahun 97 dengan ini menyatakan Edelweiss Armstrong resmi gagal dalam mengikuti tes lisan tragedi perang 499-449 SM Yunani dan Persia.

Seperti itu lah surat yang kutulis di kertas kosong menunjukkan kekesalan pada diriku yang lupa menghapalkan tragedi perang itu dan juga aku terlalu lelah karena mengobrol semalaman di Beatrice's.

Aku dan Anna duduk berdua di ujung kantin membicarakan banyak hal, dimulai dari ajakan kencan Armand sampai Theo yang ditahan karena terlambat. Sambil berbincang dan makan, aku masih melanjutkan bab 1 novelku yang tak kunjung tuntas.

"Oh ya Ann, aku mau ngembaliin Great Expectation ke perpustakaan. Kamu mau ikut atau langsung kembali ke kelas?" Dia berpikir sebentar, "Aku mau langsung ke kelas Del, sebentar lagi bel." Aku mengangguk dan bergegas pergi dari meja itu.

Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan buku apa yang akan kubaca selanjutnya, setidaknya akan kubaca setelah aku memperbaiki nilai tes lisan sejarahku tadi.

Secarik kertas yang mengkerut kukeluarkan dari balik saku seragam yang berisikan daftar buku yang harus kau baca sebelum rambutmu memutih.

Terhitung aku sudah menghabiskan 16 buku dalam 5 bulan terakhir. Itu angka yang cukup banyak dari 6 bulan terakhir. Mungkin hari ini aku akan mengalihkan pandanganku pada rak Jane Austen.

"Edelweiss kau disini! Biar Ibu ramal, kamu pasti sudah menamatkan buku semalam dan pergi mengembalikkannya karena ingin cepat-cepat membaca buku kelanjutannya!"

Ibu Leila menyapaku dengan hangat, dia adalah orang yang paling kusukai di sekolah ini. Dia selalu memberiku rekomendasi buku-buku yang menyentuh salah satunya Beloved.

"Aku ragu itu benar Bu, aku sudah menyelesaikannya tapi aku masih harus membaca ulang. Ngomong-ngomong aku disini untuk mengembalikkan buku Great Expectation."
"Great Expectation? Bacaan yang menarik! Kamu mau pinjam buku apa lagi, Edel?"
"Belum tahu, ada saran?"
"Di deretan rak itu banyak buku Jane Austen. Mansfield Park, bagaimana?"
"Kuakui seleramu sangat bagus Bu tapi aku sudah membaca itu tahun lalu."
"Sense and Sensibility?"
"Baiklah aku akan mencarinya!"

Aku berjalan menuju rak-rak yang Bu Leila tunjuk—Sastra Inggris. Disana banyak sekali buku klasik yang berjajar rapi.

Mataku menangkap deretan buku Jane Austen yang sangat lengkap. Buku-buku itu berasal dari penerbit yang berbeda, dan adapun yang ditulis dalam bahasa asing. Aku mengambil dan membaca sinopsis buku-buku tersebut hingga mulai tertarik dengan buku yang berjudul 'Northanger Abbey'.

Catherine Morland, a remarkably innocent seventeen-year-old woman from a country parsonage. While spending a few weeks in Bath with a family friend, Catherine meets and falls in love with Henry Tilney, who invites her to visit his family estate, Northanger Abbey. Once there, Catherine, a great reader of Gothic thrillers, lets the shadowy atmosphere of the old mansion fill her mind with terrible suspicions. What is the mystery surrounding the death of Henry's mother? Is the family concealing a terrible secret within the elegant rooms of the Abbey? Can she trust Henry, or is he part of an evil conspiracy? Catherine finds dreadful portents in the most prosaic events, until Henry persuades her to see the peril in confusing life with art.

"Pilihan yang bagus."

Aku sedikit terkesiap dengan suara seorang pria yang kurasa datangnya dari belakang. Perlahan aku berbalik dan pria itu tengah memperhatikan buku yang sedang kugenggam.

"Maaf sudah membuat kejutan tapi buku itu tidak akan mengecewakanmu." Aku beralih menatap Northanger Abbey,

"Aku memang berniat untuk meminjam ini." "Sudah baca sinopsisnya?"
"Sudah."
"Bagaimana menurutmu?"
"Aku harus mencari tahu kematian mendiang Ibu Henry bersama Catherine Morland."

Pria itu terkekeh sambil menunduk, itu senyuman yang akrab. Seperti sesuatu yang pernah kau kenali atau bahkan kau tulis dan seramnya itu nyata.

"Kenapa?" Aku bertanya,
"Lucu. Aku pun berpikir begitu."

Berarti semua orang pun berpikir demikian? ini seperti ide baru. Aku harus membuat sinopsis yang membuat para pembaca penasaran, seperti mengapa rumah tua itu kosong sementara perabotan di dalamnya masih utuh? Tunggu! Aku tidak akan menulis novel misteri kan?

"Namamu?" Tangan kanannya tiba-tiba terangkat.

"Edelweiss Armstrong."
"River Pierre Renoir."

"Nama mu itu—"
"Seniman Prancis, Ibuku menyimpan lukisannya. Itu menjadi tekanan bagiku, aku harus menjadi seniman juga."

Padahal aku berpikir namanya itu tertulis di daftar nama novel-novel yang kupinjam, tak disangka aku berbicara langsung dengannya. River Pierre Renoir, nama tercantik yang pernah kudengar.

River memiliki surai hitam tebal dan sedikit keriting yang melengkung di tenguknya dan terkadang sehelai dua helai rambutnya jatuh ke depan—tidak terkendali. Dia memiliki bulu mata hitam panjang dan alis yang tebal. Matanya yang sehitam onyx hampir menghilang saat dia menarik seutas senyuman. Itu adalah kesempurnaan kedua yang kulihat hari ini setelah majalah berisi poster film Titanic akan segera ditayangkan.

"Dan kamu penulis bukan?"
"Kok bisa tahu?"
"Jemarimu penuh tinta."

Mataku teralih pada jari tunjuk dan tengahku yang kotor penuh tinta dan dengan spontan aku menggosoknya ke rok sekolahku. Sial, padahal banyak pilihan jawaban lain seperti menulis naskah pidato untuk tugas Sir. Henry.

River lagi-lagi terkekeh, "All that glisters is not gold. Itu yang dikatakan Prince Morocco kepada Portia di drama The Merchant of Venice bulan lalu."
"Maksudnya?" Aku bertanya.
"Entahlah, itu kalimat yang terpikirkan saat aku melihatmu berdiri disana." Kemudian dia tersenyum.

Kurasa River telah menjawab semua keingintahuanku tentang senyuman Gilbert Blythe. Kurasa aku membutuhkan Jean Auguste Dominique yang bisa melukis lekuk indah di antara pipinya. Aku membutuhkan seluruh planet aneh ini untuk berhenti berputar sehingga aku dapat membekukan momen ini tepat waktu.

Namun seperti tidak mau membiarkan aku menjawab kalimatnya River menoleh ke arah pintu dan berbicara lagi, "Sudah bel. Sampai nanti, Edelweiss."

Apa itu barusan? Sebuah getaran aneh dan perasaan canggung karena perbincangan singkat soal novel Jane Austen bersama orang asing?

Aku berusaha bersikap acuh dan memberi kartu perpustakaan pada Bu Leila tapi pikiranku terus terputar suara River, "Dan kamu penulis bukan?" Itu seperti jebakan.

"Tak disangka-sangka kamu memilih Northanger Abbey!" Seru Bu Leila sambil kembali mengecek daftar nama pada buku tersebut dengan teliti.

"Ada orang asing yang merekomendasiku."
"Orang asing?" Jari telunjukku menunjuk daftar nama peminjam Northanger Abbey terakhir, River Pierre Renoir.

"River ternyata, dia memang suka pinjam novel. Kamu gak kenalan sama dia Del? Biar bisa bincang-bincang."

Aku menengok ke kanan dan ke kiri, melihat kondisi perpustakaan saat ini kondusif. Banyak siswa yang sudah keluar dari tempat ini dan sedikit dari mereka masih disana karena sedang mengerjakan tugas tambahan atau mungkin tengah tidur siang. "Ya, sudah. Dengan kalimat yang aneh."

"Nanti kita bincangkan lagi tentang River. Ini Northanger Abbey-mu dan selamat membaca Edelweiss." Aku berterima kasih padanya dan bergegas beranjak pergi dari sana, lagi-lagi aku lupa jika bel masuk sudah berbunyi.

Hal yang terjadi hari ini adalah lupa, lupa dan lupa. Aku harus menyalahkan siapa sekarang? Oh mungkin kau, Northanger Abbey yang terhormat.

EvermoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang